Kamis, 04 Februari 2016

[Review] Bunga di Atas Batu


Penerbit : Moka Media
Terbit : Juni 2014
Halaman : 129
ISBN : 979-795-842-6
Sinopsis :
Iris yang baik,
Setelah kupertimbangkan masak-masak, beginilah akhirnya cara yang kupilih. Bukan supaya diriku terelak dari duka perpisahan. Ketahuilah, pada huruf-huruf terakhir setiap kata yang kutulis, kesedihan menderaku tanpa ampun bagaikan pesuruh Zeus mendera Prometeus yang malang (bukankah kamu menyukai dongeng-dongeng Yunani?). Kutahankan rasa sakit itu demi hal-hal yang mungkin bisa kujelaskan lebih baik secara tertulis ketimbang dibicarakan langsung. Jika terasa tidak adil, maafkanlah.

Manakala surat ini sampai padamu, telah jauh aku meninggalkan rumah dan “tempat rahasia kita.” Tapi yakinlah, jarak di antara dua manusia bukan melulu perkara terlihat atau tidaknya sosok, terdengar atau tidaknya suara, terasa atau tidaknya sentuhan, terhirup atau tidaknya aroma masing-masing. Selama ini, misalnya, dengan bertemu setiap hari, seberapa dekat sebenarnya hati kita? Seberapa banyak kau mengerti perasaanku atas dirimu dan sebaliknya?

***

Di setiap bab ada quote atau puisi karya beberapa penulis terkenal. Aku suka dengan quote-quote-nya. Membuatku tahu garis besar yang akan dibahas di setiap bab. Ini novel remaja yang diksinya meski di percakapan pakai loe-gue tapi nggak terasa khas remaja yang biasanya santai. Ringan sih, tapi terasa baku seperti novel metropop atau sastra. Walau begitu bisa dinikmati kok.

Cerita berawal dari sebuah pertengkaran. Bukan pertengkaran hero-heroin yang seperti kisah cinta standar yang sering kutemui lho. Iris bertengkar masalah tugas kelompok yang tidak dikerjakan temannya, Cut. Di sini kok aku merasa pertengkarannya berlebihan ya? Semacam kurang konsisten sifatnya Iris. Hal ini kusadari setelah membaca lebih banyak novel ini.

Tokoh utama kita, Iri dan Bara sama-sama kurang kasih sayang orang tua. Makanya mereka menjadi sahabat dekat. Namun Bara sudah menunjukkan perasaan suka sedang Iris belum sadar. Makanya Bara ingin berterus-terang tapi takut bila Iris tidak menyambut maka persahabatan mereka akan putus.

Suatu ketika Bara mendapat kabar bahwa dia mendapat beaasiswa ke Kanada di beberapa waktu kemudian dlia juga kehilangan ibu. Di saat-saat seperti ini Iris justru baru saja jadian dengan pemuda lain, Hilman yang rupanya mendekatinya karena motif balas dendam.

Apakah Iris akan menyadari betapa sayangnya Bara padanya? Silakan baca sendiri. Hanya saja aku agak nggak suka ending-nya yang menggantung. Seolah penulis membiarkan pembaca sendiri yang menerka-nerka dua sejoli yang terpisah negara ini bersatu atau tidak.

Kelebihan novel ini daripada novel teenlit pada umumnya adalah ya itu tadi, penulis menambahkan quote-quote yang menggugah pada setiap awal bab. Dan aku acungi jempol karena aku jadi tahu bahwa penulis pasti suka baca sastra dan suka nonton film karena di sini menyempil beberapa info tentang film-film lawas.

Kekurangannya adalah ceritanya amat simple dan terasa biasa gitu. Endingnya terlalu cepat alurnya padahal awalan hingga pertengahan alusnya sudah pas.

Berikut quote-quote dalam cerita yang aku suka:

"Nggak ada yang lebih tolol daripada manusia yang hanya bertindak dengan emosinya,"--hal. 6

"Kita semua membuat pilihan. Bagian tersulit adalah hidup bersama pilihan itu."--hal. 33

"Tuhan punya banyak cara buat ngajarin kita tentang kehidupan. Tuhan itu maha kreatif, Bro,tinggal kita aja bisa atau nggak ngambil pelajaran dari setiap cobaan-Nya."--hal. 59

"Adakalanya menemani dalam diam lebih baik ketimbang berbicara sebanyak apapun."--hal. 73

"Mata dibalas mata hanya akan bikin seluruh dunia buta."--hal. 83

Terakhir aku beri 3,5 bintang untuk novel ini. Terima kasih sudah mendapatkan novel ini secara free dari Mbak Dyah Rini. Hehehe~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar