Sabtu, 22 Juni 2013

Dongeng Salah Kaprah


Alkisah hiduplah 4 bersaudara di sebuah desa terpencil jauh dari kota besar. Meski mereka bukan saudara kandung namun mereka selalu hidup rukun, damai dan aman sentosa. Em... Bo’ong ding! Silakan dilihat saja kenyataan ini.

“Mpok! Kalau nyuci yang bersih dong! Bekas ingus gue di rok masih ada nih!” teriak Riana yang biasa dipanggil Dede—karena anak paling bontot.

“Mika!!! Apa-apaan nih? Kenapa lantainya masih ada debu? Cepet pel lagi! Lu kan tau, gue alergi debu!” protes si sulung Dethy.

“Emak! Mika bikin rok gue gosong kena setrikaan kelewat lama. Padahal gue belinya jauh-jauh ampe Grogol.” Si nomer 2 yang bernama Risma mengadu pada Emak yang lagi sibuk mantengin bapak-bapak di seberang jalan pada teriak-teriak heboh nyemangatin ayam jado yang diadu.

“Terus? Masalah buat gue?” sahut Emak. “Mika! Bilangin ke bandar kalau Emak masang taruhan buat si Jalu!” si Emak ikutan nyuruh-nyuruh.

Yang dipanggili sejak tadi nggak nyahutin. Alhasil semua pada heran. Mereka berempat yang tadinya rempong ngomel-ngomel sama nyuruh-nyuruh ini itu beralih nyari’in di mana Mika dan ternyata... Eng! Ing! Eng! Mika lagi molor di kolong kasur, Pemirsa.
Ngumpet di sono ampe ketiduran. Dasar Mika!

“Woy! Bangun, Woy! Kerjaan lu masih banyak!” Dengan sadisnya Emak nyodok-nyodok Mika yang sedang mendengkur pakai sapu ijuk.

Mika pun bangun dengan rasa sakit yang amat sangat karena sapu itu kena tepat di jidat serta bagian tubuhnya yang lain.

“EMAK! SAKIT! Hiks! Tega niannya caramu, membangunkan diriku,” keluh Mika. Selanjutnya malah nyanyi lagunya Afgan pake acara
ngeganti liriknya.

“Diem! Suara lu tuh cempreng! Malu tau ama cicak!” Ucapan pedes nggak pake cabe terlontar dari mulut Dethy. Dia berkacak pinggang sambil melotot.

“Mpok, lu cuci rok gue lagi.”

“Trus, lu pel lantainya lagi ampe bikin semut kepleset.”

“Lu tambal rok gue yang bolong kena setrika.”

“Kalau itu, nggak bisa. Kan Emak nggak pernah ngasih duit.” Mika membela diri sambil lirik emak yang udah ngacir, lanjut liat ayam jago lagi tarung.

“Gue tau lu nggak gablek duit, makanya gue suruh lu nembel bukan ganti, Budek! Cepet kerjain!” ujar Risma lalu nyusulin emak keluar dari kamar Mika.

“Awas lu! Kalau kagak dikerjain,” ancam Dethy dan Dede kompak. Mereka berdua mengamit lengan Mika di dua sisi dan menyeretnya keluar kamar.

***

Beberapa hari kemudian, ketika Mika belanja di pasar membeli bahan makanan. Matanya tertarik pada kerumunan orang yang mantengin sesuatu. Karena rasa penasarannya yang kelewat tinggi dia ikut menyeruak masuk. Sungguh sulit ternyata bisa melihat hal yang membuatnya penasaran.

“Mpok, ada apa sih?” tanya Mika pada wanita yang ada di depannya.

“Ada sayembara,” jawabnya.

“Sayembara apa?”

“Kagak tau, aye cuman bisa baca tulisan yang gede doang. Kalau tulisan kecil-kecil di bawahnya kagak kebaca, Nak,” ujar si Mpok pake logat Betawian yang sangat fasih. Ternyata matanya rabun.

Mika sungguh penasaran dengan apa isi sayembara itu tapi karena tubuh kecil kurang gizinya tak dapat menjangkau papan pengumuman itu, dia pun menyerah dan mundur. Terlebih lagi saat dia teringat betapa buasnya ketiga saudari serta emaknya saat mereka kelaparan. Sehingga membuatnya bergidik ngeri dan melanjutkan acara belanjanya di pasar tradisional terdekat.

Mika pun pulang dengan membawa sekeranjang belanjaan dan kantong kain warna merah yang berisi uang receh. Kok uang receh? Ada yang penasaran? Yak, ternyata Mika hobi korupsi kecil-kecilan, Pemirsa. Selama ini Mika selalu menyimpan uang receh kembalian dari hasil belanja ke kantong yang dia jahit sendiri sisa kain perca punya Emak lalu dia simpan di suatu tempat. Maklumlah emaknya yang kejam itu tak pernah memberinya uang. Hanya makan dan tempat tinggal saja yang didapatkan sejak dia dipungut Emak.

Saat sedang asyik-asyiknya melenggang pulang ke rumah. Mendadak terdengar suara gaduh di belakang sana.

Drap! Drap! Drap! Suara deru langkah segerombolan orang berlari. “Aden! Berhenti!” teriak salah satu pelari. 4 orang
berlari-lari bak pelari maraton mengejar-ngejar seorang laki-laki bertubuh tinggi, putih plus ganteng.

Mika yang melihat kejadian itu hanya meminggirkan posisinya kepinggiran jalan seolah-olah mempersilakan mereka kejar-kejaran tanpa halangan. Mika terkesima dengan kegantengan laki-laki tadi.

Beberapa menit kemudian, sehabis belanja. Mika selalu mampir di sebuah pohon besar yang banyak dijauhi orang karena konon katanya banyak Demit bergentayangan di situ. Namun tidak bagi Mika. Dia sudah anggap pohon itu adalah tempat persembunyian yang aman bagi uang recehnya. Lantaran kalau di rumah takut ketahuan orang rumah.

“Hei! Sedang apa kau di situ?” tanya Mika ketika melihat seseorang duduk-duduk di salah satu dahan pohon yang besar dan rimbun oleh dedauan. Untung mata Mika peka kalau tidak tuh orang sudah dikira monyet atau setan nangkring.

“Menghitung jumlah daun,” jawabnya tanpa mengindahkan pandangannya dari langit. Dia masih tak menoleh ke belakang di mana Mika berada.

Busyet! Kurang kerjaan amat ngitung daun? Tapi kalau dia masih nangkring di situ bagaimana gue bisa nyimpan duit? batin Mika.

“Apa lu tahu kalau pohon itu banyak ulernya?” Mika mulai berkata.

“Eh? Uler?” Dia diam sesaat lalu, “Hyaaa! Uler! Jijik! Eh-eh,” Dia sontak kaget dan bergerak ketakutan. Alhasil keseimbangannya goyah dan...

“Awas!” Mika terkejut lalu refleks berlari menolongnya.

“AUW!!!”

Setelah itu hening sesaat.

Laki-laki yang nangkring di pohon tadi mengerjap-ngerjapkan matanya. Merasa keheranan dengan kondisinya sekarang. “Eh? Kok jatuhnya empuk? Tanah itu empuk ya?” Dia mulai bersuara. Saat dia sadar akan ketidakberesan tanah yang ada di bawah pantatnya, dia pun melihat ke sesuatu yang dia duduki. “Hyaaa! Siapa ini? Hei, Nona bangun! Hei!” Cepat-cepat dia memindahkan pantatnya dari punggung Mika dan mengguncang-guncang tubuh tak berdaya itu agar sadar kembali.

“AUW!” Mika mengerang saat tubuhnya mulai mencoba digerakkan. “Punggung gue! AUW!” keluh Mika masih dengan posisi tengkurap.

“Hei, kau tidak apa-apa?”

“Lu nggak denger—” Mika mendadak diam ketika melihat wajah oknum yang membuat punggungnya encok. Dia tertegun melihat
ketampanannya tapi merasa familiar oleh wajah itu.

“Apa? Punggungmu patah tulang? Sini-sini aku lihat.” Laki-laki tampan berambut kecoklatan dengan penampilan modis itu hendak membuka baju Mika yang masih saja tengkurap tak berpindah tempat dan melihat kondisi punggung Mika.

Duaggg!

Kaki Mika berhasil menendang laki-laki itu meski wajahnya meringis karena punggungnya sakit lagi. “Kyaaa! Apa-apaan lu dasar mesum!”

“Aduh! Aku kan hanya ingin melihat kondisimu!”

“Kalau pakai acara buka baju segala, mending nggak usah! Pergi sana! Das—AUW!” Mika yang hendak bangun kembali merasa kesakitan.

Dengan sigap laki-laki itu memapah dan membantu Mika bangun.

Mika terkesiap ketika memandang wajah laki-laki itu dari jarak dekat. Gantengnya… Menyilaukan… batinnya. Jantungnya dag dig dug jeduk Jeduk!

“Iya, aku tahu kalau aku tampan tapi kau tak perlu menatapku seperti itu,” ucapnya ke-pede-an.

“Cih! Dasar narsis,” dengus Mika lalu, “WAHHH!!! Recehanku!!!” pekiknya ketika mata bulat itu menangkap fenomena uang receh bertebaran di tanah. Disingkirkannya papahan si lelaki ganteng karena dia mau cepat-cepat menyelamatkan tabungannya sebelum dipatok burung. Tapi...

Brukkk!

“AUW!” Dia kembali tengkurap di tanah. Punggungnya benar-benar sakit sehingga dia tak mampu membungkuk dan memunguti recehannya.

“Gyahahaha~ Makanya jangan sok kuat. Dipapah nggak mau! Cuman recehan jatuh aja sampai segitunya sih? Ckckck~” Si lelaki ganteng tertawa melihat kelakuan nista Mika.

“Diam lu!”

Duaggg!

Lagi-lagi Mika menendangnya tapi dengan gesit laki-laki itu menghindarkan kakinya dari tendangan Mika.

“Meleset,” ujarnya mantap.

Mika hanya mendengus kesal dengan muka masih menahan sakit punggung.

Tak berapa lama setelah lelaki itu memunguti recehan demi recehan yang menyebat di tanah. Dia akhirnya menjejeri Mika yang duduk bak patung dengan punggung menyender di pohon Pete.

“Nih, uangmu.” Dia menyodorkan kantong merah isi receh pada Mika.

“Makasih.” Mika tersenyum. Dia senang, ternyata orang yang duduk di sampingnya tak hanya wajahnya yang tampan tapi hatinya
juga baik.

Tunggu! Kalau dia bukan Kriminal terus ngapain tadi dia diuber-uber orang-orang berbadan gede itu? Kayak buronan saja, batin Mika keheranan.

“Nama lu Aden ya?” Mika membuka obrolan.

Lelaki itu mengernyit lalu menggeleng kepala. “Sok tau.”

“Terus kenapa tadi orang-orang yang ngejar-ngejar elu manggil Aden? Lu punya utang terus dikejar Depkolektor ya? Dari mukamu sih bakal laku dijual tuh buat bayar utang.” Mika mantengin muka lelaki itu lekat-lekat. Dalam hati masih saja terkagum-kagum dengan kegantengannya.

“Enak aja! Keluargaku kaya, jadi nggak mungkin aku punya utang.” Dia mencak-mencak Tapi setelah sadar bahwa dia kelepasan bicara dia kembali duduk tenang. “Lupakan kata-kataku tadi,” Lanjutnya.

“Mencurigakan...” gumam Mika. Tak berapa lama Mika menepuk jidat. “Ah! Lupa. Gue harus buru-buru pulang. Kalau nggak cepet-cepet masak bisa kena sodok sapu ijuk lagi sama Emak.” Mika mencoba berdiri tapi lagi-lagi dia terduduk karena punggung kembali merasakan kesakitan luar biasa.

Sigap, lelaki itu langsung menopangnya yang hampir ambruk. “Sakit banget ya?” Pertanyaannya mengindikasikan bahwa dia merasa
bersalah.

“Ya iyalah! Masa gue pura-pura?!” Mika sewot. “Lu tanggung jawab! Anterin gue pulang!” perintah Mika.

“Oke. Oke Aku antar. Rumahmu di mana memangnya?”

“Noh, Dusun Cilembu,” jawab Mika seraya telunjuknya mengacung ke arah jalanan di depan sana.

***

Di rumah Juragan Kelapa Sawit, Antares…

“Suamiku… Hiks! Anak kita kapan pulangnya, Suamiku?” Nyonya Antares lari tergopoh-gopoh menyongsong suaminya yang baru
nyeramahin anak buah yang sudah gagal nangkep anaknya yang kabur.

“Tidak tahu, istriku. Kita serahkan saja pada Tuhan,” jawabnya bijak.

“Hiks! Anakku, Chokro. Bagaimana kabarmu di sana, Nak…”

“Tenanglah, istriku. Dia pasti baik-baik saja. Toh, dia kabur juga bawa bekal emas sekilo ama segepok duit. Pastinya baik-baik saja lah,” ucapnya tenang.

“Suamiku! Kenapa bisa tenang begitu? Hiks! Ini anak kita bukan anak tetangga?! Hiks! Kalau diculik gimana? Kalau dirampok gimana? Hiks! Kau ini nggak ada khawatir-khawatirnya sih! Srooottt!” cerocos Nyonya Antares seraya buang ingus. “Ini semua salahmu juga sih. Kenapa harus maksa Chokro buat nikah sama putri Bupati Suryo? Tuh! Dia jadi kabur, kan?” Nyonya Antares pun ngambek dan pergi meninggalkan Tuan Antares yang masih berdiri sambil mangap gegara sapu tangan bekas ingus yang dipakai istrinya diletakkan seenaknya di telapak tangannya yang suci tak bernoda.

***

Malam ini Mika selalu terbayang-bayang dengan laki-laki misterius terganteng yang pernah ditemuinya yang mengaku bernama
Chokro. Padahal seraya berjalan pulang, Mika dan dia sudah ngobrol ngalor ngidul sampai cerita tentang statusnya sebagai anak pungut yang tersia-sia.

“KYAAA!!! Andai jodohku Putra dari Saudagar Antares yang kekayaannya nyaingin Sultan Jogja, pasti aku akan hidup makmur,
bahagia dan aman sejahtera.” Celotehan Dethy yang sedang asyik mengobrol dengan Risma dan Dede membuat Mika terbuyarkan dari lamunannya akan laki-laki tadi.

Mika yang sedang termehek-mehek mengiris bawang menghentikan aktifitasnya dan mencoba menguping. Entah kenapa topik itu membuatnya tertarik. Apalagi ketika Dethy, Risma dan Dede menyebut tentang Sayembara pencarian Putra Juragan Antares. Dia jadi teringat dengan Sayembara yang ditulis di papan Pengumuman di pasar.

“Jiah! Tapi sayangnya hadiahnya hanya imbalan uang bukan tuh lelaki kece bin tajir. Harusnya kayak di dongeng-dongeng dong.

Bagi yang menemukan tuh orang kalo perempuan dijadiin menantu kalo laki-laki diangkat anak. Nggak rugi juga kan dapet menantu cakep kayak aku?” terang Dethy ngarep pake narsis.

“Tul, Mpok! Si Chokro udah gue incer sejak lama. Kan dia itu senior di Padepokan Pencak Silat yang baru gue ikutin. Padahal gue udah luluran mahal-mahal, beli make up sama pakai baju-baju sekseh tiap ke Padepokan bermodal isi celengan Jago biar suatu hari gue bisa dilirik dia. Eh… Dia malah nggak nongol lagi gegara kabur dari rumah. Elu juga udah capek-capek tiap hari sok baik ngeboncengin gue pake sepeda kebo punya almarhum Babe, biar bisa ngelirik tuh orang, kan?” tanya Risma sambil lirik si bungsu Dede.

“Ho’oh! Sialnya napa lu nggak bilang kalau Chokro lama nggak masuk?!” sembur Dede dengan mode suara ngamuk.

Risma terkekeh. “ Lumayan, Dek. Gue nggak perlu jalan kaki ke Padepokan.”

“Hei! Mika! Kok diem?! Ayo iris lagi!” suruh emaknya yang barusan datang ke dapur di mana dia berada.

“Iya, Mak.” Mika kembali berkutat pada bawang yang diirisnya sambil sesekali mengusap matanya yang perih. Jadi sayembara di
Pasar tadi itu adalah pencarian anak Juragan Antares?Dan anak Juragan itu namanya Chokro? Kok sama kayak nama orang tadi? Jangan-jangan...

***

Sehari berselang setelah Mika yang kena sial—atau beruntung—ketimpa laki-laki ganteng jatuh dari pohon. Seperti biasa emaknya kembali nyuruh dia belanja. Ketika dia pulang dan melewati pohon keramat sambil bersiul, langkahnya berhenti mendadak melihat sosok item-item duduk selonjoran sambil senderan di batang pohon.

“Eh? Itu kan si Chokro?” gumam Mika. “Woy!” teriaknya. Sengaja dia menjaga jarak dari Chokro agar nggak ketiban sial. Udah cukup dia sakit pinggang kayak nenek-nenek kena osteoporosis gara-gara ditimpa tubuh jangkung yang beratnya minta ampun.

Si Chokro mendongak. Dilepasnya topi item yang bertengger menutupi wajahnya sewaktu tadi tidur. Wajahnya senyum-senyum kayak abis menang lotre waktu liat mukanya Mika.

“Hai!” sapanya ramah.

Senyuman laki-laki itu membuat Mika mendadak speechless, kaku dan terpana. Senyumnya manis banget. Kira-kira itu yang dibatinin Mika.

“Apa kau sudah sembuh, Mika?”

“Apanya yang sudah sembuh?”

“Punggungmu.” Dia menunjuk-nunjuk pinggang Mika.

“Sudah kok.” Mika mengangguk sambil tersipu. Laki-laki yang sudah menyita sebagian besar pikirannya ternyata datang ke sini hanya untuk bertemu dengannya. Mimpi apa aku semalam?


“Nah, berarti bener dugaan gue semalem. Lu anak yang kabur itu, kan?” tebak Mika dan langsung membuat Chokro terbelalak matanya.

“Kok tau?”

“Iyalah. Masak lu nggak liat pengumuman sayembara yang banyak nempel di di mana-mana? Lu juga nggak nyadarkah kalau banyak orang yang nyariin lu gegara imbalan yang dikasih Juragan Antares gede,” kata Mika, cerita panjang lebar. Sebelum Chokro kabur,
Mika lanjut ngomong. “Nggak usah takut. Gue nggak bakal ngadu soal lu kok, meski gue suka ngeliat duit sih. Lu kabur pasti
punya alesan. Bener nggak?” Mika tersenyum dan seketika membuat hati Chokro sejuk bak ditiup-tiup angin.

“Makasih.” Chokro balas tersenyum. “Aku hanya nggak mau dijodohin. Aku pengen nentuin siapa istriku nanti. Cuma itu, tapi sepertinya Bapak nggak mau mendengar.”

“O... Begitu...” Mika mengusap-usap punggung Chokro yang mulai menampakkan raut wajah sendu. “Yang sabar ya? Pasti bapakmu suatu saat mau nerima pendapatmu. Tapi kayaknya kalau lu kabur begini kasihan orang tuamu, kan? Mereka pasti khawatir, anaknya nggak pulang-pulang.”

***

Mika berlari kesetanan ketika perjalanan santainya yang diselingi cengiran bahagia berhenti saat dia melihat hiruk pikuk rumahnya di kejauhan.

“Loh? Loh? Emak! Mpok! Kenapa ini? Kok barang-barang kita dilempar keluar rumah sih?” tanyanya heran dan bingung. Tak ada sahutan dari ke empat orang yang kini sedang menangis histeris.

“Emak lu udah nunggak utang banyak! Sekarang udah jatuh tempo. Jadi rumah ini disita.” Laki-laki berotot dan bertubuh gede lah yang malah menjawab pertanyaan Mika.

Mika melongo. Dihampirinya lah Emak serta mpok-mpoknya dan Dede yang pada mewek di pojokan. “Terus kita tinggal di mana Mak? Mpok?” Mika ikutan meluk-meluk tubuh keluarganya tapi dengan tega Risma mendorong Mika hingga jatuh.

“Au ah! Lap!” sahutnya sengak.

***

Di halaman rumah Juragan Kelapa Sawit, Antares. Nampak seseorang yang terus meronta dan sedang dicengkeram kuat kedua lengannya oleh orang-orang bertubuh gede. Dia sepertinya menolak mentah-mentah masuk ke rumah besar di mana bahan bangunannya didominasi oleh kayu tersebut.

“Lepas nggak?! Tanganku sakit tau!” teriaknya masih dengan tubuh yang berusaha lepas dari cengkeraman 2 orang itu.

“Chokro!” Teriakan penuh haru terdengar begitu seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumahnya. “Akhirnya kau pulang juga, Nak.” Sang ibu langsung memeluk anaknya kencang seiring dengan dilepaskannya cengeraman 2 orang tadi pada lengan Chokro.

“Kalau nggak ketangkap aku juga nggak mau pulang, Bu.”

“Kok gitu sih, Nak? Padahal ibu sedih banget kamu nggak pulang-pulang.”

“Habisnya Ibu nggak bantuin nolak waktu Bapak ngejodohin aku dengan anaknya pak Suryo.”

“Sekarang ibu sadar kok. Asal kamu nggak kabur lagi. Ibu akan bujuk Bapak buat nggak jodohin kamu. Cinta memang nggak bisa dipaksain,” ucap sang Ibu sembari menggiring anaknya masuk ke dalam.

***

“Wah... Kamu yang lunasin hutang Emak dan bikin kita semua bisa balik lagi ke rumah? Hebat kamu Mika!” teriak emaknya girang setelah dia sampai di muka pintu rumahnya. Setelah itu Emaknya sibuk memeluk ketiga putri kandungnya. Karena takut disemplak lagi kayak dulu, Mika cuma menatap dengan senyum masam pemandangan menggembirakan di depan sana.

Maaf, Chok. Ini demi keluargaku. Gue butuhk uang imbalan itu. Gue harap lu di sana baik-baik saja dan tak lagi dipaksa menikahi orang yang nggak lu sukai. Gue janji, suatu saat gue bakal mengembalikan uang ini sama lu, Chok. Gue sumpah. Mika membatin
miris tanpa sadar matanya berkaca-kaca.

***

Mika sejak menolong melunasi hutang emaknya, kini keadaannya sedikit membaik. Emaknya tak lagi bersikap semena-mena. Meski saudara-saudara tirinya masih suka nyuruh-nyuruh tapi tak lagi seburuk dulu. Jika sikap mereka kembali kelewatan, emaknya sering membelanya. Tapi segalanya tak lagi sama. Di dalam hati Mika serasa ada yang hilang. Dia tak lagi merasa bahagia. Rasa bersalahnya pada Chokro dan perasaan lain yang menyempil dan bertumbuh perlahan membuat Mika lebih merasa tersiksa ketimbang perlakukan emak dan saudara-saudara tirinya dulu.

Chokro pun juga begitu. Tak ubahnya mayat hidup, dia sering terlihat melamun atau marah-marah sendiri di depan kaca. Dia merasa terkhianati karena Mika yang dipercayanya sepenuh hati rela menukarnya dengan uang imbalan.

Keadaan Chokro yang sekarang membuat kedua orang tuanya khawatir. Tuan Antares sampai kebingungan harus bagaimana padahal dia sudah mencabut perjodohan itu tapi masih saja Chokro tak seceria dulu. Lalu tercetuslah ide untuk mengadakan pesta tepat di hari ulang tahun Chokro. Penduduk di desa Srigunting, khususnya gadis-gadis belia yang cantik-cantik diundang agar Chokro tak murung lagi. Mungkin saja di pesta itu dia bertemu dengan gadis yang disukainya.

Pesta berlangsung meriah. Gadis-gadis cantik bertebaran di mana-mana. Tapi Chokro tak menampakkan minatnya padahal sang Ayah sudah mengenalkan banyak gadis padanya. Hingga suatu ketika matanya tertumbuk pada 4 orang gadis yang baru datang dan memasuki halaman rumahnya yang dihiasi banyak obor-obor dan makanan yang berjajaran di meja-meja panjang.

“Mika?” Chokro memekik tertahan. Sesaat mata kedua insan yang saling merindukan itu bertubrukan tapi sedetik kemudian Chokro membuang muka.

Mika yang tampak berbeda namun sederhana karena hanya dia yang tak berdandan heboh melangkah mendekati Chokro lalu menyapanya lebih dulu dengan suara lirih meragu.

“Hai, Chok.” Mika mencoba tersenyum biasa meski jantungnya berdetak sangat cepat.

Chokro tak menjawab. Dia malah melangkah menjauh dari Mika seolah gadis itu tak nampak di matanya. Sigap. Mika mencengkeram lengannya.

“Gue tahu lu muak liat gue di sini, kan? Gue sadar, gue salah tapi apa yang gue lakuin itu terpaksa. Utang emak banyak banget jadi kami diusir dari rumah sebelum utang itu lunas.” Suara Mika semakin lirih. Kepalanya menunduk tak mau Chokro tahu bahwa dia kini sudah menangis. “Tapi gue janji bakal ganti duit imbalan itu biar gue dapet maaf dari lu.” Nampak Mika mengambil sesuatu dari kantong baju gombrongnya. Nongol lah kantong warna merah yang dulu selalu dipakai nyimpen receh. “Anggep ini uang muka. Lain kali, setiap hari gue bakal setor duit buat ganti duit itu.” Mika menyorongkan kantong merah itu ke arah Chokro tapi tak juga dia terima. Akhirnya Mika letakkan di telapak tangan Chokro dengan paksa lalu melangkah pergi ke arah luar area rumah Antares.

Chokro menatap punggung Mika sambil tertegun. Benaknya saling bertarung antara tetap diam atau menyusul Mika dan bilang bahwa dia sangat merindukannya. Tak berapa lama kaki itu berlari, menyusul Mika.

“Mika! Aku memaafkanmu karena...” Chokro nampak ragu untuk melanjutkan ucapannya. Semua orang pun serentak diam. Melihat ke arah Chokro. Setelah memantapkan hati, dia kembali menatap Mika yang sudah membalikkan tubuh menghadap padanya. “Karena aku mencintaimu!!!” teriak Chokro tanpa malu dan ragu.

Tamat

Black Day With Spooky Girl


Hannam-dong, Yongsan-gu, Seoul, Korea Selatan

“Nggak punya Yeojachingu sampai sekarang? Hahaha! Kau kalah, Min-ie . Yoochun-hyung yang tubuhnya subur saja bisa dapat Yeojachingu. Kenapa kau nggak bisa?” seloroh seorang pemuda berwajah imut—kalau tak mau dibilang cantik—dan bermata bulat, bernama Han Jaejoong.

“Walau aku agak gemuk yang penting kan, pesonaku tetap terpancar kuat jadi gampang ngedapetin yeojachingu. Dari pada magnae itu?” Yoochun yang merasa terhina tak terima. Dagunya mengedik sengak ke arah pemuda yang menjadi bahan pembicaraan.

Penghuni rumah sewa termuda itu, Shim Changmin hanya duduk mengkerut di sofa paling ujung sambil masang muka super masam.
Sedangkan pemuda lain yang duduk di sebelah Changmin nepuk-nepuk bahunya sambil tersenyum geli.

“Sudah terima saja kekalahanmu,” kata pemuda yang nepuk bahu Changmin itu. Kim Junsu namanya atau lebih sering dipanggil Dolphin karena suaranya yang merdu.

“Besok sudah black day lho... Jadi—”

Yunho, pemuda bermata tajam menyela omongan Jaejoong. “Terima hukumanmu besok!”

Dan semua yang ada di ruangan utama ketawa berbarengan kecuali...

“Aish! Kalian ini kejam! Tega banget sih ngebiarin aku kencan dengan makhluk bukan manusia seperti itu demi sewa gratis sebulan?!” pekik Changmin dengan ekspresi berlebihan. Kelihatan banget kalau dia belum bisa nerima kekalahannya.

***

Di salah satu area rumah yang disewa secara patungan dan dihuni oleh 5 orang namja . Tercetuslah pada suatu malam—karena kesibukan masing-masing: Jaejoong dan Yunho di Seoul untuk kuliah, Yoochun bekerja, Junsu dan Changmin yang masih nyandang status sebagai Pelajar SMU yang juga merangkap menjadi Trainee di sebuah Perusahaan Musik—sebuah kesepakatan bahwa mereka semua yang notabene tak punya seorang pun Yeojachingu, harus nyari sebelum Black Day. Kalau kalah, mau tak mau harus kencan sama Min
Ja Young, anak Pemilik rumah yang mereka tinggali.

Beberapa hari sebelum ide nyari Yeojachingu ini tercetus, Min-ahjumma pernah berkeluh kesah—sekaligus secara nggak langsung ngasih sayembara gitu deh—bahwa siapa pun Penghuni rumahnya yang mau kencan sama Ja Young maka dia bakal ngegratisin biaya sewa selama sebulan. Tapi tak ditanggapi oleh 5 Namja itu lantaran mereka tahu betapa menakutkannya Ja Young. Itu jugalah yang jadi kendala kenapa Ja Young tetap menjomlo dan bikin Min-ahjumma kebakaran jenggot lantaran takut anaknya nggak laku seumur hidup.

Black Day pun tiba...

“Sial! SIALLL!!!” Cangmin teriak-teriak kesal. Rasa geregetan itu memang sejak matanya melek sudah bersemayam tapi menjadi semakin naik dosisnya setelah dia memakai pakaian berwarna suram itu.

Kenapa harus ada Black Day? Dan kenapa juga aku harus menjomlo di tanggal 14 April? Kenapa??? Changmin ngomel-ngomel dalam hati. Bikin dia ngacak-acak rambut saking frustasinya.

“Sudahlah, Min-ie. Tak perlu memasang ekspresi kayak itu. Nanti bisa cepat tua lho? Nggak kayak aku, walau umur 100 tahun pun bakalan terus sweet seventeen. Hehehe...,” ucap Jaejoong, Roomate-nya yang duduk di pinggir ranjang tepat di belakang Changmin.

Pagi tadi dialah pelaku yang ngebangunin Changmin dengan semena-mena lalu milihin kemeja lengan panjang warna hitam itu untuk Changmin pakai dan sampai sekarang tak mau hengkang dari kamar si Magnae. Bisa Changmin lirik sosok Jaejoong tengah senyum-senyum mengejek dalam pantulan cermin yang dia tatap.

“Kenapa Hyung dulu harus setuju dengan ide gila si Dolphin, sih?” Changmin berbalik, menatap Jaejoong tajam. “Walau taruhan kita berlima, aku yang kalah karena nggak dapet Yeojachingu. Tapi hyung bela aku, dong! Masa, aku yang tampan ini harus ikut
Black Day? Ditambah nge-black day-nya bareng Alien nyeremin kayak gitu. Mau ditaruh di mana muka tampanku? Bisa turun pamorku di mata Yeoja jika aku yang paling populer seantero Sekolah, ketahuan kencan bareng makhluk nggak banget kayak gitu di
Restoran Jajangmyeon . Sial!” Changmin berteriak kesal tapi narsis. Lagi.

Pletak!

Jaejoong pun mendekat lalu menoyor kepalanya. “Sok kecakepan!”

“Hehehe....”

Mendengar kekehan mengejek, Changmin lantas menyorotkan mata ke orang yang menyembulkan kepala dari luar pintu kamar.

“Tuhan memang adil, Min-ie. Biasanya kami yang sering kau dikerjai. Sekarang nerima karmanya, kan? Hahaha!” Junsu semakin tertawa terbahak-bahak di ambang pintu.

“Sudahlah. Dengan memasang wajah kecut terpaksa begitu nanti Min-ahjumma ngerasa tersinggung lho, Min-ie. Kalau kau tak makan
Jajangmyeon bareng Ja Young yang juga ngelakuin Black Day. Lalu kencan dengannya sambil ngenalin gimana asyiknya jadi Yeoja biasa, uang sewa kau bayar penuh sebulan.” timpal Yoochun yang sosoknya tak nampak dari dalam kamar.

Changmin menghentakkan kaki kesal dan keluar dari kamar, disusul oleh Penghuni lain yang mengekorinya sambil berkasak kusuk.

“KALIAN SEMUA! Awas nanti! Akan kubalas! Pasti!”

Brakkk!!!

Suara pintu kebanting yang lumayan keras menghilangkan sosok Changmin yang menyedihkan tapi cukup membuat semua orang yang tersisa di dalamnya bahagia. Terbukti, sepeninggal Changmin mereka ketawa lagi dengan suara yang lebih kencang minus Yunho tentunya karena orang satu itu pelit ngeluarin suara. Hanya senyum tipis yang bisa dia keluarkan.

Tak berselang, 4 orang Namja itu buru-buru ngambil dompet, jaket dan benda lain lalu bergegas keluar ruangan untuk ngebuntutin Changmin. Bisa saja, kan? Changmin nggak ngelaksanain hukuman tapi malah asyik pergi ke tempat lain.

***

“NGGAK MAU!!!” tolak Jayoung. Dia pun kabur dari ruang tamu, di mana Changmin dan ibunya berada menuju ‘oasis’nya yang damai.

Ibunya sontak ngejar tapi nggak lupa ngegandeng tangan Changmin biar mau ikutan ke kamar Jayoung.

Brakkk!

Jayoung nutup pintu kasar. Ruangan bercahaya lampu minim dengan interiornya yang aneh atau bisa dibilang nyeremin. Menjadi tempatnya biasa ‘berteduh’ setelah melakukan bermacam-macam pekerjaan rumah yang mengharuskan dirinya bertemu dengan banyak orang dan terpapar sinar matahari yang bikin silau—bagi dia.

