Minggu, 20 Januari 2013

MOON


~MOON~

==============================

“Luka goresan ini bukanlah hal utama yang membuatku menangis. Namun sakit dari dalamlah, yang entah dibagian mana membuatku merasakan sesak yang amat sangat. Rasanya aneh dan menyiksa… Membuatku ingin lebih memilih mati daripada harus menjalaninya.”

“Sejak saat itu aku mengerti, ternyata di dunia ada juga rasa yang seperti ini. Inilah rasanya ‘cinta’ yang sering diagungkan oleh MANUSIA. Jika berpisah dengan orang yang dicintai akan terasa sangat sepi dan kehilangan. Padahal sudah sekian lama aku sendirian namun baru kali ini kurasakan kesepian serta kerinduan. Rasanya benar-benar menyakitkan. HANA!!! Aku hanya ingin bersamamu! Mustahilkah itu?”

“Itu adalah saat pertama aku mengenal apa itu impian, cita-cita dan tujuan hidup. Kau sederhana namun kehadiranmu membuat perasaanku menjadi kompleks.”

(Andrew Quote)


===============================

Andrew’s PoV.

Aku bergidik gelisah di ujung tembok. Duduk meringkuk dengan manik mata terpaku tak lepas menatap sekelumit pemandangan mengerikan—yang pasti hanya terlihat biasa jika berada disituasi yang berbeda—di ruangan yang hanya diterangi sinar bulan yang menyorot teduh dari luar jendela.

Aku tak meratapi dan menyesali perbuatanku namun aku hanya merasakan ketakutan yang tak dapat kujabarkan. “Hana pasti marah padaku… Dia pasti akan sangat membenciku.” Racauku lirih. Hanya dialah sumber ketakutanku. Bukan hal yang lain. Hanya Hana…

Cairan merah berbau anyir menggenang tepat didepanku. Tubuh sepasangan suami istri tergeletak tak bernyawa. Organ dalam mereka terburai akibat ulahku yang lepas kendali. Cakaranku sekali lagi membawa maut.

“Orang tuaku telah mati tapi Paman dan Bibiku yang begitu baik sangat menyayangiku. Membuatku tak lagi bersedih karena ditinggalkan ayah dan ibu.”

Terdengar kembali ucapan riang Hana ketika dirinya menceritakan kehidupannya tanpa kuminta. Matanya berbinar bening, senyumnya merekah polos tanpa ada raut keangkuhan ataupun ketakutan.

Hana maafkan aku! Sudah membunuh kerabatmu yang tersisa. Padahal aku sudah bersumpah pada diri sendiri untuk selamanya melindungimu dan menjaga agar senyumanmu selalu melekat. Tapi aku malah…
Tunggu dulu, bukankah aku bersumpah untuk melindunginya?
Melindungi Hana…
Melindungi Hana?
Bukankah ini termasuk perlindungan? Bukankah 2 manusia tamak ini sedang berencana buruk pada Keponakannya sendiri demi menguasai harta Hana yang diwariskan dari kedua orang tuanya? Sahkan jika kelicikan mereka aku bungkam? Mulut berbisa dan topeng domba mereka aku sibak dengan merenggut nyawa? Hana, aku harap kau memaklumi perbuatanku ini.

@@@

Pintu kayu Oak terbuka kasar. Decitannya menghentakkan jantungku. Namun yang membuatku rongga dadaku lebih terpacu takut adalah tatapan matanya yang terbelalak melotot, terkejut dan terpaku. Tubuh rapuh mungilnya berdiri mematung. Untuk sesaat nyawa gadis manis ini seolah melesat lepas seiring dengan ketidakpercayaannya pada penglihatannya sendiri.

“Paman… Bibi…” Bibirnya yang bergetar, terucap lemah. Sesaat setelahnya kulihat dia ambruk, bersimpuh lalu lelehan airmata mengalir membanjiri wajahnya.

Aku tak suka melihat tatapan sedih yang baru pertama kali ini dia pancarkan. Aku harus menjelaskan semuanya. Orang yang dia jadikan pengganti orang tuanya, ternyata begitu jahat. Serigala berbulu domba yang pantas kubunuh karena mereka sudah pernah mencoba merenggut nyawa Hana namun gagal dan sesaat sebelum ku pergoki, mereka sedang merencanakan hal buruk lain untuk Hana. Ayolah Hana, jangan menangisi sampah. Airmatamu terlalu berharga.

