Selasa, 13 September 2011

over the rainbow 3

BAB III
RESPONSIBLE


“Tok! Tok! Tok!” Terdengar suara pintu diketuk dengan lumayan keras.
“Ga… Bangun! Ayo sarapan.” Disusul suara ibu yang memintaku untuk melanjutkan aktifitas yang sebenarnya enggan kulakukan.
Kembali lagi aku terganggu & kali ini aku benar-benar harus beranjak dari tempat tidurku. Saat aku berdiri rasanya kepalaku pusing & badanku lemas ini mungkin efek dari begadangku semalaman.
Kubuka pintu kamarku sedikit, kutengok ibuku yang memandangiku dengan samar-samar. Benar-benar efek begadang yang parah. Mataku rasanya berkunang-kunang.
“Ya, Tuhan Dirga! Kenapa matamu merah begitu. Cepat mandi, sarapan.”
“Kalau aku sarapannya nanti saja boleh? Aku masih ngantuk bu.”
“Eits! Tidak boleh. Ayahmu sudah menunggu dimeja makan tuh.”
“Ya..Ya.. Aku mandi dulu!” Kututup lagi pintu kamarku. Ayah menunggu? Batinku. Kulihat jam yang menempel didinding. Jam menunjukkan pukul 9 kurang sedikit. Aneh! Bukannya kemarin Jam 8 ayah sudah menghilang dari rumah? Ah! Bukan urusanku dia mau berangkat jam berapa. Aku membongkar lemariku & mencari baju untuk kupakai selanjutnya. Setelah itu aku memasuki kamar mandi masih juga dengan tubuh yang lemas.

-------^_^------

Bau harum semerbak terasa diseluruh badanku. Rasanya segar sekali sehabis mandi namun karena semalaman tidak tidur maka kantukpun mulai menyerangku. Kutepis rasa kantuk itu & aku mulai keluar dari kamarku menuju ruang tamu yang ternyata sudah penuh dengan makanan yang beraneka ragam.
“Ibu, kenapa masakannya banyak sekali?”
“O… ini untuk merayakan kepulangan kamu. Maaf ya ngrayainnya telat!” Ibu tersenyum padaku dengan lembut, namun aku tahu masih ada tanda kesedihan diwajahnya.
“Dirga ayo dimakan! Ayah mau yang mana biar ibu ambilkan?”
“Hm!” tangannya menunjuk makanan yang dia inginkan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Kamipun mulai makan tanpa ada perbincangan didalamnya. Suasana yang masih sama seperti kemarin. Sungguh menyebalkan!
“Aku sudah selesai. Terima kasih untuk makanannya.” Aku hendak keluar dari bangkuku & ingin kembali tidur karena aku sangat mengantuk ditambah suasana yang dingin ini membuatku tambah tidak betah berada disini. Namun saat aku berdiri ayah menahanku.
“ Dirga! Ayah mau bicara.” Ayah berbicara tanpa memandangku & tetap fokus pada makanan yang ada didepannya. Sebenarnya mau bicara apa dia?
“Hm!” Aku membalas sikapnya tadi kepada ibu.
“Ayah dengar kamu baru lulus SMU tahun lalu ya?”
“Ya!” Jawabku datar.
“Karena terlalu sibuk manggung bersama band rockmu itu ya?”
“Ya!”
“ Lalu sekarang apa kamu sudah melanjutkan kuliah?”
“Ah pertanyaan apa ini? Sepertinya dia sedang menginterogasi aku.” Batinku.
“Aku tidak perlu kuliah! Aku sibuk.”
“Kau ini sejak dulu benar-benar tidak peduli dengan pendidikanmu. Bagaimana kamu bisa sukses kalau sekolah saja malas. Hah!”
“Memangnya aku belum sukses? Memangnya selama ini ayah yang membiayai hidupku selama beberapa tahun ini. Dulu sewaktu kau mengusirku nenek yang merawatku & sekarang penghasilanku lebih dari cukup untuk diriku sendiri. Apa itu masih belum dibilang sukses?”
“Apa kamu bakal manggung terus keliling-keliling sampai tua? Lagipula lingkungan seperti itu bisa merusak kamu. Paling-paling uang yang kamu hasilkan nanti habis buat foya-foya & hal-hal yang nggak bener.. Sukses itu kamu hidup makmur, berpenghasilan besar & mempunyai pekerjaan yang tetap untuk jaminan hari tua. Kapan kamu bisa berpikir dewasa seperti Arya. Hah!”
“Aku bukan Arya! Aku menyukai apa yang kulakukan sekarang & asal ayah tahu aku nggak pernah melakukan hal-hal yang nggak bener. Untuk masalah hari tua akan kupikirkan nanti. Ayah tidak perlu repot-repot memikirkannya untukku.” Aku berdiri & hendak meninggalkan ruang makan hingga ada kata-kata yang masih mengganjal yang ingin kuungkapkan.
“Oh ya, satu hal lagi. Jangan kau pikir karena Arya meninggal aku dijadikan pengganti Arya. Aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti dia.” Nada suaraku menegang saking emosinya.
“Apa! Dirga! Ayah belum selesai bicara! Dirga!” Tak kuhiraukan suara ayahku. Yang kuinginkan sekarang aku ingin pergi dari suasana penuh amarah ini. Aku sudah tidak berniat untuk kembali tidur. Kembali kumasuki kamarku, kuambil dompetku & bergegas pergi dari rumah ini, setidaknya mencari udara segar diluar sana.

-------^_^------

“ Mau kemana ya?” Ku garuk kepalaku yang tidak gatal ini. Aku bingung mau pergi kemana. Kusadari ternyata aku sudah tidak kenal siapapun disini. Sudah lama aku meninggalkan kota kelahiranku ini & tidak sedikitpun aku memberi kabar ataupun bertegur sapa dengan teman-temanku disini. Kalau sekarang aku tiba-tiba muncul dihadapan mereka pasti mereka terkaget-kaget atau malah memarahiku habis-habisan.
“Eh! Sudah berapa tahun, pasti ada diantara mereka sudah pindah rumah atau berkeluarga?! Huft! Kalau begitu ke Srigunting saja deh! Sudah lama aku nggak nongkrong kesana.” Aku mencoba mengingat-ingat angkot apa yang bisa mengantarku kesana.
Akhirnya sampailah sudah ditempat tujuan, taman Srigunting yang berada tepat disebelah gereja Blenduk. Waktu kecil setiap minggu & hari-hari tertentu aku serta Arya setelah beribadah & mengikuti latihan musik digereja, aku suka bermain sepak bola disitu seharian. Setelah Srigunting menjadi taman & lapangan itu tidak ada lagi, aku masih sering nongkrong dengan teman-teman se-gangku kali ini tanpa Arya. Setelah kami beranjak remaja terlalu banyak perbedaan yang memisahkan kami. Otomatis timbul kesenjangan karena tidak ada kecocokan sedikitpun diantara kami.
Kuamati taman yang tidak begitu luas ini. Gereja Blenduk masih terlihat indah dipandang namun bangunan tua lainnya sudah terlihat lapuk & tidak terawat. Taman kecil itu ternyata ramai juga. Banyak yang berfoto disini. Mungkin kota lama sekarang sudah menjadi tempat wisata atau karena suasana yang begitu adem yang membuat mereka kesini?
Aku berjalan-jalan sebentar hingga aku menemukan tempat yang cocok untukku. Aku duduk ditempat yang kurasa sepi. Dibelakang sebuah pohon besar yang rindang, aku menyandarkan tubuhku lalu kupejamkan mata. Seketika kurasakan pohon meniupku dengan lembut. Terusirlah rasa amarah yang sejak tadi berkumpul penuh sesak didadaku. Leegaa… terasa!
“Ah!” Teriakku kaget. Ada yang mengguncang-guncang pundakku dengan keras. Aku memicingkan mata karena pandanganku kabur sesaat oleh silau matahari. Ku kedipkan mata beberapa kali untuk memastikan yang kulihat itu tidak salah.
Dia yang ada dihadapanku itu bukankah wanita pemain biola yang berada dimakam Arya? Dalam sekejab aku berdiri. Untuk sesaat kami saling memandang tanpa berkata-kata hingga…
“Odi! Disini kau ru…” Ku pandang asal suara yang berteriak itu. Sekali lagi ku lihat pandangan mata yang sama. Pandangan terkejut seperti melihat hantu.
“O…Odi! Dia ini? A…aku nggak salah lihatkan?” Kata-katanya terlihat gugup. Wanita yang berteriak tadi menghampiri pemain biola itu tanpa melepaskan pandangannya padaku. Kami bertiga diam sesaat hingga…
“Bukan!” Jawab pemain biola itu lalu membalikkan badan, meninggalkanku sekali lagi tanpa penjelasan & kali ini dengan sikap acuh seakan-akan tidak menganggapku ada.
Ah! Dia benar-benar merusak suasana santaiku. Jantungku jadi berdegup kencang! Ketika aku sadar & dia sudah berjalan semakin jauh ke arah tempat parkir yang terletak ditengah-tengah antara taman Srigunting dengan Gerja Blenduk. Akupun merasa harus mengejarnya. Aku tidak terima perlakuannya yang mengganggu istirahatku lalu meninggalkanku tanpa memberi penjelasan.
“Hei tunggu! Kau siapa?” Aku berteriak & berlari mengejarnya hingga sampai di tempat parkir. Akhirnya dengan nafas terengah-engah aku berhasil menghadang didepannya. Dia beserta temannya berhenti.
“Kau kenal Aryakan? Siapa kau?” Tanyaku ingin tahu.
“Odi! Dia siapa? Kenapa mirip sekali dengan Arya?” Wanita yang dipanggil Odi itu tidak menghiraukan temannya. dia berjalan dengan cepatnya menuju mobil berwarna biru tua & masuk kedalamnya.
“Hei!!!” Teriakku sekali lagi namun tidak dihiraukannya.
“Maaf atas sikapnya! Dia mungkin terkejut sepertiku. Perkenalkan aku Risma sahabat Odi.” Wanita yang satunya tadi menjelaskan. Akupun menyambut uluran tangannya untuk bersalaman.
“Oh! Aku Dirga.”
“Kau itu…” Belum sempat Risma menyelesaikan kalimatnya.
“Tin! Tin! Tin!” Mobil itu telah memanggilnya tanda sang sopir pemilik tidak sabar ingin segera pergi.
“Maaf! Permisi.”
“Eh! Tunggu.” Kali ini aku tidak bisa mengejar mereka untuk meminta penjelasan. Istirahatkupun tak bisa dilanjutkan karena pikiranku & perasaanku menjadi kacau.

-------^_^------

Aku pulang dengan rasa perih ditangan karena terus-terusan memukul pohon besar ditaman tadi untuk melampiaskan amarah & rasa jengkelku. Saat kulihat, ternyata punggung telapak tanganku sudah mengelupas & berdarah. Walaupun sakit tapi setidaknya bisa membantu meluapkan emosiku.
Kumasuki rumahku dengan hati-hati seperti maling yang mengendap-endap agar penghuni lain tidak menyadari kedatanganku. Rumahku terasa sepi, spertinya para penghuni sedang pergi. Saat hendak kembali kedalam kamarku, kakiku berhenti melangkah didepan pintu kamar Arya. Kubuka pintu itu, ternyata tidak perlu tenaga lebih karena pintu itu tidak terkunci. Kamar yang rapi. Malah sangat rapi & sistematis. Bukunya terlihat begitu banyak berjejeran dirak. Ditata sesuai abjad dari A-Z. Dasar kutu buku! Apa tidak capek membacanya?
Saat kumelihat-lihat kamar Arya, mataku tertahan oleh sebuah kotak brwarna biru tua yang tergeletak diatas monitor computer. Ku raih kotak itu & kubuka. Didalamnya ada beberapa lembar foto. Kulihat foto-foto itu satu per satu. Terdapat foto kami sekeluarga saat aku masih kecil, foto Arya dengan orang-orang yang tidak kukenal mungkin itu teman-temannya & foto seorang wanita yang kukenal wajahnya. Itu adalah foto pemain biola yang tadi ku temui. Mungkin dia adalah pacar Arya. Kukeluarkan isi kotak itu satu-satu hingga sampai akhirnya kulihat ada sebuah amplop putih yang ternyata adalah surat dariku untuknya. Ku kirim kepadanya sudah cukup lama berbarengan dengan motor yang ku berikan kepadanya. Aku masih ingat apa yang tertulis didalamnya. Tentang keberhasilan yang kusombongkan & darimana asal uang yang kudapat untuk kubelikan padanya sebuah motor pengganti. Arya, sifat sentimentilmu itu ternyata belum hilang juga. Sekali lagi aku terkaget oleh suara teriakan seseorang yang memintaku untuk mengangkat telepon. Ternyata suara teriakan itu berasal dari HPku sendiri.
“Ya bro, ada apa?”
“Kapan loe pulang? Ada tawaran manggung ni tapi di Semarang. Kan mumpung loe sekarang, juga lagi di Semarangkan?”
“Hey! Akukan baru 2 hari disini & disini masih dalam suasana berkabung. Lagian kamukan,”
“Hmm… Gue nggak maho bro!” Protes oncom langsung menyela, drummer band sekaligus orang yang mengatur jadwal manggung Trikadeika Phobia. band indie yang kami bentuk bersama. Dia emang nggak suka kalau ngomong pakai “Aku & Kamu” kecuali dengan pacarnya.
“Ya, iya Anak Jakarta! Gue kan udah pernah bilang kalau gue nggak mau manggung di Semarang. Manggung dikampung halaman sendiri? Wah aku bener-bener nggak siap nih!” Emang aku selalu menolak kalau ada tawaran show disini karena sebenarnya aku males pulang.
“Wah bro! Padahal honornya gede loh & itu event besar. Kita bisa live bareng band-band terkenal lain. Itukan bisa naikkin popularitas band kita bro. Anak-anak udah pada setuju. Seminggu lagi kita semua bakal ke Semarang jadi loe nggak perlu buru-buru pulang.”
“Kalian udah nerima kontrak itu? Nggak fear ni. Kalian kan belum nanya gue setuju atau nggak?”