Brak!

“HYAAA!!!”

Changmin melompat keluar kamar karena kaget dengan penampakan benda-benda menyeramkan yang tergeletak di kamar Jayoung. Baru kali ini dia ngelihat kamar semenyeramkan ini. Bahkan Wahana permainan Rumah Hantu di Lotte World yang pernah dimasukinya kalah seram dibandingkan kamar Jayoung.

“Astaga, Jayoung-ah . Eomma hanya pengen kamu bisa kayak Yeoja normal yang suka shopping, jalan-jalan terus main ke taman hiburan, nggak jadi yeoja horor kayak gini.” Ibunya nyoba ngebujuk dengan nampilin muka melas supaya Jayoung ngerasa bersalah.

“Wah! Kalau aku jual tiket masuk untuk uji nyali di sini bisa laku keras nih!” Changmin yang syoknya sudah hilang malah berbalik jadi natap seluruh isi kamar Jayoung dengan terkagum-kagum. Naluri bisnisnya nongol.

Pletak!

Kepalan tangan melayang indah di kepala Changmin. Dia sudah sukses bikin Ibunya Jayoung tambah gondok. “Bukan saatnya memikirkan itu! Bujuk putriku biar mau pergi!” hardik Ibu Jayoung.

“Ya, maaf, Ahjumma! Maklumlah, saya kan punya bakat bisnis,” jawab Changmin santai sambil ngusap-usap benjol di kepalanya.

***

Cheonggycheon, Myeong-dong, Seoul, Korea Selatan

Akhirnya dengan air mata bombay sang Ibu—yang tak ketinggalan ancaman kalau tak mau pergi, Jayoung akan dipaksa masuk ke kelas menari, perawatan tubuh rutin, dan melakukan hal-hal merepotkan lain—dengan lunglai, Jayoung mau juga keluar rumah. Sekarang mereka sudah sampai di Cheonggycheon. Kawasan di mana ada sungai yang tertata indah dengan taman bunga yang diapit 2 jalan raya. Untung sekarang musim semi jadi bunga sedang bagus-bagusnya pada mekar termasuk bunga mawar merah di depan sana.

Tentunya karena Changmin yang pinter ngegombal alias ngebujuk Ibu Jayoung. Alhasil acara kencannya dengan si gadis aneh penyuka kegelapan itu seratus persen nggak bermodal karena dari rumah Jayoung, Cangmin dapat kartu kredit unlimited yang tinggal gesek.

Eits! Tentunya segala yang gratis itu ada imbal baliknya. Selain ngasih dana kencan, sang ibu yang frustasi itu juga ngasih list ke tempat-tempat yang harus Changmin datangi bareng Jayoung.

Jurus rayuan ala Changmin yang biasanya sukses bikin luluh Siswi-siswi di sekolahnya mulai dilancarkan. “Jayoung, lihat! Mawarnya indah dan wangi ya?” Changmin pun nyoba metik mawar merah sekuntum.

“Iya, semerah darah,” jawab Jayoung asal sambil ngamati mawar merah itu dengan senyuman iblis.

Crasss!

“Aduh!” pekik Changmin ketika tangannya tergores duri mawar yang tajam. Darah pun bercucuran dari jari-jarinya.

Mata Jayoung tiba-tiba berbinar-binar. Wajahnya kelihatan sumringah sambil natap telunjuk Changmin yang berdarah. Sigap,

Jayoung meraih tangan Changmin. “Wah…” Jayoung memegangi punggung tangan Changmin dan tangan satunya mengusap darah yang keluar di permukaan kulit jarinya.

“Hoh… Jayoung ternyata bisa punya ekspresi manis juga, ya?” Jaejoong terpukau.

4 Namja yang mengintip dari balik tanaman merambat memandang adegan manis itu dengan muka berseri-seri. Baru kali ini mereka melihat Jayoung tangkas membantu orang yang terluka. Selama ini mereka lumayan tahu bagaimana Jayoung. Yeoja aneh yang suka hal-hal suram dan horor. Selalu ngomong sedikit tapi jleb! Tajam. Dan benar-benar tak seperti Yeoja kebanyakan.

Srakkk! Brukkk!

“AAA!!!” Teriakan kaget sekaligus kesakitan muncul dari mulut Changmin karena sekarang dengan sukses tubuhnya terkapar di atas tanaman mawar yang berduri. Jayoung lah tersangka yang sudah mendorong tubuh Changmin kelautan duri mawar dengan sadis.

“Hihihi~ Pemandangan yang indah… Rasanya kayak jadi Elisabeth Bathory saja. Hihihi~” Jayoung malah terkikik senang.

4 orang pengintip kencan orang, masih melongo antara tak percaya dan syok berat. Mereka terpaku beberapa saat, setelah otak bekunya mampu menerima peristiwa di luar nalar barusan, barulah mereka bertiga berlari tergopoh-gopoh menolong Changmin yang masih meraung-raung kesakitan dan berusaha bangun dari tempatnya terjatuh. Cukup sulit ternyata untuk bangun dari tumpukan tumbuhan manis nan berbahaya ini karena bajunya nyantol di duri-duri mawar.


“Percuma saja. Percuma melakukan apa pun juga. Kasihan Min-ie jika harus terus jalan-jalan bareng Jayoung.” Junsu berkata dengan lesu.

Changmin yang merasa dibela mulai kembang kempis hidungnya. “Dolphin! Kau memang yang paling pengertian.” Tak segan Changmin meluk Junsu tapi cepat-cepat dipisah Yunho.

“Tetap lanjutkan acara kencan! Aku jadi penasaran kenapa tuh Yeoja jadi sesadis itu.” Yunho berseloroh sambil ngelirik Jayoung yang berjongkok di pinggir sungai, lagi main air.

Ingin rasanya Changmin nonjok Yunho tapi sayang Yunho terlalu nakutin buat dilawan. Dia cuma bisa merengek minta pulang.

“Sudah. Sudah. Aku setuju tuh sama Yunho.” Jaejoong menengahi lalu merampas kertas list dari Ibu Jayoung yang tadi dikasih ke
Changmin. “Min-ie, Ajak Jayoung ke tempat selanjutnya,” perintah Jaejoong.

Changmin memasang puppy eyes biar Jaejoong dan ketiga kawan serumahnya kasihan tapi sayangnya gagal.

***

Pierre Garnaire, Gangnam-gu, Seoul, Korea Selatan

“Aduh!” Jayoung sweatdrop melihat di sekelilingnya semua berkerlip berkilau-kilau. Matanya memicing dan keringat dingin meluncur di keningnya.

“Di sini yang paling terkenal lezat kata si Pelayan tadi itu Cordon bleu. Kau mau pesan itu?” Senyum flamboyan—meski was-was
—terukir manis di bibirnya.

“Min-ie! Aku juga mau dong, Cordon bleu-nya?” Tak jauh dari meja Changmin dan Jayoung, Yoochun ikut-ikutan minta makan dengan nggak elegan.

Pletak!

Garpu yang tergeletak rapi di meja mendarat mulus di kepala Yoochun. Yunho geram melihat teman kampungannya itu. Sedangkan
Changmin yang beda meja dengan mereka berempat, pura-pura nggak kenal dan bertampang sok cool. Dalam hati dia merutuki nasib
kenapa punya teman senorak Yoochun.


59 menit 59 detik kemudian…

Keringat sejagung-jagung Jayoung makin deras mengalir dan akhirnya karena nggak tahan lagi dengan silaunya tempat di mana dia berada. Jayoung pun meraih gorden yang menempel apik di jendela besar Restoran dan...

Brettt!

Jayoung menarik gorden itu sekuat tenaga. Dipakainya gorden itu untuk menutupi seluruh tubuhnya yang berbalut gaun tanpa lengan warna pastel—tadi sempat pulang dan dipaksa ganti gaun sama ibunya—sampai ke mukanya.

“NO-NONAAA!!!” pekik salah seorang Pelayan. Changmin dan 4 namja lain melotot bin melongo melihat fenomena ganjil yang kembali
terulang.

“Anu, Ja-Jayoung… An-anu…” Changmin mulai panik. Selanjutnya sibuk meminta maaf pada Manajer Restoran yang datang dengan muka begis. Pengunjung lain ada yang terkikik geli, menatap horor penampakan Jayoung yang beraura gelap nan seram dan ada yang terpana tak berkedip sejak tadi melihat beberapa namja yang tampan dan keren.

“Nggak tahan! Nggak tahan! Pengen pulang!” Jayoung ngedumel sendiri sambil melangkah keluar dari Restoran.

***

“Sudah! Kita pulang saja! Sudah capek hati tahu ngeliat kelakuan aneh Jayoung!” keluh Jaejoong yang jadi juru bicara dari isi hati yang lain kecuali Yunho.

Dia malah merasa Jayoung itu unik dan lumayan merasa geli. Tak pernah sekalipun dalam 22 tahun hidupnya dia menemui Yeoja ‘sekeren’ Jayoung. Tapi sayangnya Yunho terlalu gengsi bilang, jadi teman-temannya menganggap Yunho sepemikiran dengan mereka.

“Hei, bukan kah list-nya masih belum semuanya dilaksanakan?” Yunho Angkat bicara. Semua serempak menatap Yunho aneh karena
wejahnya tak seekspresi dengan mereka. Wajah itu nampak tersenyum tipis.

“Hyung mau meneruskan? Nih, kartu kredit-nya.”

“Kami pulang ya. Jaga si Alien itu baik-baik!”

Yunho hanya tersenyum miring mendengar celotehan teman-temannya sebelum berjalan ke halte bus terdekat.


“Nonton film drama? Ngebosenin.” Yunho sibuk membaca secarik kertas di tangannya. Sejenak dia lupa keberadaan Jayoung yang
menjauh karena tertarik dengan poster pilm ‘Puss in Boots’. Begitu sadar, Yunho celingukan mencari Jayoung.

“Wah! Pilmnya seru tuh kayaknya.” Yunho yang mendekat tanpa Jayoung sadari dan tiba-tiba ngomong berhasil bikin Jayoung kaget.
Spontan dia membalik badan dan tak sengaja malah nabrak dada Yunho. “Ayo. Puss on Boots!” Ajak Yunho sambil ngegandeng tangan Jayoung erat.

Waktu berlalu tanpa terasa. Mereka berdua menyusuri trotoar, jalan pelan-pelan. Yunho seperti tak mau melepas genggaman tangannya pada Jayoung. Padahal Yeoja itu sejak keluar dari gedung bioskop merasa risih tapi tak cukup punya keberanian uat narik keras tangannya. Serasa ada sesuatu dalam dirinya yang bikin dia tak mampu untuk menolak perlakuan Yunho.

“Emmm...” Jayoung bergumam tak jelas. Mencari ancang-ancang untuk bicara tapi tak juga bisa ngomongin apa yang lewat di benaknya dan sudah mendesak sejak tadi untuk diungkapkan.

Yunho tak menoleh. Wajahnya tetap lurus mandangin apa yang terhampar di depannya. “Kalau mau mengatakan sesuatu, katakan saja,” ucapnya seolah tahu bahwa ada hal yang ingin Jayoung bicarakan.

“Em... It-itu... yang tadi... Si Puss itu...” Kegugupan melanda. Mulut Jayoung seperti kena lem super anti badai.

Kaki Yunho berhenti melangkah, alhasil Jayoung yang terus berjalan nunduk nubruk punggung tegap itu. “Aish!” Jayoung mundur selangkah. Pengennya sih mundur berlangkah-langkah tapi apa daya tangannya terbelenggu gitu.

“Ah, kau lapar tidak? Kita makan dulu, oke?” Yunho menggoncang-goncang gandengan tangan itu seraya tersenyum ramah.

Jayoung hanya diam, melirik sekilas lalu kembali natap aspal.

“Tenang. Aku tak seperti Changmin yang mata duitan, kok. Aku yang traktir. Kartu kredit punya Eomma-mu tak kupakai secuil pun.
Ayo!” Ditariknya kencang tangan Jayoung. Tak lama masuklah mereka ke sebuah warung Bulgogi .

“Eh? Tapi—” Jayoung mencoba nolak tapi tenaganya kalah jauh dari Yunho.

“Karena kita sama-sama sudah kenyang. Ayo, kau mau ngomong apa, hm?” Yunho yang kesehariannya jarang tersenyum, seharian tadi entah kenapa sering tebar senyuman lembut pada Jayoung.

Hening. Jayoung hanya nunduk kayak biasa.

“Baiklah, kalau kau tak mau bicara.” Yang tadi bertopang dagu kini kembali nyandarin tubuhnya ke sandaran kursi. “Aku tahu semua tentangmu jadi karena itulah aku tak begitu heran, kau malah memilih menonton ‘Puss in Boots’ ketimbang pilm horor. Itu kan yang mau kau tanyakan?”

Jayoung ngangguk gamang. Matanya mulai berani menatap Yunho.

“Tahu tidak? Selama ini aku memperhatikanmu. Kau itu gadis teraneh yang pernah aku kenal. Suka hal-hal horor, selalu memasang raut menyeramkan tapi di balik itu, kau berubah lembut ketika merasa iba melihat kucing yang terluka di pinggir jalan.”

Ja Young langsung melotot kaget. “Kenapa kau tahu soal kucing?” tanyanya lancar selancar seluncuran anak TK.

“Beberapa minggu lalu kau duduk berjongkok di pinggir jalan membantu kucing yang masuk selokan, kan? Aku mulai penasaran padamu sejak itu. Ternyata setelah tahu banyak hal tentangmu. Kau tak semenakutkan apa yang selalu nampak. Kau menyukai kucing, tapi
karena Eomma-mu alergi kucing kau tak bisa memeliharanya. Wajah galak yang terpampang dan hal-hal menyeramkan yang kau suka itu sebenarnya hanya kamuflase, kan? Aku juga tahu itu.” Yunho mendekatkan wajahnya ke arah Jayoung tapi Jayoung malah mundurin wajah. Jantungnya berdetak tak beraturan. Rasanya dia seperti tersanjung karena ada yang tahu sedetail itu tentang dirinya.

Tapi... Kamuflase?

“Kenapa ka-kau bilang kamuflase?”

“Eomma-mu pernah cerita kalau kau berubah begini sejak Eonni-mu yang kau anggap cantik sempurna dan selalu kau idolakan itu meninggal. Kau takut pada semua Namja karena Eonni-mu meninggal karena disakiti oleh namja. Benar, kan?” Yunho mengulurkan tangan lalu meraih tangan Jayoung. “Percayalah, tak semua namja itu jahat. Kalau ada yang menjahatimu kelak, bilang saja padaku. Aku akan melindungimu.” Matanya menatap lekat Jayoung. Berusaha mengalirkan kehangatan dan melunakkan hatinya yang sudah beku.

Tanpa Jayoung sadari, matanya mulai ngabur perlahan. Cairan hangat menggenang lalu mengalir, membuatnya langsung nunduk karena merasa malu ketahuan nangis di depan Yunho.

“Hei, menangislah. Mungkin dengan begitu rasa sakitmu selama ini bisa hilang. Tapi setelah kuharap kau kembali pada dirimu yang dulu. Oke?” Diusap-usapnya puncak kepala Jayoung penuh sayang. Alhasil Jayoung nangis makin keras.

***

Beberapa hari kemudian...

“Hei, hyung. Kok bisa sih kau menaklukkan Yeoja horor itu?” Junsu bertanya penasaran.
Yunho malah mendelik. “Hei, namanya Jayoung. Mengerti?!”
Seketika Junsu mengangguk takut.

“Wah... Kalau tahu Jayoung aslinya cantik begitu sudah kudekati dia dari dulu.” Changmin menatap keluar jendela dengan sorot berbinar.

Plak!

“Auw!”

Yunho tanpa aba-aba ngejitak kepala Changmin. “Kau dekati dia, awas kau!”

“Ampun, hyung.” Changmin mengusap-usap kepalanya seraya meringis.

“Anyway, thanks ya, Yun-ie. Berkat kau biaya sewa kita gratis sebulan.” Jaejoong merangkul Yunho sambil cengar cengir. Yoochun
yang sibuk ngemil sambil nonton Televisi mengangguk setuju.

“Siapa bilang gratis? Aku menolak penggratisan itu. Aku tak mau dibilang mendekati Jayoung karena ada maksud terselubung.
Mengerti?” Yunho berkacak pinggang.

Yoochun seketika langsung tersedak, “Tap-tapi, hyung?”

“Sudah, ah! Aku mau berkencan dulu dengan Yeoja-ku Min Jayoung,” pamer Yunho lalu melangkah keluar rumah.

“Hyung, tapi aku sudah terlanjur menghabiskan uangku, hyung.” Yoochun melanjutkan kata-kata yang terpotong.

