Senin, 30 Desember 2013

Di Semarang, Aku Merindumu

~o0o~

Tami nampak lelah. Kakinya melangkah terseret seraya sesekali menutup mulutnya yang menguap karena terlampau mengantuk. Untungnya daerah sekitar rumahnya terbilang aman sehingga meski hari telah larut dan kini dia berjalan sendirian, dia tak merasa terancam.
Tep! Langkah kakinya berhenti begitu sekelebat dia melihat seseorang baru saja berlari meninggalkan rumahnya setelah memasukkan sesuatu ke dalam kotak pos yang terpasang kokoh di pagar rumah.
Tami mempercepat laju langkahnya. Merasa penasaran oleh apa yang diletakkan orang asing yang berpakaian serba hitam tadi. “Tidak mungkin dia Pak Pos. Jam sepuluh malam mana ada Pak Pos?” gumamnya.
Sesampainya dia di depan pagar, dibukanya dengan terburu-buru kotak pos bernomor 254. Seketika dahinya mengernyit heran ketika didapatinya sebuah amplop berwarna pink tergeletak di dalam kotak. Ragu-ragu, tangan Tami terjulur mengambil amplop itu dan membukanya pelan-pelan. Sungguh, dalam hati dia merasakan keanehan. Jarang sekali dia mendapat surat. Jaman sekarang dengan hanya menggunakan fasilitas internet atau ponsel, segalanya bisa cepat tersampaikan dan perlahan—kecuali lembaga instansi—sedikit orang yang menggunakan jasa surat menyurat.
“Eh? Kunci?” pekik Tami tertahan. Dia heran kenapa amplop yang tak ada nama pengirimnya selarik pun memberinya kunci warna silver dengan goresan nomor seri di kepala kunci. Apa maksudnya? batin Tami.
Seraya melangkahkan kakinya masuk ke rumah kontrakannya yang terletak di jalan Kauman. Tami masih saja terus menebak-nebak siapa yang mengiriminya kunci dan apa tujuannya.
Dimasukinya ruang tamu ukuran 3 x 4 meter itu lalu dihempaskan tubuhnya yang lelah ke sofa. Matanya terpejam. Otaknya sudah tak mampu berpikir karena sudah capek bekerja seharian. Akhirnya tak perlu menitan waktu, Tami sudah terlelap di sofa tanpa mengganti seragam kerjanya terlebih dulu.

“Wah... Pas banget! Dapat loker bernomor 109!” ucap Tami sedikit memekik girang. Alhasil beberapa mahasiswa yang berlalu lalang menoleh ke arahnya heran. Tak terkecuali dengan sosok pemuda berkemeja hitam lengan pendek yang sedang membuka loker tak jauh darinya.
“Hebohnya... Memangnya ada apa dengan nomor itu? Nomor keramat ya?” Pemuda itu menyenderkan sikunya ke pintu lokernya yang sudah tertutup lalu menatap Tami disertai senyuman mencemooh.
Tanpa menatap balik ke arah orang yang tiba-tiba berseloroh, Tami menyahut. “Soalnya 109 adalah tanggal lahirku,” jawabnya lancar masih disertai senyuman bahagia. Namun tak berapa lama dia sadar bahwa orang yang mengajaknya bicara tak dia kenal. Sontak Tami menengok ke kiri tempat di mana pemuda berlesung pipit itu masih berdiri menyandar. “Eh? Siapa kau?” Wajah terkejutnya muncul.
“Hahaha! Lucu sekali ekspresimu itu,” selohornya sambil tergelak. Lalu dia pun melangkahkan kaki mendekati Tami seraya mengerling genit. “Kau pasti Mahasiswa baru, makanya tak tahu. Kenalkan, aku Andreas Itsuki. Mahasiswa paling berkarisma di kampus.” Dia menyombongkan diri cenderung narsis.
Kali ini Tami lah yang gantian tergelak. “Hahaha! Apa? Berkarisma? Ish! Sombong!” Setelah berucap dengan cueknya Tami berlalu dari hadapan Seniornya. Tak lupa, dia melirik singkat ke arah pemuda itu dan tak sengaja matanya tertumbuk pada nomor loker pemuda tengil berambut coklat acak-acakan yang tadi berseloroh sombong.


Tami membuka matanya tiba-tiba dengan sorot terkejut. Jantungnya berdetak tak beraturan. Nafasnya menghembus dengan memburu. Mimpi itu atau lebih tepatnya kenangan masa lalu yang kembali di dalam mimpi telah mengagetkannya dan langsung mengingatkannya pada sesuatu.
“Kunci itu! Nomor di kunci itu sama dengan nomor loker Andre!”
Tami cepat-cepat berdiri lalu meluncur keluar rumah tanpa mengganti dulu seragam yang dikenakannya atau merapikan rambutnya yang acak-acakan disertai wajah kucel yang nampak kelelahan. Terus, Tami berlari menyusuri gang sempit menuju jalan raya di mana dia dapat menyetop angkutan atau taksi yang lewat.
Di dalam taksi pun, ditatapnya terus dengan sorot mata berkaca-kaca kunci yang dia pegang sambil terus bergumam, “106... Kuharap apa yang kupikirkan benar. Bukankah memang tabiatnya begitu? Suka bikin pusing.” Tak berselang semburat merona muncul di pipi Tami disertai senyuman bahagia. Kenangannya melayang pada kejadian di masa lampau di mana Andre dapat meyakinkannya bahwa perasaan yang mengendap di hatinya adalah cinta. Dan pemuda itu berhasil mendapatkan hati Tami.

“Cinta itu bullshit!” sentak Tami begitu Andre menyatakan perasaannya.
Senior yang sudah dia kenal satu semester lebih itu memang dikenal sebagai Playboy. Dan sesuai dengan yang Andre katakan ketika mereka pertama bertemu, pemuda ber-iris mata hitam kelam itu cukup populer di kampusnya. Wajahnya yang tampan karena berdarah campuran Jepang-Indonesia itu cukup membuat sebagian besar gadis di kampus mengidolakannya ditambah dengan mulutnya yang manis dan senyum berlesung pipitnya yang dengan murah diumbar. Namun segala kelebihan itu tak membuat Tami terpesona malah membuat gadis itu menaruh rasa muak. Hanya karena masih tersimpan luka di hatinya. Ketika dia melihat sosok Andre, dia juga melihat sosok lelaki yang pernah menyakitinya. Sehingga sejak hatinya disakiti oleh seorang pemuda bernama Dhani itu, dia menjadi apatis pada apa yang namanya cinta.
Akan tetapi sikap dingin Tami itulah hal utama yang berhasil menyita perhatian Andre dan lama kelamaan menyukai gadis ber-style tomboy, ceria tapi bisa bermulut pedas, blak-blakan kalau dia tak menyukai sesuatu. Sehingga karena Tami, Andre mampu melakukan segala cara agar gadis itu takluk meski harus memotong urat malu dan egonya sekalipun.
“Baiklah! Akan kubuktikan rasa cintaku ini, Dear.” Andre mengerling—seperti kebiasaannya sehari-hari. “Tunggu saja kejutan dariku,” tambahnya lalu berlalu dari hadapan Tami. Begitu pemuda itu membalikkan tubuh, raut wajahnya berubah muram. Topeng muka ceria itu meluruh seketika. Sebenarnya kata-kata Tami cukup menyakiti hatinya. Namun dia tak mau berputus asa.
Sejak langkah pertamanya berbalik meninggalkan Tami, Andre langsung memutar otak bagaimana caranya agar cintanya yang sungguh-sungguh itu bisa tersampaikan pada gadis berambut cepak yang senantiasa memakai kemeja kedodoran itu.


“Lalu keesokan harinya, kau membuatku pusing dengan segala kelakuan ajaibmu itu. Tapi idemu boleh juga. Jenius…” Tami terkekeh. “Dan sekarang kau mengulanginya lagi? Aish! Kau tega sekali, Ndre,” ucap Tami kepada kunci yang ditentengnya tinggi-tinggi sejajar dengan wajahnya seolah di matanya kunci itu adalah Andre. Raut wajah gelinya berubah jengkel.

“Selamatkan aku dari semut terbesar se-Semarang. Kalau dalam 30 menit kau tak menemukanku. Kau akan mendapati berita di koran Suara Merdeka esok hari. Telah ditemukan mayat seorang pemuda tampan nan berkharisma yang mati karena kelamaan menunggu gadis yang dicintainya menyelamatkannya dari cengkeraman semut.
Dari yang mencintaimu,
Andreas Itsuki.”
Tami mengernyit antara terkejut dan heran setelah membaca isi dari secarik kertas yang menempel di lokernya. “Menyebalkan! Kalau mau mati, mati saja sana! Tak perlu pakai menulis surat yang aneh-aneh begini,” dengusnya kesal. “Apaan tuh semut terbesar se-Semarang???”
“Paling Marabunta. Kau tak tahu memang?” Sahabatnya Riska yang ikut membaca surat Andre bersamamu menyeletuk.
Tami menoleh. Menatap dengan sorot yang menandakan dia tak tahu apa dan dimana itu Marabunta.
“Hahaha! Kau benar-benar tak tahu?” Riska terkikik. “Ayo kuantar! Dekat kok dari kampus kita.”
“Aish! Andre itu benar-benar merepotkan!” dengusnya sebal. Setelah itu dia meremas kertas dari Andre dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. “Tak perlu diantar. Aku tak mau ke sana! Siapa yang perduli pada orang gila satu itu.”
Seraya menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu Riska angkat bicara, “Tapi dia so sweet banget lho… Beneran nggak mau ke sana? Menjadi sang penyelamat yang menyelamatkan pangeran dari cengkeraman monster semut?” godanya masih disertai tawa tertahan melihat wajah sahabatnya yang ditekuk.
“Riska! Berhenti ketawa! Aku tak akan ke sana! Titik!” Tami bersikukuh menolak.


Tami terkikik pelan mengingat betapa dia panik begitu sampai di gedung Marabunta, tepat di mana patung semut besar terpasang di atap gedung. Setelah dia membaca secarik kertas dari Andre, Tami memang tak langsung menggubris. Akan tetapi begitu dia menerima telepon dari nomor tak dikenal yang mengabarkan bahwa ada orang gila yang tak mau turun dari atap gedung sebelum dia datang, terpaksa Tami harus meluncur ke sana. Begitu Tami muncul, dia dipaksa untuk menerima cinta Andre. Andre mengancam akan terjun jika Tami tak mau berpacaran dengannya. Tentu saja Tami menolak. Mulutnya berat untuk berkata ‘ya’ dan malah memarahi Andre yang keras kepala. Begitu Tami membalik badan hendak pergi, Andre terjun dengan sukses. Seketika orang-orang yang berkerumun menjerit panik. Begitu Tami berbalik, dia dapati Andre tergeletak di paving halaman Marabunta. Seketika Tami pingsan saat matanya menangkap sosok Andre yang tak bergerak.
“Hahaha! Itu adalah tipuan paling hebat sepanjang sejarah, Ndre.” Tami berucap sampil tertawa. Namun kontras dengan matanya yang mulai mengeluarkan air mata. “Kupikir kau mati. Ternyata kau dan orang-orang itu termasuk Riska berkomplot menipuku. Hahaha!”
Sopir Taksi yang menyupir memandang heran Tami dari kaca namun sang Sopir enggan untuk bertanya. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu matanya kembali fokus pada jalanan pusat kota Semarang yang masih ramai oleh mobil-mobil padahal ini sudah larut malam. Tentu saja kota ini tak akan pernah sepi. Kota besar seperti Semarang tak pernah sekali pun tidur.
Taksi berhenti ketika sampai di gedung tinggi yang berjarak ratusan meter dari Tugu Muda. Tami turun setelah membayar ongkos. Begitu kakinya menjejak di tanah, kepalanya mendongak. Senyuman manis terukir dan matanya lekat menatap gedung tempatnya menimba ilmu dua tahun yang lalu.
“Kau pasti ada di dalam sana, kan, Ndre?” gumamnya.
Kaki beralaskan sandal jepit yang buru-buru dia pakai tadi, kini mulai melangkah memasuki gerbang. Anehnya, Satpam tak ada di posnya. Pintu gerbang dibiarkan tak terkunci. Hal ini semakin meyakinkannya bahwa segalanya memang dirancang Andre untuk memudahkan dia masuk ke dalam gedung.
Mata Tami terpaku pada pohon Akasia besar di tengah-tengah taman. Terlintas sekelebat kenangan yang cukup menyesakkan baginya. Di bawah pohon itu, dia bertengkar dengan Andre untuk yang pertama dan terakhir kali. Sebelum kejadian itu, Andre tak pernah sekali pun menunjukkan wajah penuh amarah dan membentaknya. Sehingga pertengkaran hebat itu adalah satu-satunya hal besar nan gawat yang terjadi dalam hubungan mereka berdua yang akhirnya berujung pada perpisahan panjang.