“Kita-kita sih emang udah setuju bro, tapi belum tanda tangan kontrak. kita tau kalau loe bakal nolak manggung di Semarang. Makanya setelah ngasih tau loe baru kita-kita nerima kontrak itu. Loe kudu mau, soalnya suara terbanyaklah yang menang.”
“Okey! Terserah kalian. Pasti yang nggak setuju Cuma gue doank kan?!” Jawabku pasrah. Selang beberapa menit kemudian dia menutup teleponnya.
Rasa kantukku kembali lagi. Karena sudah tersedia kasur empuk didalam kamar Arya, aku memutuskan untuk terlelap saja disitu. Menunggu pagi datang lagi atau menunggu ibuku memanggilku untuk makan malam.
“Arya! Aku numpang tidur disini bolehkan?” Aku tahu dia sudah tidak dapat menjawabku lagi. Yah! Setidaknya kalau memang benar manusia punya roh pasti dia masih berada disini, karena tempat ini masih daerah kekuasaan Arya.
Apa-apaan aku ini. Membahas tentang roh segala! Membuatku merinding saja.
“Sudah-sudah jangan berpikir yang tidak-tidak. Tidur saja sana!” Lagi-lagi aku ngomong sendiri. Kupukul-pukul kepalaku karena kebodohanku ini.

-------^_^------

over the rainbow 2

BAB II
MISERABLE


Aku berjalan mondar-mandir dengan perasaan kesal. Aku terus memencet-mencet HPku dengan gemasnya serasa ingin melemparnya jauh-jauh. Sejak tadi tak kulihat sosok Arya dikampus. Aku menghubunginya, mengSMSnya berkali-kali namun tidak juga direspon.
“Nyebelin! Tu orang sejak kemarin bikin kesel ajah. Kalau nanti aku nolak dia jadi pacar baru tahu rasa lo. Eh, apa dia menganggap dengan aku lebih memilih pergi dengan Jo itu sebagai penolakan? Ah! Salah dia donk, kenapa motornya hobi banget mogok ditengah jalan.” Seperti orang gila aku komat-kamit sendiri ditaman kampus.
“Apa aku kerumahnya aja ya? Mungkin ajah dia sakit karena kecapekan nuntun motor ampe rumah.” Aku kembali komat-kamit sendiri. Benar-benar tidak peduli orang-orang yang sejak tadi berlalu-lalang memandangiku dengan aneh. Tak beberapa lama, aku dikagetkan oleh dering HPku yang minta segera diangkat. Kupandangi layar HPku. Nomor itu terlihat asing.
“Halo, Audrey? Ini papa.” Ternyata yang menelponku adalah papa. Tapi dia pakai nomor siapa? Masa papa ganti nomor.
“Ya pa. Papa nomornya baru ya?”
“Ini nomor papanya Arya. Karena terburu-buru HP papa tertinggal dikantor.” Terdengar suara gaduh & berisik dibalik telepon selain suara papa. Memangnya papa sedang ada dimana sih?
“Papa mengantar pak Agung. Kami sekarang sedang dirumah sakit. Arya semalaman tidak pulang, orangtuanya mengira dia sedang menginap dirumah temannya. Ternyata baru saja kurang lebih 2 jam lalu polisi mengabari bahwa Arya diduga telah dirampok tadi malam dan… Emm…”
“Kenapa pa? Al nggak apa-apakan? Ada dirumah sakit mana pa? Aku akan segera kesana!” Tanyaku nerocos saking cemasnya.
Emm… Arya ditemukan sudah meninggal dunia disemak-semak dipinggir jalan & motor yang dia bawa telah hilang.” Keterangan papaku itu seketika membuat hatiku terkejut. Kakiku serasa lemas & mendadak aku ambruk. Teriakan papa ditelepon tak kuhiraukan. Duniaku serasa runtuh. Apa ini kenyataan? Aku benar-benar tidak bisa berhenti menangis. Hingga Risma sahabatku datang dengan panik karena tidak tahu apa yang terjadi, aku masih saja menangis & tak mampu berkata apa-apa.