“Hana mereka—” Ucapanku terhenti. Tenggorokanku mandul berkata-kata karena tatapan matanya yang sarat akan rasa takut memandangku seolah aku ini makhluk mengerikan. Diapun terseok-seok, beringsut menjauh ketika kudekati. Uluran tanganku dia hindari.

“Ja-jangan men-mendekat! Jangan bu-bunuh ak-ku!” Nafasnya menderu namun terhembus kelelahan emosi disana. Ketakutannya ketika menatapku membuat hatiku ngilu. Rasanya sungguh perih dan tak tertahankan.

Aku masih berusaha melangkah mendekatinya. Kujulurkan tanganku, memaksakan senyuman terpoles di wajah pucatku. Berusaha menentramkan hatinya yang terpenjara oleh keterpurukan.

“—mereka ingin,”

“Pergi! KAU MONSTER!” Teriaknya histeris.

Monster? Rasanya begitu sakit ketika umpatan itu terucap dari bibir plum mungilnya. Aku sudah terbiasa dikatai monster, iblis dan segala sebutan makhluk-makhluk biadab didunia oleh korbanku sebelum mereka kucabik oleh kuku tajamku dan meregang nyawa menjadi sebuah kudapan. Sejak sebelum dia memeluk hatiku dengan kehangatan lalu mematrinya dengan perasaan yang manusia sebut ‘cinta’. Namun entah mengapa lontaran dari mulutnyalah yang membuat perasaanku terluka. Rasanya seperti godam yang membentur jantungku. Membuatku kalah telak dan membisu.

Hana, apalah arti sumpahku untuk melindungimu jika diriku sendiri merupakan ancaman bagimu.

Andrew’s PoV. end

@@@

Author PoV.

Sosok berjubah hitam bertudung layaknya malaikat pencabut nyawa yang berpatroli terlihat melangkah dan meloncat-loncat ringan dari satu genting ke genting gedung yang lain. Terus saja menapaki tiap atap dan meniti beberapa utas kabel listrik tanpa oleng. Seolah gaya gravitasi tak berlaku baginya.

Langkahnya terhenti ketika dirinya sampai pada sebuah puncak menara yang dipucuknya telah berdiri penangkal petir yang menatang langit. Dia berdiri menghadap rembulan. Matanya tak terlihat, tertutupi oleh tudung yang kebesaran. Namun wajahnya tersirat kesedihan dan rasa penyesalan yang amat sangat dalam. Tanpa dia sadari, lelehan air asin mendarat hingga dipipinya terus turun menapak ditelapak tangannya.

“Hanya kau yang bisa membuatku menangis.” Kepalanya tertunduk, menyorot genangan kecil airmata ditelapak tangannya. Airmata bening itu bercampur dengan darah kering, dari luka goresan ditangan yang tercampur darah manusia dari sisa korban bunuhannya.

“Luka goresan ini bukanlah hal utama yang membuatku menangis. Namun sakit dari dalam ini, yang entah dibagian mana membuatku merasakan sesak yang amat sangat. Rasanya aneh dan menyiksa… Hana! Seiring berjalannya waktu, jika kita bertemu lagi. Apakah sorot mata ketakutanmu akan menghilang? Apakah senyum ceria lucumu bisa kembali? Akan kutunggu dirimu pulih dari trauma kenangan buruk. Dan jika saat itu tiba, aku akan mendekat lagi padamu. Akan kujelaskan semua peristiwa ini. Mereka yang jahat, bukan aku.” Batin yang membuncah kembali mengucapkan sumpah dengan disaksikan oleh bulan purnama seperti ketika dirinya mendeklarasikan sumpah untuk selalu bersama Hana dan melindunginya dari hal apapun beberapa bulan lalu.

@@@

Flashback…

Andrew PoV.

“TOLONGGG… BERHENTI!!!” Teriakan histeris membahana memecah kesunyian malam.

Terlihat dikejauhan sana kuda berlari sangat kencang sambil menggeret kereta yang sudah terpontang-panting tak karuan yang diakibatkan roda kayunya menerjang jalanan terjal berbatu-batu. Untung saja manusia yang meronta ketakutan didalam sana tak terpental keluar. Hanya terombang-ambing layaknya naik perahu saat badai.