“Betul, hyung!” Yang lainnya kompak memprotes.

“Bukan urusanku!”

Brak! Yunho menutup pintu keras.

End

Rabu, 12 Juni 2013

Foto-foto Anak-anak Les-ku Pas Kegiatan




Ini waktu main apa ini? Ngajak ice breaker biar nggak pada bosen belajar mulu. XD


Vico dan Vian lucu ya...


Lomba 17 Agustus-an tahun lalu.


Pas ngerayain Natal bersama di Waterblaster. Aish... Yang moto sirik nih. Masa aku cuma kelihatan punggung doang? -_-


Paskah bersama di Kebun Binatang Mangkang, Semarang bareng anak-anak kelas 4-6 SD.


Lagi pada praktek bikin sabun colek nih. Ade ngapain tuh pake ember di kepala? O,o


Kelas SMA yang pada iutan Arung Jeram di Citra Elo, Jogja.
Ya... Ampun... aku berasa seumuran dengan anak SMA.

Dan masih banyak kegiatan lain yang berkesan tapi sayangnya fotonya ada di kantor. Aku rada males nyimpenin foto-foto kegiatan. Hehehe~

My Lovely Samsul


Semua orang pasti punya Hempon(Handphone-red), dong? Nah, saya mau cerita tentang my Samsul(Samsung-red). Hempon yang paling kucinta. bukan karena kecanggihannya yang maha dahsyat atau pun keelokan parasnya tapi aku mencintainya karena dia yang selalu menemaniku sejak jaman aku masih unyu-unyu sampai sekarang--yang tentunya juga masih unyu.

Hempon warna item merah ini (itu warna kesukaan-ku! >_< #promosi) kubeli semasa aku masih nggak punya apa-apa. Masa-masa segalanya masih susah, aku masih kuliah dan belum bekerja (ya-iyalah!). Aku tak pernah punya hempon sebelumnya. Sewaktu di Asrama, seringnya untuk ngabarin orang rumah, aku suka nebeng minta SMS ke temen sekamar atau numpang nelpon wartel terdekat. Terus timbullah cita-cita pengen punya Hempon. Nabunglah aku sangat-sangat ketat. Untung di Asrama segalanya dapat dari sana (kecuali alat mandi, baju, sabun cuci, dan perlengkapan pribadi lainnya), jadi nggak perlu pusing mikir apa yang mau dimakan nanti. Lima bulan berlalu dengan lambat. Tabunganku sudah cukup banyak buat beli Hempon. begitu liburan dimulai dan aku pulang ke Semarang, dapatlah aku Hempon item merah berkamera 2 MP (jaman dulu masih wah lho Hempon kayak gitu) yang suka kupanggil Samsul--karena nggak boleh nyebut merek. Setelah enam tahunan berlalu, si Samsul masih aku pakai lho... Yah... Walau pun keypad-nya sudah pada rontok, mike-nya sudah soak jadi nggak bisa buat nelpon dan kalau ada yang SMS suka nyampenya telat atau nggak nyampe sama sekali, tapi aku tetap setia memakainya. Aku cinta Samsulku. Meski yang baru sudah kubeli bahkan jauh lebih canggih tapi kalau SMS-an aku masih pakai my Samsul. akan terus kupakai sampai ini Hempon bener-bener ko'it.[ ]

~o0o~

P.S : siapa pun yang baca tolong bantu saya. Masa nggak bisa ngenter sih. T^T

"Diikutsertakan dalam even Giveaway Wedges, Kaos dan Buku di www.argalitha.blogspot.com

Kamis, 06 Juni 2013

Ketika...



Langkah-langkah orang yang berjalan terburu-buru banyak terdengar. Jalanan di Myeong-dong benar-benar sudah menjadi lautan manusia. Benar juga? Inikan sudah saatnya orang-orang pulang dari pekerjaan ataupun sekolahnya. Ngomong-ngomong soal pulang... Astaga! Pasti Ayah dan Kakak sudah menungguku di kantor mereka. Aku harus segera kesana karena itu langkah kakiku harus lebih cepat. Ah tidak! Sebaiknya aku lari saja!

Aiden pun berlari di sepanjang trotoar. Menabrak pejalan kaki beberapa kali dan akhirnya sampailah dia di gedung tempat Ayahnya dan Andrew, bekerja. Dia pun memasuki gedung perkantoran yang sudah dia hafal denahnya diluar kepala. Ditengah perjalanannya menuju eskalator, terlihat seseorang menuruni tiap anak tangga eskalator dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya terlihat sedih dan sepertinya sedang menangis. Lalu…

Gadis itu menubrukku. Bukannya aku yang terjatuh tapi malah dia yang terduduk dengan posisi bersimpuh. Kutatap dia dalam posisi yang masih berdiri. Kenapa dia masih duduk diam dilantai? Kenapa tak ada ucapan maaf untukku? Sesakit itukah tubrukan tadi?

“Hei. Kau tidak apa-apa?” Akhirnya aku mengalah untuk mengucapkan kata-kata.

Tak ada respon darinya. Dia tetap diam dan duduk dengan kepala tertunduk namun lamat-lamat kulihat bahunya bergetar.
Isakan terdengar sayup-sayup lalu, “Huwaaa…!!!” Tangisannya semakin keras.

Eh? Ada apa? Apa ada yang sakit Nona?” Tanyaku kebingungan.

Aku berjongkok di depannya. Memandanginya dan menggoncang pelan bahunya. Aku kalang kabut dibuatnya. Memangnya tubrukan tadi sesakit itukah? Sampai-sampai membuat gadis ini menangis begitu keras. Semua orang melirik kearah kami.
Aduh, gawat! Pasti mereka berpikir aku yang sudah membuatnya menangis. Tapi, memang iyakan?! Aduh! Bagaimana ini???

“Non-Nona? Ka-Kau tak terlukakan? Diamlah, aku mohon! Atau setidaknya bangunlah. Kita duduk di Cafetaria. Oke?” Bujukku.

Dia menatapku sambil sesenggukan lalu mengangguk lemah.

Kami sudah duduk di Cafetaria yang berada 1 Gedung dengan kantor Ayah. Aku duduk tenang menunggunya berhenti menangis sambil sesekali memberikan Tissue. Tadi dia bilang tak ada yang terluka, tapi kenapa dia menangis? Sebenarnya aku ingin segera pergi karena Ayah dan Kakak pasti sudah menungguku di kantornya tapi gadis ini tak bisa kutinggalkan begitu saja.

“Minumlah.” Bujukku saat 2 Cangkir Esprezzo baru diletakkan oleh Pelayan, di meja kami.

“Ya, terima kasih.” Ucapnya lirih.

Sedetik, dua detik… Tak ada tanda-tanda dia mau meminumnya. Haah… Gadis ini benar-benar aneh.

“Minumlah.” Bujukku lagi setelah itu kuseruput cangkir yang kupegang.

“Aku…”

“Ya?” Dia sepertinya mau mengatakan sesuatu. Inilah yang kutunggu-tunggu, sebuah penjelasan.

“Aku… Pantang minum Kopi.”

Ha? Aku terpukul dengan ucapannya. Kupikir dia mau mengatakan hal yang serius tapi ternyata, “Lalu kenapa tadi kau
tidak bilang saat aku pesankan minuman?” Tanyaku. Terus terang rasa kesalku mulai muncul.

“So-soalnya kau tidak bertanya padaku.”

Brushh! Wajahku mulai memerah karena emosi. Hampir saja aku menyemburkan Ezpresso di mulutku dengan gaya tak elegan.

“Ya sudahlah! Aku pesankan minuman lain. Kau mau apa?” Kuangkat tanganku dan bersiap mengeluarkan suara. “Pe—”

“Tidak usah. Emmm...” Dia bergumam sebentar sambil matanya melirik ke nametag yang menempel di Almamaterku. “Aku mau
segera pergi. Permisi, Aiden.”

Cuma permisi? Tidak ada kata terima kasih ataupun maaf? Aduh! Siapa sih dia? Kenapa tidak punya sopan santun sedikitpun?

“Hei, tunggu!” Gadis itupun menghentikan langkahnya yang akan pergi dariku dan menoleh padaku. “Siapa kau?”

“Ha? Ah? Aku... Milly.” Dia membungkuk sekilas lalu dengan cepat berbalikpergi dengan langkah tergesa.

“Eh?!” Aku memekik tertahan ketika merasa familiar dengan namanya. “Kau Millicent Tres yang itu kan? Putri Paman
Henry?”

“Darimana kau tahu?” Alisnya bertaut, keningnya berkerut heran.

“Paman galak itukan Asisten ayahku. Kau pikir untuk apa aku disini.” Sahutku mejelaskan. Hah? Sepertinya ada nada
sombong dalam kalimatku barusan? Ah! Sudahlah!

Tak berselang, diapun kembali duduk dikursinya. Diluar dugaan, dia tak marah oleh kata-kataku yang menyebut ‘Paman galak’. Dia malah berceloteh panjang lebar tentang Ayahnya. Kedatangannya kemari ternyata untuk memprotes Ayahnya
yang ingkar janji, pergi bersamanya tapi dia malah dimarahi karena mengganggu pekerjaan Ayahnya. Kasihan... Karena antusiasme-nya yang tinggi dalam hal menggosipi Ayahnya, aku tak bisa menolak dan meminta ijin untuk meninggalkannya pergi. Setelah ini pasti aku akan dimarahi Ayah karena sangat terlambat datang.

~o0o~

“Aish! Kenapa tidak tersambung juga?!” Aku jengkel sendiri dibuatnya. Dasar Kakak workaholic , padahal kurang dari
seminggu lagi dia menikah. Kenapa tidak cuti saja dulu?! Kasihan Kak Yukio.

Sepulang sekolah, setelah tak juga Kakaknya mengangkat telepon. Aiden memutuskan melepas penat ditaman kota dekat sekolahnya. Berjalan-jalan menikmati pemandangan pohon-pohon yang meranggas di musim gugur. Hingga terdengar suara dering ponsel yang lumayan keras disaku mantelnya.

“Halo, Kak! Kemana saja kau?!” Tanyaku ketus membuka pembicaraan sambil terus berjalan-jalan mencari tempat duduk
kosong. “Eh? Ternyata Kak Yukio. Hehehe... Oh, Kak Andrew sedang mencoba mencoba Tuxedo di kamar Pas? Kupikir dia masih bekerja rupanya sedang bersamamu. Pantas dia lupa menjemputku. Ah! Iya, Tidak apa-apa. Aku pulang sendiri saja. Ya. See you.” Aku malu sendiri karena sudah salah sangka pada Kak Andrew. Ish! Tapi kenapa juga dia tak bilang, tak bisa menjemputku?

Eh? Apa itu? Jadi penasaran.

Aiden mendekati seseorang yang tengah sibuk melukis di salah satu kursi yang berada ditengah-tengah taman. Dia heran.
Di musim gugur, menjelang musim dingin ini setiap orang pasti memilih tinggal di dalam rumah dan menghangatkan diri tapi orang itu dengan celana panjang Jeans belel, mantel yang tak begitu tebal dengan rambut awut-awutan tertiup angin dan wajah cemong belepotan cat, terlihat kusyuk melukis.

“Sepertinya wajah itu tidak asing? Apalagi kacamata itu. Tunggu! Diakan—” Aku menyadari sesuatu setelah langkahku semakin mendekatinya dan wajahnya semakin jelas terlihat.

“Milly!?” Aku memanggil sosok itu. Dia tak merespon. Tangannya tetap menggoreskan kuas ke atas kanvas. Ku panggil sekali lagi, “Milly!”

“DIAM! Jangan ganggu aku!” Bentaknya ketus. Dia memperingatkanku tanpa memandang wajahku. Masih saja berkutat dengan
hasil karyanya. Langkahku terhenti. Terkejut. Tak kusangka dia akan segalak itu. Ekspresinya sangat serius, terlihat berbeda dengan gadis cengeng di kantor Ayah.

Beberapa menit kemudian aku masih berdiri ditempatku. Aku ingin mendekatinya dan melihat hasil goresan kuasnya tapi aku takut dibentak lagi. Sepertinya dia sudah menyelesaikan lukisannya. Terlihat sekali dari senyumnya yang merekah. Wajah serius dan menakutkan tadi seolah-olah hilang terbawa angin.

“Lho? Ehm…” Dia akhirnya menatapku dan seperti mengingat-ingat sesuatu. “Kau Aiden kan? Adiknya, Kak Andrew? Sejak kapan kau disitu?”

“Hah? Sejak tadilah!” Jawabku diawali dengan rasa kaget. Berarti dari tadi dia tidak tahu kalau yang dia bentak itu aku? Atau dia lupa sudah membentak orang. Jangan-jangan saat dia melukis, pikirannya terbang entah kemana?

“Sejak tadi? Eh?! Ta-tadi jadi ak-aku membentakmu ya? Ma-maaf!” Dia pun membungkuk dalam-dalam. Ekspresinya sudah
kembali seperti aku pertama bertemu dengannya ekspresi canggung yang terlihat lucu.

Kami pun kembali mengobrol dengan akrab dikursi taman hingga matahari mulai meredup dan bulan muncul. Sungguh gadis yang aneh. Saat dia melukis wajahnya begitu serius seolah-olah muncul peringatan ‘Awas gadis galak!’ tapi disaat sedang santai seperti ini kecerewetannya sungguh tak tertandingi. Obrolan kami sejak tadi, dialah yang mendominasi pembicaraan. Namun aku menyadari sesuatu. Setiap bersamanya rasa nyaman datang.

~o0o~

Aku berdiri di pelataran gereja yang terlihat ramai oleh banyak orang yang berhamburan keluar dari sana lalu berdesakan di belakang Kak Yukio, gadis asal Jepang yang kini resmi menjadi Iparku. Kami disini menunggu dan mencoba menangkap buket bunga yang sebentar lagi akan dia lempar kebelakang.

“Siap-siap ya? 1… 2… Ti… Ga!” Buket bunga yang dilemparkannya melambung tinggi dan menyita perhatian seluruh orang yang berkerumun termasuk aku. Eh? Tapi kenapa juga aku tertarik menangkap bunga? Begitu sadar, aku buru-buru mundur
dari kerumunan. Aku tak mau mendapatkan bunga itu. Aku kan masih pelajar kelas 3 SMU!

“Aduh!” Seorang gadis terdengar meronta. Akupun menengok kebelakang.

“Eh? Sorry. Tak sengaja menyenggolmu.” Kuulurkan tanganku mencoba membantunya yang terkapar di aspal.

Tunggu dulu! Sepertinya wajah gadis ini tak terlihat asing. “Kau itu… Ah! Milly kan?” Tanyaku seraya menarik
tangannya. Kamipun berdiri berhadapan.

“I-iya…” Diapun membungkuk lalu tersenyum canggung.

“Tadi aku sempat tidak mengenalimu lho… Ternyata setelah diperhatikan dari dekat seperti ini, aku baru tahu kalau
yang ada di depanku sekarang adalah kau.”

“Hehehe… Penampilanku aneh ya? Kalau tidak ke acara resmi seperti ini aku juga tidak mau memakainya.” Dia kembali
tertawa sumbang sambil menggaruk-garuk tengkuk.

“Milly!” Teriakan lain membuatnya menoleh cepat ke sumber suara.

“Ah! Ayahku memanggil. Permisi.”

Sosoknya sudah menghilang, tapi arah mataku tetap saja terpaku pada tempat parkir didepan sana dimana tadi Milly
terakhir terlihat. Dia sungguh berbeda dengan yang waktu itu. Bergaya feminin dengan gaun biru mudanya serta kacamata
tebal yang 2 kali bertemu selalu dia pakai tadi tak ada. Membuat matanya yang bulat terlihat indah.

Kenapa setiap kali aku bertemu dengan Milly, aku selalu melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda? Gadis cengeng, gadis galak namun berbakat dan sekarang gadis cantik nan memukau.

~o0o~

“Kenapa sih kalian ini suka sekali bertengkar. Nikmatilah bulan madu kalian di Hokaido dan sepulang dari sana aku harus mempunyai keponakan. Hahaha… Cuacanya kan mendukung sekali. Aish! Makanya jadi orang itu yang romantis! Sudah sana! Bye.”

Aku beberapa menit tadi sedang mengobrol dengan Kak Andrew lewat telepon sepulang sekolah. Sekilas timbul rasa iri dihatiku. Dia sungguh sangat-sangat beruntung menemukan seorang wanita yang baik dan cantik seperti Kak Yukio. Asal tahu saja ya? Dulu aku sempat naksir dengan Perawat cantik itu ketika aku dirawat di rumah sakit, tapi malah Kakakku yang mendapatkan cintanya. Ya iyalah! Mana mau dia dengan bocah bau kencur sepertiku!

Begitu memikirkan masa lalu dan cinta monyetku, timbul keinginan untuk mampir ke taman kota dan jadilah aku sekarang
disini, dengan perasaan merindukan sesuatu. Aku berjalan menyusuri jalan setapak dengan mantel tebal, syal dan topi.
Taman kota di musim dingin terlihat tak begitu menarik dan sepi. Hanya ada pohon-pohon yang kering dan tanah yang ditutupi salju.

Langkahku terhenti otomatis. Tak kusadari, ternyata aku melangkah sampai disini. Tapi setelah kulihat tempat ini sepi, rasa kecewa muncul. “Di kursi itukan tempat Milly melukis waktu itu? Ternyata dia tidak ada ya? Eh? Aku ini mengharapkan apa sih? Dasar bodoh! Tak mungkin kan dia selalu melukis pamenadangan yang sama?!” Aku meracau sendiri seperti orang gila sambil memukul-mukul kepala lalu melangkah lagi menyusuri kembali jalanan setapak.

“Aiden?!”

Suara itu? Mungkinkah dia... Aku yang semula berjalan merunduk dengan memandangi jalanan dibawah kakiku, refleks
langsung mengangkat wajahku dan menatap lurus kedepan. Gadis itu muncul dengan memanggul ransel dan menenteng kanvas serta kayu penyangga kanvas.

“Ya?! Good Afternoon.” Jawabku. Muncul senyum dibibirku tanpa kuminta. Hatiku yang sempat kecewa terasa kembali gembira.

Setelah dia selesai menata perlengkapan melukisnya. Diapun diam sejenak, memandang sekeliling dan jari-jari mungilnya mulai menempelkan kuas bercat diatas kanvas. Menarik setiap goresan dengan lincah.

Aku hanya duduk dikursi sambil memandangi Milly yang sedang berkarya dengan tatapan kagum. Kebisuan diantara kami tidak terasa canggung. Dia yang sedang asyik melukis terasa seperti seseorang yang sudah pergi ke dunia imajinasi dan tak akan menghiraukan orang disekelilingnya. Makanya aku tidak mau mengganggunya dengan mengajaknya bicara. Aku tak mau dibentak lagi. Dia terlihat menakutkan jika diganggu. Duduk diam mengamatinya dan menunggu dia menyelesaikan lukisan adalah pilihan yang kulakukan. Setelah dia selesai dengan imajinasinya, aku yakin sifat cerewetnya akan kembali muncul. Kami pun pasti bisa mengobrol lagi. Lebih tepatnya dia yang bercerita panjang lebar dan aku yang jadi pendengar dengan sesekali merespon balik setiap ceritanya.

Haah... Terbersit secercah rasa bahagia dihatiku, rasa meletup-letup dan menggelitiki dada. Sepertinya Tuhan sudah mengirimkan gadis untukku agar aku tak lagi merasa iri dengan Kak Andrew. Gadis yang ada di depanku ini membuatku terkesan dengan segala keunikannya. Aku merasa... Aku menyukainya.

“Aku menyukai, Milly.” Suara hatiku berucap mantap dengan sendirinya.


END

[Fantasy] Finally



Finally...

Sei Yoshihara, gadis cantik berkulit pucat nampak berjalan riang. Wajahnya menyiratkan kegembiraan tak terbendung. Sebetulnya, Sei bisa saja tak perlu menghabiskan tenaga dengan berjalan. Dalam satu kedipan mata dia bisa berpindah tempat ke mana pun yang dia inginkan karena itu memang kemampuan mendasar dari seorang vampire tapi tak dia lakukan. Sei yang nampak berseri-seri malam ini. Sungguh kontras dengan suasana hutan yang suram, gelap dan menakutkan memang lebih memilih melangkahkan kakinya santai. Menikmati aroma pohon-pohon yang lembab tersapu embun dan suara-suara hewan nocturnal yang—bagi telinganya—terdengar merdu.

“AAAUUU!!!” Suara lolongan panjang menggema. Seketika kepakan-kepakan sayap burung-burung yang terbangun serta derap langkah kaki panik hewan-hewan riuh semarak terdengar. Para hewan itu takut mendengar lolongan menakutkan yang sontak membuat bulu kuduk merinding tapi tidak dengan Sei. Senyuman yang sejak tadi terlampir semakin lebar hingga mengekspos jelas rentetan gigi-gigi putihnya yang berderet rapi.

Sebelum kakinya lanjut melangkah dalam suasana bahagia yang meletup, Sei bergumam, “John... Kau memanggilku, kan? Kau pasti merindukanku.” Dan tak perlu menitan waktu Sei sudah menghilang bagai kilat.


John Freeze, sang Werewolf yang melolong panjang di tepi tebing yang langsung menghadap ke bulan purnama seketika terdiam begitu hidung tajamnya mengendus bau yang familiar.

“Sei...,” batinnya namun ketika dia berteriak memanggil nama itu, yang keluar hanyalah lolongan. Bulan purnama memang telah mengubah wujudnya dan dia sungguh berharap bulan segera tertutup awan.

Langkah ke-empat kaki John berlari sembari mengendus bau Sei. Namun seolah Sei menginginkan petak umpet, tak juga John menemukan Sei di mana pun padahal bau tubuh Sei sungguh semakin pekat di hidung John.

“AAAUUU...!!!” Kali dia melolong bukan karena nestapa akan kerinduan, melainkan memanggil sang kekasih untuk menghentikan permainannya.

Suara daun-daun kering terinjak membuat John menoleh ke sumber suara. Di situlah dia melihat Sei Yoshihara. Sosok gadis ayu, berambut panjang, berpakaian kimono hitam. Jangan heran kenapa dia lebih mirip seorang Kunoichi (gadis pertapa) ketimbang vampire yang notabene selalu disandingkan dengan gaya berpakaian bangsawan Eropa. Sei bukanlah seperti itu. Dia adalah putri dari seorang Ketua Klan Taka (Elang) yang menaungi banyak vampire-vampire yang berbasis di Jepang.

Secepat kedipan mata, Sei yang semula beberapa meter ada di depan John, kini sudah berada tepat di sebelahnya. “John... Aku merindukanmu. Akhirnya kita bisa bersama lagi.” Sei tersenyum, menatap John dengan manik berbinar cerah. Kedua tangannya merengkuh tubuh John meski agak kesulitan karena tubuh berwujud serigalanya terlampau besar. Kilatan mata itu sungguh membuat John serasa dialiri angin sejuk hingga ke relung hati. Bulu-bulu halus John pun dibelainya lembut. Air matanya berlinang bahagia.

Teringatlah dalam kenangan masa lalu masing-masing betapa kebersamaan ini sangat susah terjadi. Karena dia tahu, dia hanyalah budak seorang vampire. Budak ayah Sei, sang Ketua Klan Taka, Sado Yoshihara. Dan sejak John mampu mengingat dunia, dirinya memang mengabdi karena keluarganya sudah turun temurun bersumpah setia pada Sado. Ini adalah ikatan kutukan yang diberikan pada werewolf dimulai beberapa ratus tahun lalu. Namun sekarang segalanya berbeda. Mereka yang memang sejak kecil saling mengenal dan perlahan perasaan keterikatan itu berubah menjadi cinta kini sudah bebas, bisa bersama tanpa ada yang mencegah. Suatu anugrah yang membutuhkan pengorbanan besar—tapi belum John sadari.

Sinar bulan tak nampak lagi sinarnya. Hutan yang semula terang kini benar-benar gulita. Langkah Sei mundur beberapa meter, memberi John ruang untuk berubah menjadi manusia. Sei agak mengernyit heran. Transformasi yang dilakukan John begitu lambat. Kenapa? Padahal dulu perubahan pada tubuh John tak perlu memakan waktu hingga puluhan menit tapi sekarang begitu lama perubahan itu dan yang membuat mata Sei terbelalak adalah rintihan kesakitan yang dialami John.
“John!” pekik Sei. Langkahnya maju mendekat tapi dengan cepat ditampik John dengan tangannya yang sebagian sudah berubah menjadi tangan manusia tapi penuh bulu dan masih berkuku tajam.

Sei tetap menatap tapi tak tega. Rintihan itu sungguh menyayat hatinya. Tubuh John yang mengelupas sehelai demi sehelai disertai dengan tetesan darah seolah kulit John tengah disayat membuatnya merasa miris.

“John! Kenapa perubahanmu seperti itu?!” Sei terus gencar melontarkan pertanyaan.

Dengan suara serak dan tercekat John menjawab, “Mungkin ini konsekuensi yang kuterima karena memutuskan ikatan dengan ayahmu, Sei.”

Telapak tangan Sei membekap mulutnya sendiri. Tangisannya pecah seiring dengan wujud John yang memang sudah membentuk sosok manusia tapi seperti tanpa kulit. Sekujur tubuhnya hanya daging yang berwarna kemerahan dan menguarkan bau daging gosong.

“Jangan takut. Aku pasti bisa kembali ke bentuk semula,” ucapnya mencoba meredakan kekawatiran Sei meski dalam benaknya John merasa tak yakin. Malahan prasangka-prangkamulai bermunculan di otaknya.

Lama Sei menunggu. Lama pula John mengalami penderitaan rasa sakit akan tubuhnya yang tak kunjung pulih. Kedua orang ini semakin panik saja. Sei tak tahan lagi melihat John yang begitu tersiksa hingga seperti mau mati. Tanpa segan lagi dia berlari merengkuh tubuh John yang meronta kesakitan. Dia tak peduli kimono yang menunjukkan kebangsawanannya ternoda oleh darah. Dipeluknya erat tubuh John berusaha mengurangi sedikit saja rasa sakit itu.

“Kenapa seperti ini? Kenapa kau tak pulih juga? Apa yang kau korbankan agar ikatanmu terlepas?” Sei terus bertanya karena panik.

“Aku... Aku tidak tahu. Tuan Sado bilang satu-satunya cara untuk melepaskan ikatanku dengan keluarga kalian dan kita bisa bersama adalah dengan meminum darahnya. Tapi—”

“Tapi kau jadi seperti ini. Tak bisa pulih menjadi manusia! Kau pasti dibodohi!” Sei berteriak. Air matanya terus saja tergenang.

“Khu-khu-khu... Hahaha!!!” Tawa menggelegar terdengar nyaring seolah tengah mengejek penderitaan kedua sejoli itu. “Sei-chan, putriku. Kenapa kau tak percaya dengan Otou-san? Itu memang benar-benar cara pemutusan ikatan tapi segalanya pasti ada konsekuensinya, kan? Hahaha!!! Bukankah aku sudah berbaik hati membiarkanmu bersamanya, Sei-chan meski hanya beberapa jam sambil menunggu dia mati, tetap saja aku menepati janjiku,” akunya sambil menyeringai gelap.

“Tou-san! Apa maksudmu dengan mati? Tolong bantu John. Dia sangat kesakitan! Lebih baik kami tak bersama dari pada aku melihat dia setersiksa ini.” Sei memohon masih dengan tangannya memeluk erat John yang kini terbaring lemah di pangkuannya.

“Sei-chan, kau pasti tahu cerita tentang kutukan hutang darah, kan?”Sado melangkah santai mendekat lalu kakinya berhenti setelah jaraknya dengan Sei dan John hanya terpaut 2-3 meter. “Dulu sekali leluhur kita, pendiri klan Taka yang memilih hidup dalam damai dan tenang di sudut terpencil Jepang akan tetapi werewolf idiot dan arogan yang tak mampu mengukur kekuatannya sendiri datang mencari gara-gara dengan membantai vampire-vampire dari klan Taka. Perang berkecamuk hingga kepala Koloni mereka menyerah dan menawarkan perjanjian pengabdian pada klan kita yakni ikatan darah. Hingga sekarang werewolf kita manfaatkan untuk menjaga kita di kala matahari menyingsing dan dia mau bersamamu? Ras yang derajatnya lebih tinggi darinya? Cih! Takkan mungkin. Jadi nikmatilah kebersamaan kalian selagi masih bisa. Werewolf itu akan mati besok ketika matahari sudah benar-benar ada di atas kepala.” Tubuh Sado hendak berbalik dan meninggalkan mereka setelah sebelumnya berucap, “Sei-chan, sebelum matahari terbit, otou-san harap kau sudah meninggalkan tempat ini dan kembali ke markas. Mengerti?”

Menghilanglah Sado tanpa adanya jawaban dari Sei. Karena Sei terlampau sibuk meratapi keadaan John yang mulai melemah. Rasa sakit yang menggerogoti itu tak lagi membuatnya meraung seperti tadi. John sudah lelah meronta namun Sei belum lelah menangis.

“John... Maafkan aku... Kau seperti ini karena aku. Lebih baik—”

“Sstt... Ini bu-bukan salahmu, Sei.” Tangan John yang berbalur darah mengusap pipi Sei. Meski wajahnya sudah tak berbentuk tapi manik mata itu tetap sama ketika menatap Sei. Sorot mata penuh cinta itu tak bisa meluruh. “Aku yang terlalu ceroboh. Aku terlalu senang mendengar ada peluang untuk kita bisa bersama. Jangan menangis, Sei.”

Waktu berlalu dalam kesenduan. Isak tangis dan air mata menjadi salam perpisahan untuk kedua sejoli itu. Di kejauhan sana samar-samar matahari mulai muncul dari ujung horison dan perlahan naik menyinari bumi.

“Sei, pergilah. Sudah pagi. Sebelum wilayah ini terkena paparan sinarnya pergilah,” perintah john dengan suara yang teramat lirih. Rasa sakit yang membakar seperti sudah bisa dia tahan tak ada lagi daya untuknya bisa berdiri untuk sekedar menyeret Sei ke tempat aman.

Sei menggeleng. Menolak untuk pergi. “Aku akan di sini. Aku tak peduli meski sinar itu membakar tubuhku.”

“Sei! Pergilah!” Dengan sisa tenaga yang John punya, dia mendorong tubuh Sei. Mencoba bangun dari pangkuan gadis bermata teduh itu tapi belum sempurna dia berdiri tubuhnya sudah limbung.

“John!” pekiknya. Sigap dia menangkap kembali tubuh Sei.

“Pergi kataku! Pergilah secepat kilat seperti biasanya!” Lagi-lagi John berontak, menjauhi Sei.

“Tidak akan. Aku tetap di sini. Meski kita tak bisa hidup bersama tapi kita bisa mati bersama.” Begitu mulutnya terkatub, Sei berdiri. Dia sengaja melangkah ke arah di mana matahari menyorotkan sinarnya tanpa tertutupi oleh dahan rimbun pepohonan di hutan. “Aku akan mati lebih dulu.” Sei tersenyum. Wajahnya tak menunjukkan rasa sakit padahal tubuhnya sudah mengepulkan asap dan perlahan asapa itu menjadi api yang membakar tubuhnya pelan-pelan. “Kutunggu kau sebentar lagi John.” Suaranyaterakhir yang terlontar setelah tubuh Sei benar-benar terbakar lalu meninggalkan debu yang dalam sekejab lenyap diterpa angin.

“Sei!” John memekik lalu tak berselang di ambruk.

End

Just A Dream



Steven tidur dengan gelisah. Tubuhnya bergerak ke kiri, ke kanan, memeluk guling lalu tak beberapa lama, apa yang dipeluknya erat ia tendang kuat-kuat. Matanya memang terpejam bahkan terlampau nyenyaknya ia tidur, Steven sampai mendapatkan sebuah mimpi. Penasaran apa yang ia mimpikan sekarang? Mari kita terawang bersama.


“Steve!” teriak sang gadis pujaan.

Di dalam mimpinya, dia melihat Serka tersenyum lebar. Wajahnya menampakkan rasa bahagia yang meletup-letup. Kakinya berlari-lari kecil menghampiri Steven yang kini tengah duduk menyandarkan punggung pada batang pohon Elm yang berdiri tegak di pinggiran danau Qautsar.

Melihat Serka yang nampak cantik dan ceria—tak seperti Serka berwajah dingin yang biasa dilihatnya—dengan balutan dress merah marun yang bergoyang seirama dengan langkah kakinya, membuat Steven sontak menegakkan punggung lalu berdiri.

Tak dipungkiri, selama waktu yang dia lewatkan bersama teman se-asramanya tersebut, Steven mempunyai perasaan menyimpang pada Serka akan tetapi selalu dia simpan rapat tak pernah terkuak. Kini melihat betapa manis Serka di depan sana membuat jantung Steven berdetak dan berdesir layaknya sedang menaiki Jet Coaster.

Mereka sekarang berdiri berhadapan. Efek suara angin sepoi, kecipak air danau dan gemerisik daun bergesekan telah menjadi backsound yang teramat merdu bagi Steven yang sedang dimabuk pesona. Inilah yang membuat munculnya jeda hening di antara keduanya.

Dengan pipi merona dan wajah berseri-seri Serka tiba-tiba tanpa berucap atau pun meminta ijin, langsung saja melingkarkan kedua tangannya di sekitar leher Steven. Membuat tubuh pemuda blonde ini diserang badai salju lokal yang sukses membekukan.

“Steve, aku hari ini bahagia banget.” Serka semakin mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepalanya di bahu Steven.

“Ba-bahagia karena apa?” tanya Steven yang susah payah mengeluarkan suara karena kebekuan masih berkuasa.

“Coba tebak, kenapa aku sebahagia ini?” Bukannya menjawab, Serka malah main tebak-tebakan.

Sejenak melintas jawaban di kepala Steven. Jawaban yang didapatnya adalah Serka bahagia karena menyadari bahwa ia menyukai Steven. Bukannya kege-eran atau mengalami sindrom overpede tapi pelukan inilah bukti konkrit yang membuat Steven yakin bahwa Serka seperasaan dengannya.

“Karena...” Steven pura-pura berpikir keras seolah pertanyaan Serka adalah soal tersulit melebihi teka-teki yang diberikan mr. Gray, Kepala Asrama Salvatore mereka di St. John Academy. “Ah! Kau mendapatkan nilai A+ di kelas
Science ya?” tebaknya asal. Tak mungkin kan dia bilang, ‘kau menyukaiku dan mau berpacaran denganku ya?’ Hei! Itu bukan Steven banget...

Serka melepas pelukannya lalu mundur selangkah. Raut muka Steven pun nampak tak rela tapi buru-buru dia tampik.
Masalah perasaan cinta ini lebih urgent. Toh, nanti setelah Steven menjalin hubungan resmi, dia bisa memeluk Serka kapan pun.

“Bukan. Coba berpikirlah out of the box,” ucap Serka. Mata berbinarnya menatap penuh harap kepada Steven, masih dengan ekpresi ceria.

“Kau masih mempertahankan rekor nilai tertinggi di St. John Academy?”
Serka menggeleng.

“Mempunyai peliharaan baru? Ah! Atau menyukai seseorang dan perasaanmu terbalas?” Pertanyaan terakhir yang terlontar dari mulut Steven asli tanpa sadar dan kini dia sedang merutuki kecerobohannya yang terlalu dikuasai rasa senang
berlebihan.

“Gotcha! Kau benar,” sahut Serka. Wajahnya semakin merona.

Steven melotot tapi buru-buru mengembalikan ekspresi tenang nan dingin agar image ‘cowok cool’ yang disandangnya tak menghilang.

“Eh? Ta-tapi jawaban mana yang benar?” Steven pura-pura bodoh.

Serka nampak malu-malu. Kepalanya menunduk, memandangi rerumputan yang diinjaknya semena-mena. “Yang itu tadi.
Soal... Perasaanku yang terbalas,” sahut gadis berponi rata ini. Steven hampir berucap untuk menyatakan perasaannya secara gamblang tapi Serka dengan cepat menyela. “Romy mengirimiku e-mail, Steve. Isinya mengatakan dia menyetujui perjodohan yang dibuat kedua orang tua kami. Dia menyuruhku cepat-cepat pulang karena acara pertunangan kami sudah disiapkan. Ya ampun! Aku tak menyangka perasaannya padaku berubah dan hubungan kami akan kukuh secepat ini,” ucapnya riang. Serka melompat-lompat senang sambil sesekali tertawa renyah.

Steven menatap Serka nanar dan Serka sepertinya tak menyadari kekecewaan yang terpatri di wajah Steven. Tak berapa lama tanah yang dipijaknya seolah bergoyang. Kaki Steven melemah. Pandangannya mengabur, tubuhnya mendadak ringan dan... BRUKKK! Tubuh Steven sukses menubruk lantai kamarnya.

“Aduh!” teriaknya refleks ketika dirasa kepala, punggung dan bagian lainnya sakit sehabis membentur benda keras.

Matanya nyalang terbuka. Melirik sekitarnya masih dengan posisi terlentang di lantai. Seketika dia sadar, bahwa pertemuan dan pelukan berujung pahit dengan Serka hanyalah mimpi belaka. Menyadari hal itu serta merta Steven bangun cepat-cepat lalu berteriak. “Yey! Ternyata cuma mimpi! Berarti kesempatanku memiliki hati Serka masih terbuka lebar.”


Pagi menjelang siang ini—Steven bangun kesiangan, pemuda berkemeja putih tulang dengan penampilan yang jauh lebih rapi dari biasanya itu bertekad menyatakan cinta pada Serka. Dia tak lagi peduli dengan image siswa yang terkenal dingin dan jual mahal. Steven tak ingin keduluan orang lain. Percuma perasaannya terus disimpan tanpa diutarakan.
Hanya perhatian saja takkan mampu membuat Serka mengerti apa yang tersimpan di hatinya.

“Serka!” panggilnya begitu matanya tertumbuk pada sesosok gadis yang duduk di kursi yang berjajar rapi di sudut-sudut lorong gedung Asrama.

Serka menoleh, tersenyum tipis sambil mengangguk singkat pada Steven dan beberapa detik kemudian kembali menekuni novel yang dipegangnya.

“Serka, kau ada waktu?” tanya Steven ketika dirinya sudah sampai di depan Serka.

“Tergantung,” jawabnya singkat seraya mendongak menatap Steven dingin.

“Kok tergantung?” Steven nampak tak terima dengan jawaban Serka yang ambigu.

“Tergantung urusanmu denganku penting atau tidak.” Serka diam sejenak mengamati penampilan Steven yang tak biasa. Bau
harum parfum yang tajam menguar dan cukup mengganggu indera penciuman Serka. “Cepat katakan apa maumu? Kalau urusanmu denganku cukup lama, kau ganti dulu bajumu.”

Steven melongo. “Memangnya kenapa?”

“Parfummu menusuk hidung.” Serka berucap tajam nan ketus.

“Oh...” Steven tak nampak tersinggung. Dia memang sudah biasa dengan keterusterangan Serka. Malah inilah point penting yang membuatnya menyukai Serka. Dan asal tahu saja, kedua sahabat yang sama-sama populer ini dijuluki ‘Ice
Couple’ karena sikap mereka yang acuh tapi berkarisma dan tentu saja mereka dikenal sebagai siswa berotak cemerlang
di St. John Academy.

Steven duduk di sebelah Serka. Menatap gadis ini lekat seraya menarik dan menghembuskan nafas membangun keberanian diri. Sedangkan Serka kembali membaca novel.

“Serka, eum... Bagaimana kelanjutan perjodohanmu dengan si...” Steven merasa sangat berat menyebut nama rival yang tak pernah ditemui namun dia kenal baik lewat gerutuan Serka setiap menerima kabar yang berisi desakan agar setuju dengan pemuda pilihan ayahnya.

“Kalau kau di sini hanya untuk membahas tentang Romy, si trouble maker yang sejak kecil suka menjahiliku itu, lebih
baik kau tutup mulutmu saja. Aku malas membahasnya.” Kata-kata ketus Serka malah membuat bibir Steven mengulum senyum. Dalam hati dia bersorak.

“Kau masih menolak perjodohan itu, kan?”

“Hm.”

Yes! Hati Steven memekik. “Bagaimana kalau kau bilang bahwa kau sudah memiliki pacar. Aku yakin ayahmu takkan memaksa.”

Serka sontak menoleh. Meski ekspresinya masih dingin tapi nampak sekali matanya berbinar. Tapi setelah saling berpandangan beberapa detik, binaran itu meredup lalu kepalanya menunduk. “Aku tak suka bohong. Saat Dad tahu bahwa ceritaku fiktif belaka, bisa mati aku,” keluhnya resah.

“Kau tak perlu bohong, Serka.”

“Maksudnya?” Serka yang cerdas mendadak tumpul, tak mampu menangkap maksud terselubung Steven.

“Eum... Aku mau jadi pacarmu.” Steven berucap lirih. Kepalanya memutar ke arah lain karena terlampau gugup.

Serka melotot syok dan tanpa Steven ketahui rona merah bermunculan di pipi gadis itu. “Ap-apa mak-maksudmu?” Terlalu
gugup dirinya sampai-sampai membuatnya mendadak gagu.

“Aku... Menyukaimu!” ucap Steven—yang lebih cocok disebut membentak.

Tanpa menunggu reaksi Serka selanjutnya, Steven pergi dengan langkah memburu karena gejolak di hatinya terlampau menyiksa. Dia tak mau mati kehabisan pasokan oksigen saking sesak dadanya karena terlampau gugup. Untuk sementara Steven harus menyelamatkan jantungnya dulu sebelum meledak.

End

Hujan di Bulan Desember





‘Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi dibalik awan hitam...’

Sisi lembut menyerangku di saat aku sedang memikirkanmu. Cukup kusyukuri bahwa perasaan tak tegaku muncul terlambat. Jika sedari tadi, pasti aku takkan ada di sini.
Aku menyandarkan kepala ke jendela. Mengamati rintik hujan di luar sana menabrakkan diri pada kaca hingga terlihatlah anak sungai kecil terasa layaknya lukisan abstrak yang indah namun mampu mengiris hati.
Aku seperti melihat lelehan air matamu yang beberapa saat lalu kutinggalkan tanpa perasaan. Akankah kau masih di sana? Menangis tersedu-sedu seraya menatap punggungku yang perlahan menjauh lalu menghilang. Tak mungkinkan kau masih di sana di saat hujan lebat seperti ini?
Perlahan, semakin aku menatap langit gelap serta rintik hujan yang kian deras, aku semakin mengkawatirkanmu. Karena aku tahu kau gadis yang begitu nekat sekaligus rapuh.
Maafkan aku... Meskipun mungkin kau masih di sana, aku tetap tak mampu menghampirimu. Perpisahan ini adalah jalan satu-satunya bagi kita. Layaknya awan kelabu yang menjatuhkan hujan hingga ke dasar tanah lalu sosoknya perlahan menghilang agar pelangi dapat menampilkan keindahannya. Seperti itulah kita. Demi kau aku rela menghilang agar kau terus ada di sana terlihat indah nan memukau seperti pelangi.

***
‘Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini.
Menanti...
Seperti pelangi, setia menunggu hujan reda...’


“Lihatlah, awan mendung di langit itu! Sebentar lagi hujan akan tiba tapi tunggulah selalu ada pelangi sehabis hujan. Meski kau tak selalu tahu dan melihat kemunculannya. Namun percayalah seperti pelangi yang akan tetap membiaskan warna-warna indahnya di langit cerah setelah kegelapan yang disebabkan oleh awan mendung menyelimuti bumi. Seperti itulah kesedihan yang kau derita, suatu saat pasti akan berganti dengan kebahagiaan yang terasa indah,” ujar seorang lelaki berperawakan kecil namun terlihat manis.
Dia memang bukanlah lelaki gagah perkasa yang bisa melindungi gadisnya dengan kekuatan fisik yang hebat. Dia juga bukan tipe lelaki yang dapat dijadikan bahan pamer dengan berjuta kelebihan luar yang mampu memukau mata. namun sikapnya yang selalu sukses menghasilkan rasa nyaman nan hangat bagi yang berada di dekatnya, senyumnya yang terlihat tulus, mata polosnya yang memancarkan kesungguhan merupakan anugerah tersendiri yang dia miliki. Dialah Nathan. Pria lembut yang berperasaan halus.
Gadis yang berdiri di hadapannya, yang tadi ikut serempak mendongak ke langit bersama Nathan beralih menatap lekat lelaki yang berhasil mencuri hatinya. Ada sesuatu yang mengusik benaknya setelah dengan tiba-tiba lelakinya berucap dengan nada rendah nan berat. Belum sempat dia berucap Nathan sudah bersuara.
“Kau akan bahagia. Itu pasti! Percayalah luka yang aku torehkan sekarang takkan berlangsung lama. Selanjutnya hidupmu akan menjadi cemerlang tanpa aku.
Kau adalah Dessy yang hebat dan akan lebih hebat lagi tanpa aku di sisimu karena aku hanyalah menjadi batu sandungan bagi kesuksesanmu. Aku ini awan mendung kelabu yang gemar menghalangi keindahan langit Dessy. Bukan kah awan kelabu ini harus menyingkir agar pelangi bisa muncul?”
Gadis ini mengernyit tak mengerti. Kata-kata Nathan adalah sesuatu yang terasa sulit dia cerna. Apalagi ketika matanya mengamati ekspresi lelakinya yang sendu. Rasa was-was yang muncul di benaknya sedari tadi semakin membesar menjadi rasa takut. Takut akan kehilangan.
“Ap-apa maksudmu, Nath?” Dessy sudah mampu mencerna akan tetapi kini rasa tak percayalah yang menghadangnya untuk bisa mengerti tiap-tiap kata yang terlontar dari bibir Nathan.
Nathan menghela nafas berat, tatapan matanya beralih menyorot hamparan dedaunan pohon Maple yang berayun-ayun terhempas oleh angin lembap nan dingin. Pertanda hujan akan segera datang.
“Pergilah! Ikutlah dengan Mamamu ke Jepang. Di sana kau akan bisa meraih apa yang kau ingini. Segalanya ada untukmu. Jangan bertahan di sini. Di sampingku dan tinggal bersama Papamu yang pemabuk itu. Kami hanyalah pria tak bertanggung jawab yang akan menjadi penghalang bagimu. Kami hanyalah awan gelap yang akan menghalangi keindahan warna-warna pelangimu.”


Suara tenor seorang Pria yang sudah lewat beberapa jam lalu kudengar masih saja terngiang-ngiang dengan jelas. Seolah seperti hantu yang tanpa wujud namun tak juga berhenti bicara. Terus saja mengkumandangkan kata-kata ‘manis’ nan menusuk, membuatku yang menangis dibawah rintik hujan ini semakin merasakan sesak yang amat sangat beserta perih di hati.

Tahu apa kau tentang kebahagiaanku??? Bersama Mama memanglah membuat segala yang kuingini terwujud. Aku tak lagi tersiksa oleh hujaman-hujaman pukulan dari Papaku ketika dia mabuk namun dengan aku pergi, aku juga takkan lagi melihatmu, Nath!

“AKU TAK MAMPU JAUH DARIMU NATHAN BODOH!!!” teriakku mengumbar segala yang yang menyesaki dada. Aku kembali mendongak sambil menitikkan airmata yang tak nampak karena dengan cepat terhapus oleh rintik hujan. “Nath... Aku tak mau pergi,” gumamku. Percuma memang aku berucap demikian. Toh, dia takkan mendengarnya.

“Tapi kau tetap harus pergi. Kalau kau tak pergi, aku akan membencimu!”

Kata-katanya kembali terngiang. Begitu nyata dan menusuk. Seolah Dia masih ada disini. Lama dia bergulat dengan pikirannya sendiri seraya terus saja me-review setiap kata yang meluncur tulus namun dingin dari Nathan. Akhirnya hingga pada satu titik dia mulai mengerti.

“Kau bukan awan gelap Nath. Kau adalah matahari. Meski hujan turun namun jika tak ada matahari yang bersinar terik diatas sana, pelangi takkan muncul. Ketahuilah itu.” Seulas senyum meski getir terukir dibibirku. Aku memejamkan mata. Merasai tiap tetep hujan yang mengenaiku. Tak sakit... Sekarang setelah aku memahami apa yang dia inginkan. Aku tak lagi merasakan sakit.

@@@

‘Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka, menetas luka.
Sampai hujan memulihkan luka...
Aku...
Selalu suka sehabis hujan dibulan Desember.’


“Selamat tinggal,” gumam Nathan yang mengintip dari jendela ruang tamu. Menatap gadisnya yang diluar sana tepat didepan rumah mungilnya terlihat menyeret koper besar. Gadis itu berhenti melangkah ketika dia sampai di ambang pintu Taxi yang akan mengantarnya ke Bandara. Nathan yang merasakan bahwa gadisnya akan menatap ke rumahnya menutup tabir cepat. Dia takut bertemu pandang. Dia takut jika melihat mata Dessy, maka dia akan berlari ke sana dan menghalangi kepergiannya.

“Nath...,” gumam Dessy ketika matanya menatap ke arah rumah tetangga sejak kecil, orang yang selalu melindunginya layaknya seorang Kakak dan perlahan berubah menjadi kekasihnya. Kakinya melangkah perlahan. Menyeberang bermaksud menyambangi rumah yang tertutup itu. Sepucuk surat dia ambil dari dalam tas kecil yang menggantung di bahunya.

Tepat di depan pintu yang pastinya terkunci rapat itu, dia tak ingin mengetuk. Meski sangat ingin dirinya bertemu dan memeluk lelakinya untuk yang terakhir sebelum dia pergi tapi dia tahu dia tak boleh bertemu. Dia takut kakinya terpaku tak mampu meninggalkan tempat ini.

Setelah hembusan nafas berat dan airmata itu dia usap kasar. Dia membungkuk. Berjongkok. Menyelipkan amplop berisi isi hatinya untuk Nathan dari sela-sela daun pintu. Medorong amplop itu kuat-kuat hingga berhasil masuk ke dalam sana. Seraya berdoa dalam hati agar lelakinya mau membaca isi surat itu. “Kuharap kau mau menungguku, Nath.” Dessy berbisik. Selanjutnya dia melangkah pergi dengan langkah terseret tak rela.