-------^_^------

Jaman sudah berubah & semua orang sudah melangkah menuju masa depan. Mereka semua pasti berubah. Namun aku? Aku tidak yakin dapat maju dengan berani. Masa kelam sudah membuatku putus asa. Yang terus berada dipikranku hanya masa lalu. Aku terus berandai-andai & tenggelam dalam kesedihanku. Sekarang apa yang harus aku lakukan?
“Aku… Menyesal! Sangat menyesal. Maaf!” Aku menunduk dengan pundak yang terasa memikul beban yang berat.
“Ini bukan salahmu. Perampokan itu terjadi karena memang sudah takdir!” Terdengar suara disana berbicara dengan halus namun aku tahu perasaan kami sama. Sama- sama sedih, sama-sama kehilangan. Satu yang membedakan kami. Dia pasti membenciku, ya! Itu pasti. Secara tidak langsung aku sudah membuatnya kehilangan anak yang dia sayangi.
Sore hari sudah datang… Kakiku melangkah beriringan dengan langkah Papa & Risma meninggalkan rumah sakit itu. Aku masih tidak percaya Al sudah pergi. Sejak dirumah sakit aku benar-benar tidak mau melihat Al dengan keadaan seperti itu. Aku benar-benar ingin menyepi saja. Berada dibalik kamar sendirian, menangis sepuasnya & meratapi kesalahan yang kulakukan.
“Aku menyesal Al! Aku sangat menyesal… Aku tidak mengira akan terjadi hal seperti ini. Maaf! Andai waktu bisa diputar lagi.” Aku terus menangis & tidak keluar dari kamar selama berhari-hari bahkan saat pemakamannyapun aku juga tidak datang. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Allyya…!!! Aku belum mengatakan kepadamu bahwa aku mau menerimamu menjadi pacarku. Aku menyukaimu, aku menyukai perhatianmu, kesabaranmu dengan segala ulahku yang menjengkelkan, senyummu yang lembut, semua kebaikanmu padaku & suaramu saat mengejekku cadel. Sejak dulu aku menyukaimu hanya saja aku terlalu sombong untuk mengakuinya. Pikiranku selalu memprovokasiku untuk menepis perasaanku kepadamu. Kepopuleranku membuatku begitu gengsi untuk menerima kekuranganmu.