“Santapan lezat…” Gumamku lirih seraya mengusap-usap perutku yang lapar.

Kubasahi bibirku dengan jilatan lidahku, nafsuku merayap naik. Aku tak sabar untuk menelan daging lembut gadis muda karena jarang sekali ada orang yang melintasi hutan ini sehingga aku tak dapat memilih manusia macam apa yang bisa dimakan. Menemukan manusia lewat saja aku sudah kegirangan…

“Saatnya berburu.” Kugumamkan kata-kata penyemangat. Akupun mulai melesat, melompat ke tiap-tiap dahan pohon. Mencoba menyamai gerak laju kuda hitam dibawah sana.

Hemm… Menarik. Kuda pacu yang berlari garang itu membuat adrenalinku meningkat. Kunikmati sensasi rasa sulit mendapatkan buruan lezat. Yah, kesulitannya pasti sepadan dengan hasilnya kelak. Dagingnya yang kenyal dan teksturnya yang lembut, tulang yang masih muda dengan kerenyahan yang gurih ketika kukunyah dan darah pekat segar dari seorang gadis kecil yang belum tercemar racun dunia. Sangat nikmat… Itu pasti!

Andrew PoV. End

@@@

Author PoV.

“KYAAA!!!” Lengkingan yang tinggi melucur dari seorang gadis belasan tahun yang melongokkan kepalanya keluar jendela kereta sambil tangannya terulur mengais-ngais angin.

Kuda hitam yang berlari kesetanan sudah mencapai ujung daratan. Namun tetap saja meneruskan langkah cepatnya hingga kereta yang ditariknya terjun bebas bersama kejurang yang dalam. Tebing tandus dengan ujung terendahnya hanya terdapat sungai dengan aliran deras yang siap menelan apapun yang terjatuh kepadanya.

“DAPAT!” Teriakan kegirangan meluncur dari sosok yang sejak tadi mengejar kereta. Tangannya mampu mencapai buruannya sebelum buruan itu ikut jatuh terpelanting bersama kereta beserta kudanya dilahap derasnya sungai yang berada beberapa puluh meter dibawah sana.

Gadis ini mendongak, memandangi sosok yang menyeringai dengan sorot mata lapar. Anehnya dia tak merasakan takut seperti perasaan yang baru saja menyerangnya tadi. Akan tetapi kelegaan menelisik hatinya. Seringai gelap dia pandang seolah itu adalah senyuman lembut seorang manusia.

Perlahan kelegaannya menghasilkan rasa yang teramat kantuk. Matanya semakin tertutup perlahan dan akhirnya benar-benar kehilangan kesadaran sebelum sosok Pria bertudung ini berhasil menarik tubuhnya hingga sampai ditepi jurang.

Author PoV. End

Flashback end…


@@@

Andrew PoV.

“Terima kasih… Kau sangat baik.”

Suara Hana terngiang kembali. Suara merdu gadis kecil yang selama sekian tahun membuatku bersabar menunggu ini selalu terdengar di otakku ketika bulan dilangit membentuk bulatan sempurna.

“Aku Hana Einsenheim dan aku berhutang nyawa padamu. Mau aku bayar dengan sebuah pertemanan?”

Kupejamkan mataku dan sontak wajahnya yang tersenyum bahagia muncul. Kenangan awal pertemuan dengan Hana yang kucinta dan akan segera kutemukan masih melekat kuat di memoriku. Pelukan yang hangat dan spontan ketika dia tersadar dari pingsannya setelah kutarik dari pinggiran tebing masih terasa hingga kini. Genggaman tangannya yang erat ketika dia memperkenalkan diri dengan bahasa tubuh yang begitu bersemangat berhasil membuatku melongo waktu itu. Tak ada pancaran kecurigaan dari matanya yang berbinar cerah. Bahkan rasa takut padaku tak pernah terlintas di ekspresi lugunya. Dia menganggapku sebagai penyelamat padahal nyatanya aku ingin memakannya. Tanpa segan dia bercerita tentang dirinya sambil berjalan kesana kemari dengan riang sepanjang malam. Berceloteh dari A sampai Z tanpa memberiku kesempatan untuk melanjutkan niatku memangsanya. Bersama dirinya membuat hidup sunyiku berubah ramai dalam hitungan jam. Meski dia baru mengenalku namun tanpa ragu serta segan dia mengajakku pulang bersamanya—lebih tepatnya memintaku mengantarnya pulang. Memberiku tempat tinggal yang harusnya tak lazim untuk kusinggahi karena aku ini Andrew, Si Setan gunung pemangsa manusia.

“Sejak saat itu aku mengerti, ternyata di dunia ada juga rasa yang seperti ini. Inilah rasanya ‘cinta’ yang sering diagungkan oleh MANUSIA. Jika berpisah dengan orang yang dicintai akan terasa sangat sepi dan kehilangan. Padahal sudah sekian lama aku sendirian namun baru kali ini kurasakan kesepian serta kerinduan setelah aku mengenalnya. Rasanya benar-benar menyakitkan. HANA!!! Aku hanya ingin bersamamu! Mustahilkah itu?”

Andrew PoV. End

@@@

Author PoV.

“Andrew atau yang dulu sering dipanggil Setan Gunung sepertinya berada disekitar London, Lady. Apa yang harus kami lakukan?” Tanya sosok Pria berjas hitam dan berkemeja putih berdasi kepada sosok Wanita yang tengah menatap langit malam diluar jendela ruangannya.

“Apa kau yakin itu Andrew? Bukan pembunuh gila yang menyebut dirinya Jack The Ripper?” tanyanya singkat namun sarat akan ketegasan dari suaranya. Matanya tak beralih dari pancaran bulan yang menggantung sempurna dilangit malam.

“Saya yakin. Terlihat dari ciri korban yang mempunyai robekan menganga yang disebabkan oleh cabikan bukan sayatan layaknya cabikan hewan buas namun lebih brutal karena tubuh korban ada yang hilang. Mungkin disantap oleh Andrew. Selain itu ada saksi yang mengatakan melihat sosok berjubah hitam dengan tudung yang menutupi kepala berlarian di atap-atap rumah.” Terangnya mantap dan meyakinkan.

“Hmmm… Great job Jordan. Kerahkan seluruh Timmu untuk menangkap Andrew.” Wanita ini berbalik arah. Menatap Pria didepannya intens, mengalirkan kewibawaan dalam memerintah sehingga membuat aura seorang pemimpin ambisius terpancar lekat di wujudnya yang bersahaja.

Pria inipun melangkah pergi setelah sebelumnya menunduk memberi hormat.

“Aku tak akan tidur dengan nyenyak sebelum berhasil membunuhmu Andrew. Karena kau, setiap aku memejamkan mata yang kulihat hanyalah darah dan mayat terkapar. Jika seperti ini jadinya lebih baik aku tak usah kau selamatkan.” Bisiknya penuh dendam. Tangannya mengepal kuat, menyalurkan segenap emosi amarah yang sudah lama tertahan.

Kembali terngiang kejadian pembantaian beberapa tahun lalu ketika dirinya masih seorang gadis kecil yang lugu. Kedua orang yang sangat dia sayangi dan dia anggap orang tuanya sendiri mati mengenaskan didepannya. Dan hal yang membuatnya lebih shock, sang Pembunuh adalah penyelamatnya. Orang—setidaknya dulu dia berpikir begitu—baik hati yang dia sayangi karena sudah mengisi hari-hari yang semula dipenuhi kesendirian tanpa adanya sosok teman menjadi hari-hari penuh gelak tawa. Andrew, monster yang belakangan—setelah kejadian itu—baru dia ketahui bukan manusia namun sosok kejam yang bermukim di gunung yang letaknya tak jauh darinya bermukim dulu. Adalah makhluk yang banyak menjadi buah bibir dan momok menakutkan yang membuat Penduduk disekitar gunung tak mau melintas kesana disaat hari sudah gelap.

“Tapi, kenapa kau bisa sampai ke London? Kenapa kau meninggalkan Hampshire tempat asalmu, desa kelahiranku?” Terlontar pertanyaan yang tiba-tiba melintas di benaknya. “Ck~ Itu bukan urusanku!” Kepalanya menggeleng penuh penolakan.

Author PoV. End

@@@

Andrew PoV.

Hana, dimana kau? Aku berlarian mengelilingi kota dan gedung-gedung tinggi tapi tak juga kutemukan kau. Apa wujudmu sangat berubah sejak terakhir kita bertemu. Kerinduanku terus menggerogoti dan membuat perasaanku tersiksa.

Hana, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu. Ini buatanku sendiri. Karya pertama dalam hidupku yang panjang. Bukankah kau yang menyuruhku untuk membuat ini? Kau bilang aku terampil saat membuatnya. Mata berbinarmu yang penuh kekaguman ketika memandangi hasil karyaku membuatku untuk pertama kalinya mempunyai tujuan hidup. Tak hanya sekedar mencari mangsa didalam hutan dan melompat-lompat tak tentu arah. Namun kutemukan keinginan yang menggebu untuk dapat meuwujudkan apa yang kita sebut cita-cita. Kitapun memimpikan membangun toko kecil di Hampshire. Menjual benda-benda hasil karya kita. Itu adalah saat pertama aku mengenal apa itu impian, cita-cita dan tujuan hidup. Kau sederhana namun kehadiranmu membuat perasaanku menjadi kompleks.

Aku menoleh kilat. Kupingku yang tajam menangkap sebuah, bukan! Beberapa pergerakan. Mereka, sekitar 5-7 orang. Mengendap-ngendap mendekatiku. Sepertinya mereka mau menangkapku. Siapa mereka?

Sebuah tembakan berhasil kuhindari dengan gesit. Membuat si penembak mengumpat. Serangan bertubi-tubi dari arah lain juga menyerangku. Jangan harap akan mengenaiku. Kalian terlalu cepat jutaan tahun untuk mengalahkanku.

“Shit! Monster itu ternyata lebih hebat dari yang dijelaskan Lady Eisenheim.” Puluhan meter dariku, dipuncak gedung sana kudengar suara umpatan kesal.

Tapi… Eisenheim dia bilang? Hana Eisenheim kah? Sontak aku menapaki atap gedung ini cepat. Melesat, melompat menuju gedung sebelah yang menjulang lebih tinggi dibandingkan dimana aku berpijak ditempat si Pengumpat itu berada. Serangan tembakan bahkan anak panah yang langsung meledak ketika menancam pada sasaran masih dengan mudah mampu kuhindari.

Sedikit lagi aku sampai. Kulayangkan kakiku yang cukup panjang, mencoba mencapai jendela terbuka dengan si Pengumpat didalamnya. Dia terkejut hingga Senapan yang dia pegang jatuh. Langsung kulancarkan tendangan ke arahnya yang telak mengenai mukanya hingga membuatnya tersungkur.

“Hana kah yang kau maksud?!” tanyaku sambil mencengkeram lehernya dan dengan ringan kuangkat tubuhnya yang terpojok di tembok hingga kakinya tak menapak lantai. Dia tercekik dan tubuhnya meronta minta dilepaskan.

“Ekh-lep-pass!” Dia berucap kesusahan. Tapi belum sempat dia menjawab, sebuah anak panah berbahan peledak melesat masuk menuju keruangan dimana kami berada. Sontak aku langsung menghempaskan Pria berjas hitam itu lalu memukul tembok hingga jebol dan bersembunyi di sisi tembok lain. Meledaklah ruangan dimana sumber informasiku ikut terpanggang. Sial! Mereka menyusahkan. Kalau begini mau tak mau aku harus mengalahkan dan menangkap salah satu dari mereka.

Andrew PoV. End

@@@

Author PoV.

“Meledak? Dan satu anak buahmu mati? Tapi apa Andrew juga ikut meledak didalamnya?”

“Belum saya pastikan Lady kare—” Sambungan telponnya terputus. Wanita ini membelalak kaget sesaat selanjutnya seluruh benda-benda yang tergeletak dimejanya berserakan dilantai. Dia menggebrak meja penuh amarah karena merasa misinya gagal.

Menit demi menit berlalu dalam ketidakpastian. Pikirannya gelisah. Kakinya berjalan hilik mudik menunggu informasi selanjutnya. Akan tetapi tak juga ada suara dering telepon lagi dari bawahannya. ‘Matikah mereka semua?’ Batinnya bertanya-tanya, kecemasan melanda membuat kepalanya pening.

Suara pintu terbuka dengan kasar membuatnya terlonjak kaget. Matanya spontan menatap kearah pintu yang sukses rusak, lepas dari engselnya.

“KAU?!” Dengan suara tertahan Wanita ini memekik kaget. Menatap dengan sinar mata penuh dendam sekaligus ketakutan. Kejadian berdarah itu kembali muncul menghantuinya ketika dilihatnya makhluk didepannya tersenyum kepadanya. Kini berbalik efek. Senyum cerah penuh kegembiraan, dimatanya hanyalah sebuah seringai menakutkan.

“Hana! Kau benar-benar Hana kan?” Sosok yang baru memasuki ruang kerja Hana langsung menghambur kearahnya. Tangannya merentang. Siap untuk memeluk Wanita yang sudah lama amat dia rindukan.

‘DORRR!’ Letusan senapan membuat senyuman di wajah Andrew memudar tergatukan dengan keterkejutannya.

Tak jauh berbeda dengan raut muka Hana. Ditangannya sudah mengacung sebuah pistol yang tadi sempat dia raih diam-diam dari dalam laci mejanya. Wajahnya sangat tegang ketika pelatuk pistol itu dia tekan.

“Mati kau Andrew! Itu balasan karena kau sudah membunuh Paman dan Bibiku dengan kejam!” Pekiknya penuh emosi masih dengan tangan mengacung ke arah Andrew yang belum roboh meski dadanya sudah tertembus peluru.

“Ternyata kau masih membenciku Hana.” Ucapnya lirih disela-sela kernyitan kesakitan. Kakinya melangkah lagi perlahan, tangannya terulur ingin disambut oleh Hana.

‘DORRR! DORRR! DORRR!’
“Kenapa kau tak mati-mati juga hah?!” Hana berteriak frustasi. Langkahnya semakin mundur seiring dengan Andrew yang berusaha mendekat.

“Hana, mereka ingin mencelakaimu. Aku mendengar langsung tanpa sengaja ketika malam itu aku melintas di kamar mereka. Mereka jugalah yang membuatmu hampir mati tercebur ke jurang. Aku hanya—” Ucapannya terputus disaat kakinya yang tertembus peluru tak mampu lagi menopang tubuhnya. Darahnya deras mengalir. Nafasnya tersengal-sengal. Jantungnya berdetak melemah.

Hana berjalan mendekat dengan perasaan gamang. Sambil berusaha memutar ulang kenangan masa lalunya dan mencari realita disana, tangannya masih sigap berjaga-jaga jika sewaktu-waktu andrew menyerangnya dia dapat dengan mudah menembakkan pelurunya yang masih tersisa 2.

Beribu pertanyaan kembali bersarang di kepalanya. Dan pertanyaan-pertanyaan itu berujung pada satu jawaban yakni, ucapan Andrew patut dipercaya. Nyatanya Andrew tak melawannya. Seharusnya dia menghindari utusan Pembasmiku dengan tetap berada di hutan dekat Hampshire namun dia malah mendekat kedalam bahaya demi untuk menemuiku yang sudah bersiap diri melakukan aksi balas dendam dengan membentuk organisasi rahasia yang dikhususkan untuk membasmi makhluk-makhluk berbahaya sepertinya.

“Hana dimanakah kau yang dulu… Tersenyumlah, aku mohon. Aku merindukan gadis polos yang ceria itu.” Andrew berhenti sejenak, mengatur nafasnya yang terputus-putus. Tubuh lemahnya terkapar tak dapat bergerak. “Maaf, memang tak seharusnya aku membunuh Paman dan Bibimu tapi, akh! tapi aku hanya ingin melindungimu.” Andrew memasukkan tangan kanannya kedalam balik jubahnya.

Hana masih berdiri kaku menatap nanar Andrew yang tergeletak tak berdaya. Lamat-lamat setetes airmata meluncur perlahan dari ujung kelopak matanya. Pistol yang terus dia pegang terbating dilantai.

“Kau ingat ini?” Dengan tangan yang berlumuran darah, Andrew membuka telapak tangannya. Diulurkannya benda yang dia pegang itu kepada Hana.

“Bo-boneka itu—”

“Kayu yang kuukir dari kuku-kuku tajamku. Miniaturmu…”
“Miniaturku.” Ucap Hana bersamaan. Airmatanya yang tadinya hanya setetes semakin banyak berjatuhan. Tangisannya pecah seketika. Digapainya tubuh Andrew yang nyawanya tinggal menghitung menit. Dipangkunya kepala Andrew dan dipeluknya penuh penyesalan tubuh Andrew yang bersimbah darah hitam.

“Ak-ku mencintai—” Pernyataan yang sekian lama ingin dia ucapkan tak berlanjut. Nyawanya sudah lepas dari raganya. Tubuhnya lunglai, menjadi mayat. Meninggalkan Hana yang makin menangis histeris melihat Andrew sudah tak bernyawa lagi. Tubuh yang mendingin ini terus-terusan dia peluk. Dia ciumi dan dia tangisi hingga sinar Matahari terbit dan cahayanya memasuki ruangan dimana dia berada. Hingga banyak orang berkerumun memasuki ruangannya dan memaksa dirinya melepaskan pelukannya dari makhluk yang dia sayangi. Meski sosok Andrew sudah menghilang dari pandangan, Andrew tetap meraung dan meraung, meratapi nasib hidupnya yang terlampau menyakitkan.

==============================

Secuplik masa lalu Andrew & Hana…

“Hei, kenapa kau menyeret-nyeret batang pohon itu? Tubuhmu terlalu kecil untuk membawa benda sebesar itu.” Sosok yang tak pernah mau melepaskan jubah hitam bertudungnya berucap sinis pada gadis bercelana monyet yang sedang kesusahan menyeret kayu.

“Ini untukmu. Daripada nanti kau diusir Paman dan Bibi karena selalu merusak barang-barang lebih baik isi waktumu untuk membuat sesuatu.” Ujar Gadis ini. Senyuman manis tersungging dibibirnya. Senyuman yang akhir-akhir ini membuat Sosok bertudung itu kecanduan, tak dapat lepas dari pesonanya.

‘Seandainya kau tahu, bahwa aku bukanlah manusia sama sepertimu. Kau pasti—’

“Ayo cepat. Buatlah sesuatu. Kukumu kan nyaris setajam pisau.” Suara sang gadis menghentikan benaknya yang sudah sibuk berandai-andai.

Di tatapnya gadis manis yang baru saja duduk di rerumputan taman belakang rumah yang hampir menyamai kastil. Selanjutnya senyuman terukir diwajahnya disaat ide brilliant melesat masuk ke otaknya. “Oke! Akan kubuatkan sesuatu untukmu.”
~
~
~
~
Beberapa saat setelahnya…

“Ini apa?”

“Ini miniaturmu.”

“Aku?”

“Ya! Kenapa?”

“Tidak mirip! Buat lagi yang bagus!” Diserahkannya lagi benda yang sudah dibuat dengan susah payah itu dengan wajah ketidakpuasan. “berkali-kali membuat pasti karyamu semakin bagus. Lalu kalau miniaturku sudah jadi harus kau berikan padaku ya?” Ujarnya memberi semangat.

“Baik.”

“Selama kau memahat, akulah pengkritikmu. Jadi kau tak boleh jauh dariku. Kau maukan terus bersamaku?” Gadis berkepang dua ini mengacungkan kelingkingnya ke arah Sosok bertudung, seraya mengulas senyum ceria.

Sosk bertudung terdiam sejenak. Memandangi kelingking Hana bingung. “Hm. Aku mau.” Ucapnya kemudian lalu kelingkingnya dia kaitkan dan mereka tertawa bersama sambil merebahkan diri direrumputan menunggu senja berganti malam dan bulan muncul menyorot bumi.
~
~
~
~
Hutan kecil di pegunungan dekat Hampshire, setelah kejadian pembunuhan Paman dan Bibi Hana…

“Aku akan terus memahat boneka kayu yang sama sepertimu. Jika aku berhasil membuat miniaturmu dengan bagus, barulah aku akan menemuimu. Meluruskan semua kesalahpahaman ini dan kita pasti akan bersama lagi. Karena aku sangat mencintaimu Hana…” Guman Sosok yang kini tengah duduk didahan pohon Oak sambil punggungnya bersandar pada batang pohon itu. Kepalanya mendongak menatap bulan lekat.

Puas dirinya menatap rembulan dan menggumamkan janji, tangannya kembali berkutat pada kayu yang kini akan menjadi bahan untuk membuat suatu karya. Dibawah sana sudah tergeletak banyak sekali kayu-kayu berserakan dengan beragam bentuk. Karya-karya buatannya yang dianggap gagal.

¬-END¬¬