“Benar kan kataku dulu? Cinta itu bullshit! Hanya dongeng isapan jempol yang manis didengar namun pahit dirasakan. Apanya yang akan selalu mengejarku? Apanya yang akan selalu bersamaku dengan setia? Kau sama saja dengan Dhani. Kalian suka sekali member harapan palsu!” ucap Tami penuh emosi. Dia berusaha menahan air matanya agar tak melesak keluar. Terlalu gengsi untuknya menunjukkan sisi rapuh dirinya.
Andre meraih tangan Tami erat. Meski gadis itu bersikukuh melepaskan tautan tangan itu tapi Andre tak berniat melepaskannya membuat Tami akhirnya pasrah daripada harus kesakitan oleh karena cengkeraman tangan Andre.
“Cinta memang benar-benar ada dan kau tahu betul itu. Kau tengah merasakannya! Tapi kau terus menyangkalinya. Aku mencintaimu, bukan yang lain. Aku memilihmu! Apa kata-kata ini belum cukup untuk memuaskanmu?”
“Ash! Kalau mau pergi, pergi saja sana! Tak perlu menggombal segala! Setelah kita terpisah ribuan mil. Paling dengan cepat kau mendapat penggantiku? Jarak kita dekat seperti ini saja kau suka tebar pesona sok ramah pada yang lain. Apalagi di belakangku?” seloroh Tami. “Pergi kau! Aku ingin sendiri!” Tami menyorotkan tatapan tajam pada Andre.
Pemuda itu pun menghela nafas berat lalu dengan gontai melangkah pergi. Pada langkah yang kesekian, Andre berbalik ke arah Tami. “Mari kita buktikan apa perasaanku atau perasaanmu yang bertahan lama. Suatu saat, aku pasti akan kembali dan melihatnya,” ucapnya cukup lantang.
“Oke. Ayo kita lihat!” sahut Tami. “Pasti kau yang tak bertahan.” Tami pun bergumam lirih.
Sepeninggal Andre, Tami menangis sepuas-puasnya di toilet kampus. Hatinya rasanya remuk mengingat bahwa dalam waktu dekat kekasihnya akan pergi jauh darinya. Andre akan pulang ke Jepang karena urusan perkuliahannya sudah selesai.


“Dan keesokan harinya kau benar-benar pergi. Sangat jauh...” Tergurat raut muram di wajah Tami. Seketika dia menggeleng cepat. “Tidak! Tami, kau tak boleh sedih! Bukankah Andre sudah kembali sekarang dan ini adalah bukti dari perkataannya dulu? Dia masih mencintaimu. Ayo lanjut melangkah!”
Tami sampai di depan lemari loker yang berderet rapi di sepanjang koridor Fakultas Kedokteran. Tangan berjari lentik itu tak langsung memasukkan kunci ke lubangnya namun malah sibuk menatap seraya tersenyum ke segala penjuru. Kenangannya bersama Andre sungguh indah dan selalu berhasil meletup-letup bahagia jika teringat olehnya. Akan tetapi kerinduan ini, ketidakbertemuan mereka selama lima tahun agak membuat Tami sangsi. Apakah Andre masih seperti dulu?
“Astaga! Surat lagi?” rutuk Tami. Dia menemukan amplop yang sama persis dengan amplop yang tergeletak di kotak pos miliknya. “Aish! Mau apa orang itu?” Dengan cepat dia membukanya dan lagi-lagi menemukan kunci. “109. Kenapa aku jadi merasa dipermainkan ya? Menyebalkan!” Tami terus menggerutu tapi sebenarnya dalam hati dia cukup berdebar penasaran oleh kejutan yang akan muncul nanti.
Tami berjalan tiga langkah ke kiri. Matanya menatap lekat loker bernomor 109. Dulu ini adalah miliknya dan sekarang entah bagaimana, kenapa Andre bisa mengosongkan kedua loker itu? Dia tak habis pikir dengan isi otak Andre.
“Oke, aku buka.” Dia berdoa dalam hati. Berharap bukan hal menjengkelkan atau hanya clue menuju ke tempat lain. Ternyata harapannya meleset. “Lagi-lagi amplop pink!” Tami sudah mulai naik darah, merasa dipermainkan.
Wajahnya nampak cemberut menahan kesal. Matanya hanya menatap amplop pink yang tergeletak di dalam sana. Dalam hatinya, dia tak sabar ingin segera bertemu dengan Andre tapi yang ada malah teka-teki yang dia temui.
Kalau ketemu, mati kau, Ndre! rutuknya dalam batin. Tangan itu akhirnya terulur juga. Seketika terbelalak lah mata itu begitu dia dapati isinya berbeda.
“Kartu Pos?! Aish! Menyebalkan!!! Kalau tak berniat ingin muncul di hadapanku lebih baik tak usah seperti ini! Aku lelah! Ngantuk! Malah dipermainkan!” Tami memekik. Aura amarah itu merasuk dan akhirnya meledak. Dia lempar jauh-jauh kartu pos bergambar gunung, bertuliskan Ungaran Mountaint itu lalu melangkah hendak pulang.
Tep! Tep! Tep!
Suara langkah kaki menghenyakkan jantungnya. Tami pun langsung berbalik. Matanya membulat sempurna dan seketika berkaca-kaca.
“Kau masih sama ya? Galak, tak sabaran dan—”
Suara itu berhenti berucap di saat kedua lengan Tami sudah merengkuh tubuh jangkung itu. “Menyebalkan! Menyebalkan!” Tami memukul-mukul punggung pria yang dipeluknya.
“Hahaha! Kalau ini bukan seperti Tami yang kukenal. Tapi aku suka.” Pria itu terbahak. “Kau pasti sangat merindukanku bukan? Makanya jadi out of character begini. Hahaha!” Lagi-lagi dia tergelak.
“Sial! Aku membencimu!”
“Sama. Aku juga mencintaimu!”
“Aish!” Antara rasa jengkel dan rasa bahagia yang membuncah membuat Tami merasa bingung sendiri sambil mengacak-acak rambut. “Kau!” tunjuk Tami tepat di depan hidung Andre. “Traktir aku makan! Aku lapar!” perintahnya yang langsung mendapatkan gelak tawa dari pemuda berlesung pipit itu.
“Oke! Mari kita berburu warung makan yang buka lewat tengah malam.” Digandengnya tangan Tami dan mereka menyusuri koridor dengan langkah santai.