-------^_^------

Aku terperanjat! Dengan bingung & seolah-olah tak percaya aku melihat sekelilingku. Ini kamarku, aku sudah berada dikamarku sekarang. Padahal baru saja aku berada dipemakaman Al. Kenapa tiba-tiba aku berada disini? Apa kejadian dipemakaman tadi hanya mimpi? Apa aku bertemu dengan Al itu hanya mimpi? Kuingat kembali kenangan yang baru saja terjadi tadi & itu membuatku menangis lagi.
“Oh! Kau sudah sadar rupanya? Ini kubuatkan teh hangat untukmu.” Kulihat Risma membuka pintu & memasuki kamarku dengan membawa secangkir teh untukku. Entah kenapa hanya Risma yang selalu ada disaat aku sedih. Dengan kehadirannya membuatku sedikit melepaskan kesedihanku.
“Kenapa kau menangis lagi Odi?” Risma duduk disamping ranjangku & menyodorkan secangkir teh hangat untukku. Dengan tangan yang gemetar aku mencoba meraih cangkir itu. Mungkin dengan meminum teh itu perasaanku menjadi lebih baik. Dengan wajah yang kusut & basah oleh air mata kusesap teh itu.
“Thanks Ris.” Ucapku lirih namun tulus. Teh itu memang sedikit membantu & kehadirannyapun juga membantuku.
“Sama-sama… Kau sudah baikan sekarang?”
Aku mengangguk tanda setuju & mencoba memberi Risma senyuman agar kekawatirnya padaku sedikit berkurang. Diapun juga membalasku dengan senyuman.
Kupandangi lagi sekelilingku juga Risma yang ada disebelahku. Ini semua kenyataan namun kejadian tadi bukanlah kenyataan. Aku tidak mungkin bertemu dengan Al lagi. Dia sudah pergi, tak akan bisa kulihat lagi. Kejadian tadi Cuma mimpi! Aku yakin Cuma mimpi. Aku harus melanjutkan hidupku. Ayo Odi kau harus kuat! Aku kembali menyemangati diri sendiri. Tapi… Aku sangat merindukannya. Kenapa dia harus pergi disaat aku akan memberikan jawaban untuknya. Kenapa dia harus pergi setelah seminggu dia menyatakan perasaannya padaku. Kenapa Tuhan tidak memberikan banyak waktu untuk kami berdua. Kenapa???

over the rainbow 1

BAB I
UNPREDICTABLE


Aku melangkah setapak demi setapak dengan membawa sebucket bunga untuk kakakku. Kuhembuskan nafas panjang, memandangi sekelilingku sambil mengingat masa lalu. Masa-masa dimana saat aku masih tinggal bersama kakakku. Entahlah, saat ku ingat-ingat sepertinya tidak ada kenangan manis yang tertinggal dimemoriku. Kami jarang sekali terlihat akur. Hampir setiap hari aku membuat gara-gara yang menyebabkan aku bertengkar dengannya. Yah! Setidaknya itulah anggapan orangtuaku. akulah yang sering disalahkan. Mereka anggap akulah penyebab pertengkaran kami. Benarkah? Mungkin saja. Aku dulu hanya merasa iri dengannya. Karena dia pendiam, penurut, pintar & bisa dibanggakan, maka kedua orangtuaku sering memujinya & lebih memperhatikannya. Hei!!! Ayah, Ibu. Lihat aku sekarang, tanpa bantuan kalian aku bisa berhasil. Apa kalian sekarang bangga padaku?

Dasar bodoh. Apa yang kupikirkan? Harusnya sekarang aku berduka bukannya membanggakan diri. Apa-apaan aku ini. Saat aku melangkah memasuki areal pemakaman, aku terkaget mendengar lantunan suara biola yang samar-samar. Setengah tidak percaya dengan pendengaranku, aku mengikuti suara itu.
“Su..Suara darimana? Tidak mungkin kalau itu hantu? Mana ada hantu disiang bolong begini?” Gumamku. Semakin dekat semakin terdengar dengan jelas suara biola itu.
“Lagu ini...sepertinya aku pernah mendengarnya?” Batinku. Hingga akhirnya aku hanya berjarak sekitar 5 meter darinya, aku melihat sesosok wanita berambut panjang, memakai kemeja lengan panjang berwarna hitam & rok sebatas lutut berwarna hitam pula. aku tak tahu seperti apa rupanya karena posisinya membelakangiku namun aku tetap bisa memastikan kalau dia bukan hantu. Mungkin karena terlalu hanyut dengan permainan biolanya, dia tidak menyadari kehadiranku. Lama-lama aku seperti tersihir dengan permainannya yang mengalun dengan lembut. Hingga lagu itu berhenti, aku tetap mematung tak bersuara. Sejuta Tanya muncul dalam benakku. Dengan rasa penasaran aku mencoba melihat wajahnya. Kini aku hanya mendengar isak tangis yang lirih darinya & beberapa detik kemudian aku mendengar dia berbicara dengan suaranya yang serak. Mungkin karena terlalu banyak menangis.
“Apa kau suka lagu yang kumainkan untukmu? Over The Rainbow, lagu yang sangat kau sukai. Sekarang aku hanya bisa memainkannya untukmu. Aku minta maaf baru mengunjungimu. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan setelah kau tiada. Kau sangat berarti bagiku Al.” Terdengar suara yang begitu terasa getir dibalik pohon itu. Sepertinya wanita ini begitu merasa kehilangan dengan kepergian seseorang. Huh, aku merasa malu karena baru beberapa menit lalu aku malah berpikiran buruk tentang saudaraku. Padahal dia baru saja meninggal beberapa hari yang lalu. Eh! Tunggu! Tunggu dulu! Bukankah aku kesini bertujuan untuk melihat makam saudaraku tapi kenapa kakiku malah menghampiri wanita itu? Aku kembali mengingat tujuanku kesini setelah terhipnotis oleh suara biolanya. Aku kembali mengingat-ingat letak posisi dimana Arya dimakamkan. Kata ibuku ada dibawah pohon ketiga setelah jalan masuk.
“pohon ketiga ya? coba kuhitung. Satu.. dua.. ti.. loh? Didepanku inikan pohon ketiga? Lalu..” Belum kulanjutkan kata-kata yg setengah berbisik.
“Audrey!!!” Kudengar ada suara teriakan seseorang.
Aku menoleh kearah suara itu & kulihat sesosok pria separuh baya berlari kearah kami. Kupikir sepertinya mereka saling kenal, yah! Mungkin keluarganya. Kami bertigapun saling memandang. Wajah mereka terlihat begitu terkejut saat memandangku, seperti melihat hantu saja. Malahan jika harus dibandingkan dengan hantu yang lebih cocok adalah wanita itu. Wajahnya begitu pucat & terlihat lesu. Memangnya ada apa denganku? Memangnya aku ini hantu?
“Al…?!” Teriak wanita itu dengan suara yang serak.
Aku terkejut, kenapa dia memanggilku Al. Apa makam yang dia datangi itu makam… Ah tidak! Wanita itu memanggilnya Al bukan Arya.
“Al.” Sekali lagi wanita itu memanggilku & melangkah mendekatiku dengan berlinangan air mata sedangkan laki-laki separuh baya itu berdiri mematung tak berkata apa-apa.
Aku tetap mematung seakan-akan kuterhipnotis oleh wajahnya yang menyiratkan kesedihan yang sangat dalam. Hingga akhirnya dia ada didepanku terus dengan mengalirkan air mata. Perlahan-lahan & dengan wajah yang tetap terkejut dia mengulurkan tangan sepertinya ingin menyentuh wajahku. Namun belum sempat keinginannya itu tercapai wanita itu langsung tak sadarkan diri seperti pohon yang tumbang, langsung pingsan didepanku. Dengan pikiran yang bertanya-tanya siapa dia & rasa kaget, aku menangkapnya agar tubuhnya yang lemah itu tidak jatuh ketanah & terluka. Laki-laki separuh baya yang sejak tadi terdiam dengan reflek berlari kearahku, mengambil alih wanita itu dari tanganku. Akupun menyerahkannya tanpa bertanya apapun karena mulutku mendadak terkunci. Dia memandangku beberapa detik lalu membalikkan badan & pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan padaku atas apa yang terjadi sekarang. Semakin laki-laki itu melangkah semakin jauh & tubuhnya menjadi semakin mengecil dari pandanganku, semakin besar pula pertanyaan dalam benakku. Benar-benar hari ini adalah hari yang begitu mengejutkan. Saat tubuh kedua orang itu menghilang dimakan waktu aku membalikkan badan melanjutkan niatku untuk menyambangi makam kakakku, Arya. Saat kulihat nama sang empunya makam tersebut aku baru tersadar ternyata wanita itu memang berada dimakam Arya. Itulah sebabnya dia memandangiku seperti melihat hantu.
“Arya, siapa wanita itu? Sepertinya kau begitu berarti baginya. Ah! Betapa beruntungnya dirimu karena ada orang yang begitu tulus menyayangimu.” Gumamku. Sambil duduk dengan posisi berjongkok kuletakkan sebucket bunga yang kubawa sejak tadi diatas pusaranya.
Dalam hati, aku memanjatkan doa untukmu Arya. Kalau tahu kau akan pergi begitu cepat aku pasti akan bersikap baik saja dulu. Memang nasib tak bisa diramalkan.

