Sabtu, 01 Maret 2014

[Short Story Reading Challenge] Fireflies of Winter


SPESIFIKASI BUKU
Judul : Fireflies of Winter
Penulis : Rafandha, dkk
Penerbit : PING!!! (lini Divapress)
Terbit : Februari 2013
Halaman : 192 halaman
Sinopsis :
“Apa yang sedang kau cari?”
“Mencari kunang-kunang.”
“Di musim dingin seperti ini?”
“Kenapa?”
“Ah, Eun Woo, mengapa kau pikir di musim dingin ada kunang-kunang?”


Eun Woo yakin jika suatu saat ia akan menemukan kunang-kunang di musim dingin. Seperti yang pernah dibawakan ayahnya: hewan bercahaya kuning yang beterbangan dalam sebuah toples. Ia tak mau mendengar kata-kata Min Ho dan memutuskan pergi ke sebuah hutan di Damyang pada pertengahan bulan Desember. Lalu, mungkinkah Eun Woo bisa menangkap seekor kunang-kunang?
Sebuah ending tak terduga dihadirkan oleh Rafandha si pemenang Lomba Cerpen #K-Pop 2013 ini. Dan masih banyak kisah romantic lainnya yang nggak boleh kamu lewatkan.
***

Ada 15 cerpen di antologi ini. Semuanya adalah para Finalis lomba cerpen #K-PopLoveStory dan salah satunya adalah saya sendiri. Dulu, sejak pertama melihat cover buku ini saya langsung berkomentar, Covernya cantik. Warnanya lembut dan berkesan sederhana tapi manis. Akan tetapi sepertinya tak sesuai dengan judul yang ada kata Winter-nya itu. Covernya lebih terasa musim Semi atau Gugur.

Karena buku ini memuat karya pertama saya jadilah ketika mendapatkannya saya, pertama-tama saya membaca cerpen saya sendiri. Harap maklum, euphoria penulis pemula yang sangat bahagia tulisannya nembus penerbit mayor. Hehehe… Saya menuliskan sebuah cerita sederhana tentang seorang laki-laki buta yang tinggal di pulau Jeju. Dia diberkahi suara yang indah sehingga setiap malam dia bekerja sebagai penyanyi kafe. Setiap pagi tak lupa dia menyapa lautan, suara gemericik air dan kicau burung selalu membuatnya tenang. Di sinilah dia bertemu seorang gadis patah yang dia kira mau bunuh diri. Di situlah segala cerita bergulir.

Selanjutnya cerpen kedua yang saya baca adalah cerpen karya sahabat saya judulnya ‘Cloud’. Yang sama halnya dengan saya, dia juga pemula tapi yakin ceritanya lebih inspiratif daripada cerpen saya sendiri tapi sayang begitu banyak kesalahan pengetikan yang lolos di mata editor dan selain itu saya merasa alurnya terlalu terburu-buru, yah saya memaklumi karena adanya maksimal halaman yang kami tuliskan. Namun saya menyukai satu quote yang dia tulis,
“Awan nggak pernah bohong. Saat awan terlihat kayak permen kapas, itu artinya hari cerah. Dan jika terlihat kayak gumpalan maka hari akan mendung dan mungkin akan hujan. Pokoknya awan selalu mengatakan yang sebenarnya.”
Gadis kecil, Cho Sun Hee yang dia tuliskan juga bikin gemes karena sikapnya yang blak-blakan dan polos.

Nah, karya sang pemenang yang menjadi pilihan saya selanjutnya. Di sinilah saya mulai suka dengan tulisan Rafandha. Ceritanya sederhana namun memiliki ending yang tak tertebak. Karakter Eun Woo yang keras kepala sangat cocok jika disandingkan dengan Min Ho yang selalu sabar. Pantaslah kalau Rafandha yang menang.

Terus saya melanjutkan bacaan ini. Seperti biasa, selalu melompat-lompat sesuai dengan keinginan yang memilih judul mana yang mau dibaca lebih dulu. Nah, antologi ini sudah cukup lama saya baca. Dan ternyata cerita yang paling membekas dalam ingatan dan berkesan adalah cerpen, “I was Once Your Fan” dan “Station Miryang Love”. Kenapa?

“I was Once Your Fan” bercerita tentang seorang mantan fans berat seorang artis tersohor di Korea, Lee Kyungsik. Kenapa dia berbalik membenci Kyungsik? Karena beberapa tahun lalu dia melihat kado-kado yang diberikan fans Kyungsik dibuang begitu saja oleh penjaga. Dia geram mengingat betapa susahnya dia membuat kado itu. Saya menjadi merasa Rena adalah saya sendiri. Seorang KPOPer yang tergila-gila pada artis namun berakhir kecewa karena seorang artis yang dipuja tak sesuai dengan angan yang dibangunnya. Membaca cerpen ini saya seolah berkaca. Dan terlebih lagi, deskripsi sang tokoh, Kyungsik sangat saya kenal. Ketika habis membaca saya langsung sukses menebak bahwa seorang Lee Kyungsik pasti Kim Jaejoong. Karena saya fans beratnya dan sangat hafal latar belakangnya.

Berbeda dengan cerpen di atas. Cerpen yang berjudul, “Station Miryang Love” menceritakan tentang seseorang yang menanti. Seorang gadis yang selalu setia datang ke stasiun Miryang, menunggu seseorang. Bertemulah dia dengan seorang lelaki yang datang khusus ke kota kecil itu demi memenuhi keinginan terakhir temannya yang meninggal. Semula saya menyangka gadis itu hantu sama halnya dengan Aro, si pengamen. Namun rupa-rupa di akhir cerita Arang bukanlah hantu. Ada humor terselip di sini.

Antologi cerpen ini adalah kenangan. Beberapa penulis-penulis yang berkontribusi juga pasti merasakan hal yang sama seperti saya bahwa buku ini adalah awal mula kami berkarya. Saya suka mengamati dan berbincang-bincang dengan beberapa penulis dalam buku ini. Sekarang mereka sudah menerbitkan karya solonya dan kami suka bernostalgia, kembali di masa lalu saat buku ini pertama terbit kamu belum menjadi seorang novelis.

[Short Story Reading Challenge] Air Mata Ibuku Dalam Semangkuk Sup Ayam



SPESIFIKASI BUKU
Judul : Air Mata Ibuku Dalam Semangkuk Sup Ayam
Penulis : Mariska Tracy
Penerbit : Elex Media Komputindo, 2010
ISBN : 978-979-27-6375-1
Halaman : 180 halaman
Sinopsis :
Tangisan tanpa suara it uterus berlanjut. Miranti terus menutupi wajahnya agar tidak ada orang yang melihat. Pandangannya mengarah pada sup ayamnya. Sup yang tadi ia pikir bisa menghangatkan tubuh dan pikiran, kini perlahan mendingin, bercampur dengan banjir air matanya. Ah, andai saja putrinya yang hilang diculik masih bersamanya, tentu hari ini ia akan meniup lilin di kue tar ulang tahunnya. Disentuhnya mangkuk sup ayamnya dengan hati pedih.
Simak pula lima belas cerpen lainnya. Penebusan dan Pergantian Luka Masa Lalu, Cengeng, Janji dalam Sebuah Botol Bekas, Cinta bukan Perkara Gemuk atau Langsing, Permainan Rumah Duka, Penulis Puisi Itu, dan sebagainya.
***

Hal yang membuat saya tertarik untuk mengambilnya di rak buku perpustakaan adalah pertama karena tak sengaja membaca tulisan Sup Ayam. Ya, karena judulnya “Air Mata Ibuku dalam Semangkuk Sup Ayam” lah yang membuat saya ingin membacanya lebih lanjut. Rasa penasaran mengusik, kenapa si ibu menangis hingga acara makannya harus terhenti dan bulir-bulir air mata itu mengalir deras hingga menetes ke sup ayamnya. Di awal saya pikir ceritanya seperti seorang ibu yang tak mampu member makan anaknya namun begitu membaca sinopsisnya saya mengerti kenapa dia menangis.

Seperti biasa. Saya selalu membaca lebih dulu cerpen yang menjadi judul utama dalam sebuah buku. Alasannya karena saya suka mencari tahu kenapa penulis memilih judul itu namun tidak meletakkan cerpen itu di urutan paling depan. Cerita cerpen “Air Mata Ibuku dalam Semangkuk Sup” sederhana tapi tersirat makna tapi menyempil perasaan yang ketika selesai dibaca langsung membatin, “ironis ya?”. Kenapa saya membatin begitu, karena ujungnya sengaja dibuat menggantung. Anak yang selama ini dicari-cari dan membuat dia harus menangis sehingga tak bisa memakan sup ayamnya itu muncul tak lama setelah kepergiannya. Mereka dibuat tak bertemu, hanya mendeskripsikan kondisi sang anak yang sungguh mengenaskan dan berbanding terbalik dengan ibunya.

Selanjutnya setelah membaca cerpen yang menjadi judul utama, saya mencoba untuk membacanya secara urut krena takutnya kalau membaca melompat-lompat seperti biasa saya membaca antologi, ada cerpen yang terlewat dan tak terbaca. Karena antologi ini penulisnya tunggal maka warna tulisannya pun sama. Akan tetapi bagi yang suka membaca cerita dengan sudut pandang perempuan dengan latar belakang yang beragam maka buku untuk patut untuk dibaca. Isinya semua menyangkut tentang perempuan dari berbagai latar belakang dan sudut pandang. Selain seorang ibu yang rindu anak serta topangan tangan sang Mama, ada juga seorang perempuan yang merindukan masa-masa yang lalu di mana dia masih bersekolah, tentang cewek cengeng—yang bukankah memang wanita suka menangis untuk mengungkapkan sesak hatinya?, ada cerita tentang ibu dan calon menantu, dan lain sebagai.

Cerita yang variatif, diksi yang ringan dengan banyak kejutan yang tak tertebak membuat saya tak bosan membacanya. Hanya saja seperti antologi lainnya, buku ini tak luput dari kekurangan. Ada beberapa cerpen yang saya rasa karena idenya terlalu biasa dan sering diangkat membuat saya lumayan bosan membacanya.