Teruntuk Nathan bodoh...

Meski kau ucapkan selamat tinggal padaku, namun bagiku tak ada kata selamat tinggal bagi kisah kita. Yakinlah, tak hanya sampai disini pertemuan kita. Kelak kita akan bertemu lagi dibawah rintik hujan bulan Desember. Tidak dengan isak tangis sedih, namun pertemuan dengan isak tangis bahagia.

Nath, kau bukanlah seperti yang ada dipikiranmu. Kau bukan awan mendung yang menutupi keindahanku tapi kau adalah matahari yang bersinar cerah. Komponen penting selain hujan yang membuat munculnya pelangi yang indah. Ingatlah selalu! Kau Matahariku.

Sampai jumpa... Tunggu kedatanganku...

Dessy~


Sehabis membaca secarik kertas hasil goresan pena Dessy. Sisi rapuhnya muncul tanpa bisa ditahan. Di balik Pintu kokoh ini dia menangis tersedu-sedu. Kakinya melemas hingga duduk tersungkur di lantai rumahnya.
“Entah kapan kau akan datang, aku akan menunggumu, Dessy. Sampai jumpa,” ucapnya disertai dengan isakan pilu. Kertas yang digenggamnya sudah tak berbentuk lagi. Kusut dan basah seolah kertas itu adalah visualisasi hatinya yang remuk dan sedih oleh kepergian kekasihnya.

~TAMAT~

Rain & Rock


Bagus! Hujan datang! Tepat di saat hatiku juga serasa teriris sembilu dan sedang menangis meratapi nasib. Untuk saat ini dengan tegas aku menyatakan, aku benci hujan! Kenapa harus hujan yang datang? Kenapa tak hari yang cerah saja seperti hari-hari kemarin? Ini kan musim semi?! Langit mau menambahi kesedihanku ya?!

Kudongakkan kepala menatap boneka putih sebesar kepalan tangan yang menggantung di atap teras. Padahal kepalanya tak terbalik tapi kenapa hujan muncul. Aish! Kenapa pula aku percaya pada mitos Teru-teru bozu ?

Aku menyandarkan sisi tubuh dan kepalaku pada tiang kayu. Mataku menerawang menatap taman belakang rumahku dengan posisi duduk di teras. Hal yang selalu aku lakukan jika perasaanku sedang tak enak. Biasanya perlahan akan membaik dan kembali ke kondisi semula. Tapi sekarang, karena hujan turun rasanya malah membuatku semakin sedih dan terpuruk.
Air mataku jadi tak bisa berhenti mengalir.

Iya. Aku akui, aku ini gadis cengeng dan terkadang judes tapi ayolah langit... berbaik hatilah sedikit. Hentikan tetesan air yang kau turunkan itu. Atau kau jangan-jangan juga sedang bersedih hati sepertiku?


Hahhh... Teringat lagi peristiwa menyakitkan hati beberapa jam yang lalu. Karena sekarang adalah white day , jadi selama di sekolah tadi, aku menunggu-nunggu balasan perasaan dari seseorang yang sudah 7 bulan ini kusukai diam-diam.
Dia adalah senpai ku di Tokyo gakuen. Murid terpopuler di sekolah. Dia tampan dan berkharisma walau agak sombong tapi aku menyukainya. Namanya Hikaru Oda. Nama yang sangat cocok dengan dirinya yang berarti bintang. Karena dia memang bintang di hatiku dan mungkin di hati banyak siswi perempuan lainnya—dan kenyataan itu sungguh membuatku sangat tidak suka.

Aduh! Kenapa aku malah memuji-muji orang yang membuatku terpuruk begini sih? Namika! Lupakan dia!

Kesedihanku saat ini dimulai tadi karena patah hati. Sebulan lalu Valentine tiba. Dengan menghimpun segenap keberanianku karena ini adalah tahun terakhirnya di sekolah dan moment ini adalah kesempatan berhargaku untuk berhenti menjadi pemuja rahasianya. Aku pun memutuskan untuk menyatakan perasaanku lewat sekotak coklat dan berharap hari ini aku menuai sekotak atau sebungkus permen dari Hikaru-senpai.

Bukan permennya sebenarnya yang kuharapkan tapi balasan perasaan darinya lah yang begitu kuinginkan. Namun semua tak sesuai dengan yang kubayangkan. Dia memang muncul di muka pintu kelasku sepulang sekolah. Dia memang membawa sebungkus permen berpita merah jambu kala itu, tapi sayang itu bukan untukku. Seolah ingin memamerkan pilihan hatinya padaku—juga pada penggemarnya yang lain, dia menyerahkan balasan coklat Valentine itu untuk teman sekelasku dan untukku—yang tadi dengan beraninya bertanya ‘kenapa?’—dia hanya membalas dengan kata, ‘gomenasai ’. Seketika hatiku remuk dan pulang dengan berderaian airmata.

“Senpai kejam! Kalau mau memberikan permen itu untuk Minami kenapa harus menyerahkannya di depan mataku?!” ucapku kesal.

Kuumbar semua kekesalan hati dengan berteriak. Biarlah! Toh! Derasnya hujan membuat suaraku tak terdengar sampai ke dalam rumah. Kalau pun terdengar pastinya hanya ¬Okaa-san¬ saja yang tahu. Tak masalah.

Pintu geser terdengar riuh karena dibuka. Aku tahu itu siapa sehingga tak perlu aku menoleh untuk memastikan siapa yang datang dan pasti akan duduk di dekatku. Kenapa Okaa-san selalu membiarkannya masuk seenaknya ke rumah ini seperti rumah sendiri? Kenapa juga dia tak menggubris perintahku untuk jangan mengangguku dulu? Saat ini aku hanya ingin sendiri.

“Sudah kubilang di telepon, ‘kan? Kau tak perlu datang!” Aku mendengus sebal karena waktuku menyendiri diganggu.

Dia tersenyum—lebih tepatnya menyeringai—setelah sebelumnya mendorongku bergeser lalu duduk di sebelahku. “Karena hanya berdiam diri dan menangis takkan mengurangi rasa sedihmu, jadi aku datang,” sahutnya seraya mengacak-acak rambutku.

Huchoru, pemuda yang tinggal di seberang rumahku ini mendongak, menatap hujan tanpa berkata apa-apa namun dia menggenggam tanganku begitu erat. Serta merta kulitku yang tadinya dingin karena udara di luar sini menjadi terasa hangat. Perlahan kehangatan yang ditimbulkannya tak hanya menghangatkan kulitku namun juga hatiku. Tenanglah hatiku kini. Segala rasa kesal hilang sudah.

Menit-menit berlalu dalam diam. Mungkin dia sedang mencari ilham atau apalah itu.

“Coba kau ulurkan tanganmu,” ucap Huchoru-kun padaku seraya menjulurkan tanganku yang digenggamnya tadi ke depan
untuk menadahkan tetesan hujan yang berjatuhan dari genting teras.

Aku menyedot ingusku yang hampir meler karena kegiatan menangis yang sudah satu jam lewat itu, setelahnya dengan suara sengau berkata, “Untuk apa? Cuci muka?” tanyaku agak ketus sambil menatap tiap tetes hujan yang turun dengan derasnya seolah langit tahu kesedihanku sehingga menurunkan hujan untuk menemaniku menangis—tapi malah membuatku makin sedih dan terpuruk.

Huchoru-kun tersenyum tipis, “Apa tetesan-tetesan ini menyakitimu atau melubangi tanganmu?” Dia malah balik bertanya. Seperti biasa, pasti selanjutnya dia akan mengucapkan kata-kata bijak padaku.

Ucapan yang akan langsung menentramkan di kala duka menyerang namun terkadang membuatku sukses tertohok dengan teguran-teguran yang tepat sasaran dan tanpa basa-basi.

Kali ini dia mau menasehati apa? Membuat hatiku sejuk dengan kata-kata penghiburan setelah aku patah hati ditolak cinta oleh senpai yang kutaksir atau Huchoru-kun akan memberiku nasehat seputar harga diri seorang gadis yang harus dipertahankan dengan tidak menyatakan perasaan secara terang-terangan pada laki-laki? Mengingat dia ini adalah tipe pemuda konvensional, peka, tapi tegas.

Aku pun menjawab, “tentu tidaklah!” sambil tetap memasang ekspresi jual mahal, dengan arah mata yang tak lepas menatap rintikan hujan yang masih konstan menurunkan airnya tanpa mengurangi debitnya. Dalam hati, sebenarnya aku menunggu ucapan Huchoru-kun selanjutnya. Semoga tidak akan membuatku tambah sedih.

“Lihatlah batu itu.” Huchoru-kun menunjuk sebuah batu yang cukup besar di pojokan tepat di bawah ujung genting teras, di antara tobiishi yang sengaja diletakkan oleh Otou-san di depan teras sebagai jalan setapak menuju taman kecil bergaya Shoin di hadapanku sana.

Aku mengamati lekat-lekat sambil terus berpikir tapi belum mengerti maksud yang akan diutarakannya.

“Kau lihatkan permukaan cekung di batu itu? Tetesan hujan lah pelakunya.” Dia menoleh ke arahku. Manik matanya
memberiku kehangatan dan aku kini yakin yang akan meluncur dari bibirnya nanti adalah kata-kata penyemangat yang pasti akan membuatku berhenti bersedih. “Sekali dua kali rintik hujan takkan meninggalkan bekas pada batu yang keras itu, tapi jika batu mendapatkan hantaman kecil dari tetesan hujan selama ribuan bahkan jutaan kali maka kau pasti tahu, ‘kan akibatnya? Membekas cekung bahkan bisa sampai berlubang. Seperti itulah yang harus kau lakukan Namika-chan . Jangan putus asa hanya karena satu kali patah hati. Kali ini perasaanmu tak terbalas mungkin karena perjuanganmu mendapatkan orang yang kau sukai kurang gigih. Kelak jika kau menyukai seseorang yang lain, hantam lah dia dengan segala perhatian dan rasa cinta yang tulus semaksimal mungkin. Aku yakin, layaknya batu yang tergerus karena tetesan hujan yang terus tekun menimpanya, kau juga bisa membuka pintu hati orang yang kau sukai dan memasukinya. Ganbatte , Yuki-chan! Kembalilah menjadi gadis ceria yang kukenal,” ujarnya seraya mengusap-usap lembut kepalaku. Senyuman yang lembut menghiasi bibir tipisnya. Membuatku seketika merona salah tingkah.

Seketika api semangat meletup-letup dalam diriku. Karena dia, sahabat terbaik yang sudah seperti saudaraku sendiri, yang selalu tahu harus mengatakan apa padaku. Dia tak mengucapkan kata-kata yang ingin telingaku dengar tapi dia memberikan nasehat apa yang harus kudengar.

“Arigatou, Huchoru-kun,” ucapku tulus lalu bersandar di bahunya dengan mata yang terus menatap rintik-rintik hujan yang tak kunjung berhenti.

Perasaanku menjadi tenang dan senyuman ceria kembali lagi terukir di bibirku. Ternyata jika hujan dipandangi dengan hati tenang dan bahagia, penuh semangat yang meletup-letup maka hujan tak nampak sesuram tadi.

Hari ini aku menyimpulkan, hujan tak selalu membawa kesedihan. Ada kalanya setiap tetes-tetesan hujan telah membawa makna berharga untuk kehidupan. Khususnya aku. Berkat Huchoru-kun, orang yang selalu menjadi malaikat penolong dan sekaligus pendengar yang baik, aku bisa mendapatkan kenyamanan sekarang. Rasa sedihku langsung sirna hanya dengan kata-katanya yang menyejukkan. Aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkan sosok sahabat sepertinya.

Dia seperti malaikat sekarang—walau kadang-kadang dia juga bisa berubah jadi iblis sih. Kata-katanya yang mengalir tanpa konsep namun tepat sasaran sungguh membuatku tak habis pikir secerdas apakah dia. Dapat ide tentang batu itu dari mana? Kenapa dia selalu bisa menjadi seseorang yang bijak dan kenapa aku merasa dia sangat memahamiku? Yang paling penting, kenapa Huchoru-kun selalu bersikap sangat baik? Kenapa dia sangat memerhatikanku? Bahkan ketika sepulang sekolah tadi kami berpapasan di jalan depan rumah lalu melihat wajahku begitu murung dan tak menghiraukan sapaannya, dia pun langsung menelponku beberapa menit kemudian. Setelah mendengar tangisanku—padahal tadi aku sempat membentaknya dengan kasar, dia langsung datang menemuiku. Di sini. Di tempat yang bahkan orang tuaku tak mendekatiku ketika tahu aku sedang bersedih atau marah.

Mendadak banyak pertanyaan ‘kenapa’ bersarang. Menuntutku untuk bertanya secara langsung pada orang yang kini sedang kusandarkan kepalaku padanya. Huchoru-kun.

Aku mengangkat kepala, mengamati wajah lembutnya yang masih saja menatap hamparan taman yang didominasi dengan bebatuan dan sedikit tanaman. Huchoru-kun menyadari ada mata yang mengamatinya lekat-lekat—padahal tadi dia nampak sedang menerawang menatap hujan, kenapa bisa merasakan bahwa ada orang yang sedang memandangnya tanpa berkedip?—dan akhirnya menoleh, “doushite? ” tanyanya penasaran seraya memiringkan kepala sambil menatapku lekat-lekat.

“Emmm... Boleh aku bertanya sesuatu?” Aku langsung menunduk. Kegugupan mulai merambati hati.
Sungguh! Aku bingung harus memulai dengan pertanyaan apa. Tapi betapa bodoh dan tak pekanya aku karena baru merasa penasaran sekarang. Kenapa tidak sejak dulu perasaanku terusik oleh sikapnya yang teramat—mungkin ini berlebihan—mengistimewakanku.

Huchoru-kun mengerjap menatapku, dibarengi dengan kerutan dahi lalu beberapa detik kemudian berucap, “Apa?”

“Kenapa kau begitu memperhatikanku?” Akhirnya satu pertanyaan yang mewakili isi hatiku tersampaikan.

Matanya terbelalak sejenak—sepertinya. Selanjutnya tak lagi menghadapku namun malah berbaring dengan tangan kanannya dijadikan bantal. Setelahnya mendongak ke atap memandangi boneka teru-teru bozu yang menggantung tak tenang karena diombang-ambingkan angin. Keheningan tercipta karena dia terlampau lama mencari jawaban. Bukankah ini pertanyaan yang tak cukup sulit? Tak lebih sulit dari soal logaritma yang selalu sukses membuatku mati kutu. Ayolah Huchoru-kun... jawab pertanyaanku.

“Karena...” Dia menggantung ucapannya. Wajahnya menunjukkan tanda-tanda keraguan ketika dia menoleh ke arahku. “Aku menyukaimu.”

Lirih benar kata-kata yang baru saja terlontar tapi sungguh sangat sukses membuat jantungku langsung terhenyak dan menghasilkan detakan cepat tak terkendali. Kata-kata Huchoru-kun barusan membuatku terbelalak kaget. Seolah seperti guntur yang memekakkan telinga. Aku agak tak percaya dengan ucapannya.

“Eh? Nani? ” Tubuhku menegang dan sontak menegakkan punggung. Pekikan dan refleks tubuh yang pastinya terlambat merespon.

Huchoru-kun bangun dari posisinya yang merebah—singkat. Ekspresinya berkesan tak terdefinisi. Antara gugup, serius, atau takut—mungkin. Senyuman lembut beberapa menit lalu saat mengucapkan kata-kata bijak entah menghilang ke mana. Seperti bukan pemuda yang tadi saja.

“Mungkin ini adalah kata-kata klise yang sering kau dengar di dorama-dorama yang suka kau tonton setiap hari tapi ini jujur dari hatiku. Aku menyukaimu sejak pertama kita bertemu,” lanjutnya panjang lebar dan terdengar tegas. Dia mengatakan dengan lancar seraya mencengkeram bahuku sambil menyorotkan mata yang tersirat, ‘percayalah padaku’.

Aku masih mematung. Begong. Bingung harus berkomentar seperti apa. Bagiku dia sangat berarti. Sungguh! Tapi untuk menyebut perasaanku ini sebagai rasa cinta seperti yang dia rasakan sepertinya tidak. Kedekatan kami sudah membuatku menganggapnya sebagai saudara sendiri jadi tidak mungkin kan dengan cepat berubah?

“Anggap saja aku ini adalah rintik hujan itu Namika-chan dan kau batunya. Kalau saja tadi kau tak bertanya lalu tak
kuberitahu perihal perasaanku padamu, aku tetap yakin suatu saat kau pasti akan menyadari perasaanku.” Dia berkata sambil tersenyum. Senyuman yang terasa lain dari pada yang lain. Tersirat ketenangan dan kepercayaan diri tapi di samping itu, di manik matanya yang coklat terpancar binar-binar bahagia.

“Tapi aku—”

“Sst... Tak perlu menjawab. Aku tak meminta jawabanmu karena sekarang kau pasti belum siap memberikan jawaban.

Biarkan seperti ini saja.” Dia beranjak berdiri sepertinya hendak pergi. Mataku otomatis terus mengikuti gerak-geriknya hingga dia berjalan menuju pintu geser. “Tolong, jangan terlalu memikirkan dalam-dalam kata-kataku tadi. Aku ingin kau tak berubah sikap. Aku ingin tetap menjadi sahabatmu Namika-chan. Setelah aku pulang dan esok kita bertemu lagi, aku ingin kau akan tetap bersikap sama. Menjadi sahabatku yang selalu tersenyum riang. Mau, ‘kan?” Di ambang pintu, dia berucap penuh harap.

Dengan agak enggan karena perasaan syok masih bersemayam, aku mengangguk kepadanya.

Dia tersenyum sambil menghembuskan nafas lega. Setelah mengucapkan, “arigatou” tubuhnya menghilang. Meninggalkanku sendiri di teras rumah sambil merenung seharian.

Pikiranku yang seharusnya menyuguhkan topik utama yang bertema patah hati, gara-gara pertanyaan rasa suka dari
Huchoru sontak memuat benakku tersita oleh ucapannya. Kata-katanya terus terngiang-ngiang. Membuatku mau tak mau harus melihat flashback tentang kisah persahabatan kami yang dimulai dari saling berkenalan ketika aku pindah di
Taito¬-ku sampai hubungan kami menjadi sedekat ini. Perenungan ini mungkin takkan berakhir. Dan aku pasti juga takkan beranjak dari tempatku duduk sedari siang kalau saja Okaa-san tak berteriak memanggilku untuk makan malam.
Setelah menepuk tangan 3 kali dan mengucapkan “itadakimasu ”, Okaa-san dan Otou-san langsung mengambil sumpit yang di letakkan di sisi kanan mangkuk dan memakan nasi yang sudah disiapkan dalam mangkuk keramik. Sedangkan aku masih termenung. Melamun. Tak menyentuh sumpit yang tergeletak manis di atas kotatsu . Padahal lauk yang terhidang seharusnya bisa membuat liurku menetes tapi untuk saat ini Misoshiru , Ebi furai dan makanan lain yang melambai-lambai minta diambil tak berhasil membujuk nafsu makanku.

Suara petir terdengar menyambar. Sempat membuatku dan juga kedua orang tuaku kaget. Seharusnya musim semi adalah masa di mana langit akan sering memperlihatkan pemandangan yang cerah dengan angin sepoi yang terasa sejuk tapi mengapa seharian ini yang ada malah hujan terus yang turun. Membuatku selalu teringat ucapan-ucapan Huchoru-kun.

“Ayo, dimakan Namika-chan. Biasanya kau akan langsung lahap makan kalau Okaa-san masakkan ebi furai,” ujar Okaa-san. Matanya menatapku khawatir.

Okaa-san pasti tahu bahwa tadi aku menangis cukup lama di teras belakang sepulang sekolah. Jadi sekarang dia sengaja memasakkan makanan kesukaanku. Karena ini adalah cara yang biasa Okaa-san lakukan untuk menghiburku. Okaa-san memang tak mendekat lalu menasehati atau sekedar menghibur ketika aku menangis atau mengamuk. Okaa-san lebih sering menunjukkan perhatiannya lewat perbuatan. Sedangkan Otou-san kesibukannya bekerja takkan bisa membuatnya tahu aku sedang mengalami hal yang menyedihkan hari ini. Sekarang, kami makan malam dengannya saja sudah suatu hal yang patut disyukuri. Tapi maafkan putrimu satu-satunya ini Okaa-san. Maafkan juga diriku yang tak begitu menunjukkan rasa senang ketika makan malam bersamamu, Otou-san. Aku tak berselera sekarang. Pikiranku sedang rewel. Sibuk memikirkan hal yang ganjil—kalau pernyataan cinta Huchoru bisa disebut ganjil sih.

Sebaiknya aku ke kamar saja dari pada membuat suasana di sini menjadi suram.

“Aku selesai,” ucapku lalu bangun dan melangkah menuju kamarku.

Okaa-san sempat menahanku dengan menunjukkan wajah kecewa. Begitu juga dengan Otou-san yang menatapku galak karena meninggalkan meja sebelum selesai makan. Namun aku tetap pergi. Mungkin dengan berbaring di kamar lalu tidur, benakku yang cerewet bisa diam.

Dalam perjalananku, mataku tertumbuk pada telepon yang tergeletak di meja kecil di samping anak tangga menuju lantai 2 tempat kamarku bersemayam. Melintas lagi kenangan beberapa jam lalu setelah aku pulang sekolah. Aku berbicara ketus dengan Huchoru-kun lewat benda itu, bahkan sempat membentaknya karena dia bersikeras untuk datang kerumahku. Mendadak ingin rasanya tanganku terulur dan menelpon dia, tapi aku harus bicara apa?

Aku duduk bersimpuh menghadap telepon. Lama aku menatap lekat-lekat benda mati yang tak begitu indah tersebut. Tanganku terulur lalu kutarik kembali dan begitu seterusnya. Hingga akhirnya aku menetapkan hati untuk memegang gagang telepon dan yang satunya lagi bersiap memencet tapi untuk melakukan itu seolah begitu sulit. Sesulit memilih jawaban soal pilihan sewaktu ujian.

Kukeraskan tekadku. Supaya hatiku tak terus-terusan bergejolak, benakku tak tak terus mengoceh panjang lebar dan nanti malah berakibat aku tak bisa tidur jadi sekarang aku menelponnya. Harus! Ayo beranikan dirimu Namika Yanagita!
“Moshi-moshi Huchoru-kun,”sapaku dengan suara yang lirih.

Di ujung sana suaranya tak nampak segugup diriku. Ternyata rasa tertekan ini cuma sepihak saja. Aish! Tidak adil. Memang aku tahu Huchoru-kun itu orang yang tenang—malah banyak orang yang bilang dia dingin—tapi soal perasaan ternyata dia juga cukup pintar mengendalikan bahkan menyembunyikannya ya? Salut! Dan... Iri!

“Soal tadi...” Aku menggaruk-garuk kepala bingung.

“Kau merasa terbebani ya? Gomenasai jika membuatmu tak tenang.”

“Eh? Tidak! Kau tidak membebani kok. Hanya saja aku selalu kepikiran.”

“Benarkah?”

“Te-tentu saja. Sungguh! Bukan salahmu. Tak perlu minta maaf.”

Hening kembali tercipta. Di sana diam, di sini pun juga sedang sibuk merangkai kata.

“Mari kita pacaran!” ucapku cepat dan lancar. Selancar bola salju yang turun dari gunung Fuji.

Hening lagi...

“Hu-Huchoru-kun. Kau ada di sana?”

Pertanyaan bodoh. Tentu saja dia masih menempelkan gagang telpon di telinga hanya saja kata-katamu sungguh mendadak,
Namika! Kalau Huchoru-kun sakit jantung bagaimana coba?!

Kupukul-pukul kepalaku. Merutuki kebodohan mulutku yang refleks berkata tanpa basa-basi.

“Te-tentu saja.” Di seberang sana terdengar suara Huchoru-kun yang berubah gagap. Mungkin saking kagetnya,
Huchoru-kun tak bisa mengembalikan ketenangan suaranya.

“Mungkin ini terlalu mendadak. Aku juga tahu bahwa kau bukan tipe orang yang suka dengan gadis yang menembak duluan
tapi... Aku merasa kau adalah orang yang tak bisa kuhiraukan begitu saja. Beberapa jam aku menimbang-nimbang perasaan. Aku terus kepikiran dengan kata-katamu tadi lalu tanpa diminta, benak ini menggulirkan peristiwa di masa lampau. Peristiwa di mana awal kita bertemu dan kau yang selalu tak pernah absen mengisi hari-hariku. Dan pada satu titik, hatiku mengatakan bahwa aku harus menerima perasaanmu. Mungkin Tuhan mengirimmu memang untukku. Selalu dan selalu saja kau yang ada di sampingku. Lalu setiap kata-kata dan tindakanmu tak pernah gagal membuatku tenang dan bahagia. Jadi, aku ingin menyukaimu. Mari kita pacaran, Huchoru-kun.” Setelah mengeluarkan semua kata hati aku menghela nafas lega. Tinggal menunggu reaksi darinya.

Memang aku tak tahu pasti tentang perasaanku padanya. Tapi aku yakin dia adalah orang yang tepat untukku. Tak ada yang lain. Hanya dia orang yang mengerti bagaimana aku dan aku menyayangi dia. Sangat menyayangi Huchoru-kun.

“Aku menolak!”

“EH???” Aku memekik refleks. Jawabannya sungguh di luar dugaan. “Ap-apa maksudmu?!” Suaraku menegang.

Enak saja dia bilang ‘menolak’ setelah aku dengan susah payah menata hatiku, menyingkirkan rasa takutku dan memberanikan diri menyatakan bahwa aku ingin menjalin hubungan dengannya. Aish! Sebenarnya kata-katanya tadi sewaktu di teras itu serius tidak sih?

“aku tak mau kau terpaksa.”

Aku diam sejenak mencoba mencerna kata-katanya. “Terpaksa? Ak-aku tidak terpaksa.”

“Kau terpaksa. Nampak jelas sekali di kalimat yang kau lontarkan tadi. Aku sudah berkata kan tadi? Aku tak meminta

jawabanmu. Aku mengatakan perasaanku karena kau bertanya. Cuma itu.” Kudengar helaan nafasnya. “Aku tahu hatimu belum benar-benar terbuka untukku. Ya, ‘kan?”

Dan pertanyaannya membuatku pikiranku makin bingung.

“Soal itu...” Suaraku menghilang. Aku sedang berpikir menyusun alasan. “Kupikir ada baiknya kita berpacaran
Huchoru-kun. Karena... Kau sangat baik dan selalu ada di saat kubutuh. Aku menyayangimu. Aku sadar aku... menyukaimu.
Aku selalu menjadi tenang di saat kau ada di sisiku.”

“Aku tetap menolak.” Suara ketusnya muncul. Sepertinya aku membuatnya memnuculkan sisi iblisnya. Gawat!

“Kenapa? Apa penjelasanku kurang?”

Eh? Di sini siapa sih yang tadi menyatakan suka lebih dulu? Kenapa seolah-olah aku yang begitu menginginkan hubungan
ini lebih maju? Padahal kan ini semua bermula dari pernyataan suka Huchoru-kun. Kenapa dia malah berubah jual mahal sih? Mengesalkan!

“Aku tidak suka diminta pacaran. Biar aku yang meminta padamu. Jadi tunggu saja!”

Pip-pip-pip!

Sambungan telepon terputus. Aish! Harga diri Huchoru memang benar-benar tak terkalahkan.

***

Hari minggu yang cerah. Aku dengan celana pendek dan kaos hitam gombrong sedang menikmati bunga sakura bermekaran di halaman rumah.

“Sejuknya...” ucapku seraya memejamkan mata. Menghirup bau harum bunga Sakura yang sesekali menerbangkan kelopaknya yang rontok ke atas wajahku.

Hari-hari sudah berlalu sejak kejadian patah hati, pernyataan cinta dan pernyataan dariku yang ingin—lebih tepatnya bersedia—menjadi pacar Huchoru-kun tapi tak sesuai dugaan, dia menolak. Harusnya bisa kuduga sih. Sifatnya memang begitu dan aku tahu betul itu tapi kenapa juga aku bilang ‘mari kita pacaran’.

“Hei! Kau belum bersiap juga?” Suara familiar menganggu acaraku menikmati harum bunga Sakura. Seketika aku membalik badan dan mataku sontak terbelalak, mulutku melongo.

“Kenapa kau pakai Yukata ? Penampilanmu jadi terlihat terlalu formal,” ucapku. Dan tentu saja nampak gagah dan... tampan, batinku.

Dari mana saja kau Namika??? Kenapa baru sekarang kau menyadari bahwa Huchoru-kun mempesona?

“Sekali-kali aku ingin memakai Yukata di Hanabi Matsuri .” Dia bersedekap lalu menatapku dari kepala sampai kaki.

“Kau lupa ya? Bukankah kau sudah kuminta untuk memakai Yukata juga?”

Mataku melotot lagi. “Eh? Benarkah?” Langkahku mendekati Huchoru yang masih berdiri tegap di teras. “Tapi... Aku malas memakai Yukata.”

“Harus! Sekali-kali di perayaan musim semi aku ingin melihatmu memakai Yukata. Masuk sana. Okaa-san-mu sudah menyiapkan Yukata.”

Dia memukul kepalaku. Meski pelan tapi ini adalah hal yang tak kusukai. Aku tahu sih dia lebih tua tapi tetap saja memukul kepala itu tindakan yang tidak sopan. Aku pun memanyunkan bibir. Dan tanpa menyanggah lebih lanjut—karena pastinya bakal kalah berkonfrontasi dengannya—aku melangkah memasuki rumah.


Suasana sangat ramai dan tumben sekali Huchoru-kun nampak tersenyum menikmatinya. Bukan seperti Huchoru-kun yang biasanya. Dia kan sebenarnya tak begitu suka keramaian?

Di taman Ueno kami berada saat ini. Duduk di rerumputan di pinggiran tanah lapang tepat di bawah naungan pepohonan Sakura yang memang sengaja di soroti lampu agar ketika malam tiba pun keindahannya masih nampak jelas.

“Tuh! Hanya sedikit orang yang memakai Yukata. Tahun lalu pun kita tak seresmi ini bukan?” keluhku karena kurasa
Yukata tak bisa membuatku bergerak bebas.

“Karena tahun lalu tak seistimewa ini, Namika-chan.”

Kontan saja, kata-katanya membuatku serta merta menatap lekat wajahnya dengan menyorotkan pandangan ketidakmengertian.

Aku memiringkan kepala seraya mengerutkan dahi.

Dia malah tersenyum lalu mengacak-ngacak rambutku. “Kau nampak manis jika berekspresi begitu.”

“Apanya yang manis?” Sontak pipiku bersemu merah. Kupalingkan wajah ke arah lain. Aku malu dan...berdebar-debar. Eh?
Kenapa seperti ini perasaanku?

Jeda sesaat diisi keheningan. Hanya suara riuh para Penonton yang sama seperti kami duduk di bawah pohon Sakura
sambil menunggu kembang api bertaburan di langit gelap, yang terdengar.

Tak seistimewa... Tak seistimewa? Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepala. Medesak untuk dipertanyakan pada pemuda di sebelahku. Tapi aku takut.

Duarrr!!!

Kembang api sudah meledak di angkasa begitu indah dengan sinarnya yang bertebaran warna-warni. Aku mendongak dan tanpa sadar kaki ini sudah berdiri saking terkagum-kagumnya diriku akan keindahan kembang api di atas sana.
Sorak sorai tepuk tangan dan pekikan kagum orang-orang tak mengurangi rasa senangku ketika selama bermenit-menit kembang api itu menghiasi langit hitam nan gelap tanpa awan yang berarak.

Deg!

Dadaku langsung merasa seperti melompat keluar ketika tiba-tiba kurasakan tangan Huchoru-kun menyampir di bahuku. Aku langsung menoleh ke arahnya. Karena ini untuk yang pertama kalinya dia merangkulku. Biasanya kami hanya saling berpegangan tangan atau paling-paling aku merebahkan kepalaku di bahunya sambil bercurhat-ria. Tapi sekarang...

“Mari kita pacaran,” ucapnya tepat di telingaku. Angin hangat yang berhembus dari mulutnya menyeruak merasuk hingga
membekukan tubuhku. “Aku memintamu menjadi pacarku dan kau harus mau.”

Di riuhnya taman Ueno, kami saling memandang lekat satu sama lain. Seolah segala hiruk pikuk ini tak ada sama sekali di sekeliling kami. Lengannya yang masih merangkul semakin dia eratkan membuat tubuh kami tak ada jarak.

Kata-katanya yang berkesan memaksa tak memperoleh jawaban karena bibirku terlalu beku hingga susah untuk bicara.
Inikah yang dia maksud istimewa tadi? Ternyata dia benar-benar memintaku menjadi kekasihnya dan tak kuduga dia akan melakukannya di saat ini. Ternyata Huchoru-kun romantis juga....

“Baiklah. Mari kita pacaran. Dan semoga hubungan ini berlangsung selamanya.”

“Salah! Bukan semoga tapi memang harus berlangsung selamanya.”

Sekali lagi pipiku merona. Ya ampun... Huchoru-kun... Sikapmu ini benar-benar membuatku berdebar-debar. Sekarang aku
yakin, aku memang menyukaimu. Aku mencintaimu Huchoru-kun.

Tamat