-------^_^-------

“Kukuruyukkk” Suara ayam berkokok membangunkanku dari lamunan bukan tidur karena aku hingga pagi ini belum terpejam juga. Kenapa aku terus memikirkan wanita itu? Aku merasa penasaran, siapa dia? Kenapa dia begitu merasa kehilangan Arya… bahkan harus kuakui kesedihannya lebih besar dariku. Padahal aku ini saudaranya. Memang aku merasa kehilangan tapi dia seperti kehilangan jiwa atau hidupnya sendiri.
Walau sudah pagi namun aku tidak punya niat untuk beranjak dari tempat tidurku ini. Malas rasanya menghadapi keheningan dirumah ini. Kemarin pagi saat aku baru datang dirumah ini, aku disambut dengan isak tangis ibu, sedangkan ayah, aku tidak tahu kemana. Kata ibu ayah sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Lalu tadi malam saat kami bertiga makan malam. Ayahku tidak berkata sepatah katapun kepadaku. Setelah selesai makan dia langsung pergi melakukan aktifitasnya sehari-hari yaitu membaca. Karena aku merasa diabaikan, akupun langsung kekamarku setelah selesai makan.
Aku menatap kelangit-langit rumah dengan tanganku yang berubah fungsi menjadi bantal. Hening sekali kamar ini pikirku. Sudah berapa tahun ya aku tidak tidur didalamnya? Entahlah aku malas menghitung. Pokoknya sejak aku SMU kelas 2. Saat itu aku ingat, aku keluar dari sekolah karena ikut tawuran bersama teman-temanku. Tawuran itu disebabkan karena aku mengikuti balapan liar dengan motor yang kujadikan barang taruhan karena aku tidak membawa uang waktu itu & karena keyakinanku akan kemenangan yang membuatku harus mengikuti balapan itu. Hasilnya aku kalah, kehilangan motor & karena aku tidak terima kekalahan karena merasa dicurangi terjadilah tawuran itu. Setelah itu kami semua sempat menginap sehari di kantor polisi & karena ayahku membayar jaminan akupun keluar dari bui namun sekaligus keluar juga dari sekolah. Dari semua perlakuan ayahku waktu itu yang paling membuatku tidak terima adalah dia mengatakan aku “sampah yang tidak berguna”. Dipukuli, digiring polisi, dikeluarkan dari sekolah, dihajar & dimarahi habis-habisan olehnya bahkan diasingkan kerumah nenek di Yogya aku masih bisa terima tapi dikatakan aku ini sampah aku benar-benar tidak terima. Mulai saat itu aku bertekad aku harus menjadi orang yang sukses & membuktikan bahwa kata-katanya itu salah besar.
Sekarang karena bakat, kesempatan & tekadku yang besar aku bisa berhasil. Ayah lihatlah! Dengan kelebihanku yang ayah anggap tidak berguna aku bisa sesukses ini menjadi seorang rocker yang banyak dibanjiri job, walaupun band Indie namun penggemar fanatic kami lumayan banyak & tersebar di hampir seluruh pulau jawa. Semua yang kuraih ini tidak ada campur tanganmu sedikitpun. Oh! Ada! Kalau kau tidak mengatakan aku ini “Sampah” mungkin aku sekarang tidak menjadi seperti ini. Terima kasih.

-------^_^-------

Kamis, 01 September 2011

Polemik Opor

SELAMAT BERLEBARAN BAGI YG MERAYAKAN

Entah kenapa lebaran tahun ini kurang meriah menurutku (walau aku bukan muslim tapi 90% keluarga besarku muslim). Saat acara kumpul bersama keluarga besar dirumah kakek dari pihak ayah, banyak yg absen datang. Banyak yg mengeluhkan lebaran yg diundur sehari, itu membuat mereka bingung.
Apa-apaan negara ini! Segala sesuatunya tidak pasti. Bahkan untuk menentukan hari besarpun tidak pasti. Benar-benar mengecewakan. Kasihan orang-orang yg sudah membuat opor sejak hari minggu tapi saat lebaran tiba, hidangan sudah habis atau basi.