~o0o~

Saat subuh, Tami bergulat dengan rasa kantuk yang masih saja membuat matanya sayu dan lengket.
Hei mata! Sayang sekali kan kalau matahari terbit yang indah di gunung Ungaran, kita lewatkan begitu saja??? pekik Tami dalam hati berusaha membangungkan semangat yang masih tertidur.
Dia tepuk-tepuk pipinya. Mengumpulkan kesadaran yang masih saja beterbangan di seputarnya. Hingga suara nyaring memecahkan gendang telinga itu berkoar hebat.
“TAMI!!!”
“HEI! Andre! Hentikan suara cemprengmu itu??? aku tidak tuli!” Tami balik berteriak ketus.
“Ck! Itu semua kulakukan agar kau tak mengantuk, Dear...” Suaranya berubah manja. Tangan Andre meraih tangan Tami. Kencang seolah meski badai lewat kedua tautan itu takkan terlepas.
Tami memutar bola mata jengah. “Ya, aku tahu! Ini juga sudah kuusahakan membuka mata,” balas Tami dengan suara malas dan lirih.
Selanjutnya Andre masih saja menggandeng tangan Tami erat seraya membimbingnya berjalan di jalan setapak yang menanjak. Mereka melalui jalanan berbatu-batu ini agar bisa sampai di puncak gunung.
Aish! Harusnya kemarin malam kami membangun tenda saja di puncak jadi tak perlu susah-susah naik lagi di keesokan harinya.
Tami terus menggerutu dalam hari. Memang dia sungguh bahagia dengan kepulangan Andre. Tapi apa-apaan ini? Postcard yang Andre berikan di loker bernomor 109 itu ternyata bertuliskan ajakan untuk naik ke gunung Ungaran. Katanya puncak gunung adalah pos terakhir yang harus Tami tempuh agar mendapatkan kejutan yang sebenarnya dari Andre. Karena itu dengan terpaksa Tami mengiyakannya dan sekarang di sini lah mereka berada, di beberapa ratus meter dari puncak gunung berudara dingin pas saat tahun baru tiba.
“Sampai!” Andre tersenyum senang. Dikepalkannya kedua tangan lalu diangkatnya tinggi-tinggi ke atas sambil menatap hamparan awan gelap di depan sana. “Untung matahari belum terbit.”
“Ya-ya-ya! Untung belum terbit. Kau masih saja kekanakan. Berapa umurmu sekarang, Ndre? Kegiatan ini sudah lama tak kita lakukan, kan? Terakhir itu—”
“Iya yang terakhir itu waktu acara inisiasi untuk anggota baru Mapala, kan? Kau syok berat waktu tragedi bebek terbang itu. Hahaha! Lucu rasanya membayangkan wajahmu yang kayak kepiting rebus. Tapi berkat kenangan hiking di malam tahun baru itu pulalah kita jadi saling mengenal. Yah… walau pertemuan pertama kita itu saat kau kegirangan dengan nomor lokermu sih tapi kenangan di sinilah yang paling berarti. Aku tahu namamu dan menjadi pahlawanmu. Benar, kan?” Andre mengusap-usap kepala Tami namun buru-buru Tami hempaskan.
“Sudahlah! Aku malas mengingatnya. Pulang dari sini kau harus memijit kakiku!” tuntut Tami. Wajahnya cemberut.
“Sure, my Lady. Disuruh menikahimu pun aku mau.” Andre tertawa jahil. “Tapi di acara pernikahan kita nanti jangan ada tragedi bebek terbang lagi ya? Sudah cukup sekali saja celana dalam bergambar bebekmu terekspos saat naik gunung gara-gara celana jeans-mu robek. Hahaha!” Andre makin tergelak keras-keras dan bogem mentah didapatnya di perut. Membuat pemuda ini terbatuk-batuk. “Kejam!”
“Biar! Siapa suruh kau meledekku!” Semburat merah muncul di pipi Tami entah karena marah atau karena malu tak ada yang tahu. Sehingga Tami mengalihkan fokus pandangnya ke arah hamparan awan yang menguning keemasan. Ternyata matahari sudah mulai terbit. Tubuhnya membeku, matanya terpaku pada pemandangan indah di depan sana.
“Indah, kan?” bisik Andre. Kedua lengan itu melingkar kuat di bahu Tami lalu dia sandarkan dagunya ke bahu Tami. “Lebih indah dari yang dulu. Karena hanya ada kita berdua di sini.Hah… Benar-benar perayaan tahun baru yang istimewa.” Senyuman lebar terukir dan dikecupnya singkat pipi Tami.
Tami meremas tangan Andre yang melingkari pinggangnya sembari tersenyum. “Terima kasih, Ndre... Terima kasih kau sudah kembali.” Tami balas berbisik.
“Kalau begitu. Balas semua ini dengan kata ‘ya’? Kau mau?”
Tami mengernyit bingung. Dia tak mengerti maksud Andre. “Maksudnya?”
Andre melepaskan pelukannya lalu menghadapkan tubuh Tami kepadanya. “Balas ‘ya’ ketika aku bertanya, maukah kau menikah denganku?” ucapnya. Mata itu menyorot lekat-lekat manik mata Tami.
Tami mendadak beku. Dia merasa bahwa semua ini tak nyata. Hanyalah sebuah fatamorgana. Ini terlalu indah baginya. Segala kerinduan yang selama ini dia jalani seakan-akan membuatnya berpikir bahwa apa yang dia rasa takkan pernah ada ujung yang bahagia. Perlahan kedua mata bulat itu berkaca-kaca. Tinggal tunggu satu kedipan mata untuk meneteskannya.
“Hei, Tami! Kenapa mendadak kau begini?” Andre mengguncang-guncang bahu Tami karena gadis itu tak bergerak juga.
“Ak-aku...” Mulut Tami seolah direkatkan oleh lem super. Dia ingin berkata dengan lantang bahwa dia mau. Bersedia. Tapi entah mengapa dia malah menjadi orang gagu.
“Ah, ya sudahlah. Diam berarti setuju. Sepulang dari gunung, aku akan melamarmu di hadapan orang tuamu di Pati. Bersiaplah.” Andre menentukan secara sepihak.
“Eh?!” Tami melongo. Matanya membulat lebar.
“Aish! Tak perlu memekik. Ayo kita nikmati saja matahari terbit pertama tahun ini!” Andre kembali memeluk Tami dari belakang. Tersenyum ceria sembari menatap hamparan awan keemasan yang semakin lama semakin terang karena biasan sinar matahari pagi yang menyorot.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar