Minggu, 30 Oktober 2011

over the rainbow 4

BAB IV
Unacceptable


“Dirga, bangun! Makan dulu.” Aku mendengar suara ibuku namun aku tak berniat membuka mata karena mataku masih merasa lelah untuk terbuka lagi.
“Hm.. Aku nggak makan. Mau tidur aja.” Jawabku lirih.
“nggak boleh, kamu harus temenin ibu makan. Ibu udah capek-capek masak, masak nggak ada yang ngabisin. Besok kalau kayak gini lagi ibu nggak mau masakin lagi.”
Terpaksa aku bangun daripada harus mendengar ibuku mengomel terus, tetap saja tidurku nanti tidak akan tenang.
“Iya…Iya… Aku makan. Tapi aku nggak usah mandi ya?” Aku bangun dengan nyawa-nyawa yang masih belum terkumpul lengkap & wajah yang kusut. Berjalan menuju ruang makan disusul dengan ibu yang berjalan dibelakangku.
“Gimana? Masakan ibu enakkan? Kamu masih suka oseng-oseng kangkungkan? Tapi jangan dihabiskan ya. Supaya pas pulang kerja nanti ayahmu juga bisa makan.” Kupandangi ibuku lalu mengangguk-angguk tanda setuju walaupun sebenarnya tidak begitu. Skarang aku lebih suka fastfood karena lebih praktis ditengah kesibukanku yang kadang kala menjajah hari-hariku. Sedangkan oseng-oseng sudah sangat jarang terjamah sekarang. Ibu pasti tidak tahu itu. Benarkan? Kalau tentang Arya dia pasti tahu semuanya. Ah! Lagi-lagi rasa iriku muncul. Apa rasa iri ini sudah mendarah daging ya? Sampai-sampai apapun selalu kubandingkan dengan Arya. Ingat! dia sudah tiada, setidaknya pikirkanlah kebaikannya sedikit.
“Apa ibu kenal orang yang namanya Odi atau Audrey?” Ternyata saat memikirkan Arya tadi, mendadak aku jadi teringat pada pemain biola itu. Raut mukanya yang begitu sendu masih terngiang-ngiang dimataku.
“Audrey? Dia putri direktur dimana ayahmu bekerja sekaligus teman satu kampus dengan Arya.”
“Teman? Bukan pacarnya?”
“Arya bilang bukan. Tapi dari ekspresinya itu kelihatan banget kalau Arya suka dengan Audrey. Wajahnya terlihat malu-malu saat ibu bertanya tentang Audrey. Karena wajahnya jadi kelihatan lucu, ibu jadi sering menggodanya sampai dia marah.” Ibuku terlihat tersenyum namun sekaligus kembali terlihat bersedih. Kupandangi wajahnya & matanya terlihat berkaca-kaca. Bodohnya aku! Kenapa aku kembali mengingatkannya tentang Arya.
“Eh! Maaf, malah jadi ngelantur. Kenapa kamu bertanya tentang Odi? Kamu kenal dia ya?” Ibuku mengusap-usap matanya yang sedikit basah.
“Aku ketemu dengannya dimakam Arya lalu tadi aku ketemu lagi di Gereja Blenduk. Sikapnya aneh banget.”
“Hm… Aneh? Dia terkejut saat melihatmu lalu pingsan ya? Sepertinya sampai sekarang dia masih merasa bersalah pada Arya..”
“Kok ibu tahu dia pingsan? Merasa bersalah?”
“Ayahmu yang bilang pada ibu. Ayah diberitahu Pak Denis ayahnya Audrey. Pak Denis waktu itu juga terkejut saat melihatmu karena kamu sangat mirip dengan Arya. Makanya Pak Denis tidak bicara apa-apa padamu. Hm… Audrey merasa bersalah karena dia menganggap Arya meninggal karena salahnya. Malam itu Arya ijin sama ibu mau pergi kerumah Audrey karena udah janjian dengannya. Ibu masih ingat ekspresinya, begitu gembira & terlihat ganteng memakai kemeja lengan pendek garis-garis item merah dengan celana jeans item.”
Kupandangi wajah ibu lekat-lekat & mendengarkan ceritanya hingga tak kusadari memakan waktu yang lama. Ternyata Audrey begitu terlihat sedih karena dia merasa bersalah sudah meninggalkan Arya saat motornya mogok. Dia menganggap kalau saja dia tidak membatalkan kencan mereka & mau menunggu sampai motor itu hidup lagi. Pasti Arya tidak akan dirampok diperjalanannya pulang kerumah. Walaupun para perampok itu sudah ditangkap sehari setelah jenasah Arya ditemukan tapi aku masih juga tidak habis pikir kenapa dia rela melawan perampok itu & memilih untuk ngotot mempertahankan motor bobrok itu. Padahal kalau saja dia menyerahkan motor itu tanpa melawan mungkin perampok itu tidak akan membunuhnya. Mungkin dia hanya terluka saja karena menurut pengakuan perampok itu, mereka tidak berniat membunuh korban hanya ingin mengambil motornya saja. Arya! Arya! Kenapa kau begitu bodoh. Padahal kata ibu, ayah mau memberikan motor baru yang jauh lebih bagus dari motor itu. Tapi kenapa kau menolak & masih setia memakai motor itu?

-------^_^------

Kukendarai mobilku dengan rasa kalut. Seolah-olah tak kudengar apapun yang Risma katakan. Saat kulihat laki-laki itu memejamkan mata aku begitu takut. Dimataku aku melihat Alya. Oleh karena itu aku mengguncang bahunya dengan keras tadi. Sekarang pasti dia sedang marah & bingung dengan perlakuanku padanya. Aku jadi merasa bersalah sekarang.
“Hey Odi!” Risma berteriak dengan nada jengkel. Aku menoleh kepadanya dengan tatapan mata kosong. Untuk saat ini aku sedang tidak ingin berkata-kata terutama bicara dengannya. Aku hanya ingin pulang bertemu dengan belahan jiwaku yang lain, biola kesayanganku.
Sesampainya aku dirumah, kumainkan Over The Rainbow. Pipiku untuk kesekian kalinya basah dengan airmata. Kurasakan Alya hadir disini ikut mendengar lagu yang kumainkan.
Kembali teringat saat aku pertama bertemu dengannya di SMU. Tunggu dulu! Lebih tepatnya kenangan yang membuatku terkesan pertama kali. Karena sebelumnya aku juga sudah bertemu beberapa kali hanya saja tidak meninggalkan jejak dimemoriku. Saat itu Alya sedang memainkan keyboardnya diruang musik. Dia bersiap-siap mengiringi teman sekelas berlatih Koor dan aku kembali untuk mengambil barangku yang tertinggal. Kelasku baru saja memakai ruang musik. Waktu itu belum ada teman yang memasuki ruangan, karena jam istirahat. Hanya ada kami berdua.
Aku ingat sekali, aku masuk keruangan itu tanpa berkata apa-apa padanya. Karena kupikir tidak ada gunanya berbasa-basi & mengucapkan salam. Toh, dia masuk ke daftar orang yang tidak kusukai. Aku hanya memasuki ruangan yang pintunya terbuka, mengambil barang milikku lalu berjalan hendak keluar.
“Hei, apa isinya Biola? Aku penasaran sejak tadi dan ingin melihatnya.” Alya menghentikan permainannya lalu memandangku sekilas & beralih ke tas hitam tempat biolaku kuletakkan.
“Hm? Ya!” Lalu aku mlanjutkan langkahku.
“Apa kau bisa memainkannya bersamaku. Bisakah kau memainkan lagu Over The Rainbow?” Alya memandangiku & memberiku senyum yang begitu manis di wajahnya.
“Tidak bisa. Aku sedang ditunggu teman-temanku. Lagipula aku tidak mengenalmu.” Aku berbohong. Sebenarnya aku mengenalnya, sangat baik malah. Anak cerdas diperingkat pertama yang selalu dijadikan contoh oleh para guru & orangtuaku.
“Sebenarnya aku belum pernah mendengar suara biola secara langsung.” Ucapnya polos.
“Apa?! Hahahaha… Kau bercanda ya?” Seketika langkahku terhenti & tawaku meledakku.
“Sungguh belum pernah. Bermainlah bersamaku.” Ucapnya polos. Aku berbalik. Kupandangi wajahnya. Kelihatannya dia tidak bohong. Akhirnya aku setuju untuk bermain 1 lagu dengannya dengan 1 syarat jangan bilang pada siapapun.
Alya! Sebenarnya mulai saat itu aku suka padamu. Makin mengenalmu rasa sukaku semakin besar & berubah menjadi cinta. Bodohnya aku, yang terus mengulur waktu & terlalu gengsi untuk mengakuinya. Padahal kita sudah saling mengenal akrab selama 3 tahun.

-------^_^------

Aku tidak habis pikir, kenapa mendadak dia tersenyum & meminta maaf atas ketidak sopanannya karena telah menggangguku ditaman waktu itu. Apa sekarang kesadarannya sudah kembali? Entahlah! Faktanya sekarang dia ada dihadapanku, diruang tamu rumahku & mengulurkan tangan tanda meminta maaf. Kubalas uluran tangannya dengan tak bersemangat.
“Emm… namamu Dilgakan?” Wanita itu bertanya, akupun mengangguk tanda setuju. Mungkin sekedar ingin memecah keheningan namun niatnya itu tidak berhasil karena suasana masih terasa dingin. Setidaknya bagiku.
“Silakan duduk!” Kamipun duduk berhadapan. Hening suasana diruang tamu untuk beberapa saat.
“Emm… Aku Odi.” Ucap gadis itu sambil menatap mataku & tersenyum kaku. Dia terlihat kikuk saat ini. Akupun mengamati wajahnya, sorot matanya masih sayu. Penuh kesedihan.
“Aku seperti hantu ya?” tanyaku tiba-tiba kepadanya.
“Apa? Ti…tidak!” wajahnya kikuk, terkejut mungkin mendengar pertanyaanku yang konyol ini.
“Lalu kenapa kau lari-lari nggak jelas gitu sewaktu melihatku?”
“Itu…itu karena… emm…” Kupandangi dia. Mungkin dia juga tidak tahu apa yang dilakukannya saat itu.
“Sudahlah tidak usah dijawab. Aku tahu jawabannya.” Selaku.
“Kau tidak mirip dengannya!” Mendadak dia berkomentar dengan suara yang menurutku sedikit keras.
“Apanya yang tidak mirip? Kalau tidak mirip kenapa kau begitu ketakutan saat pertama melihatku. Seperti melihat hantu saja.”
“Kau keras! Sedangkan Alya orang yang lembut. Po..pokoknya kau tidak mirip dengannya!” Wajahnya mulai serius & matanya mulai berkaca-kaca.
“Emm… Aku pulang dulu.” Odi berdiri & beranjak pergi. Dia terlihat begitu emosional. Aku hanya melihatnya pergi dari rumahku tanpa ada keinginan untuk mencegahnya pergi ataupun berkomentar. Aku hanya diam.
“Dasar wanita aneh. Aku keras katanya?! Darimana dia tahu?” Bisikku lirih ketika dia sudah keluar meninggalkan rumah.

-------^_^------

Aku berdiri didepan rumah yang aku sendiri tidak tahu itu rumah siapa. Aku berdiri tegap dengan arah mataku yang terus memandangi rumah itu. Akhirnya aku melihat pintu rumah itu bergerak dan perlahan mulai terbuka. Kupandangi terus pintu itu sambil menunggu siapa yang akan keluar dari pintu itu. Setelah pintu benar-benar terbuka lebar, kulihat seseorang keluar dari sana. Aku terus mngamati siapa yang keluar itu & ternyata orang yang begitu kukenal.
“Alya!” Teriakku. Kuhampiri dia, tangan kurentangkan karena kuingin memeluk dirinya. Hingga akhirnya aku sudah berdiri dihadapannya, kupeluk dia erat-erat & menangis sejadi-jadinya.
“Aku akan membencimu kalau kau terus seperti ini.” Ucapan Alya membuatku kaget. Akupun melepaskan pelukanku darinya & memandangnya lekat-lekat.
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak suka melihatmu seperti ini.”
“…” Aku hanya terdiam.
“Tolong relakan aku pergi.”
“Tidak! Kau tidak boleh pergi!”
“Aku tahu kau mencintaiku. Jadi tidak perlu merasa bersalah karena tidak pernah mengatakannya padaku. Lanjutkanlah hidupmu, maka aku akan bahagia disana.” Alya tersenyum padaku, lalu berbalik kearah rumah itu. Berjalan meninggalkanku.
Aku tidak bisa bergerak dari tempatku berpijak. Hanya bisa memandangnya yang semakin menjauh dengan meneteskan air mata. Ingin rasanya aku berlari menahannya kembali masuk kerumah itu tapi tidak bisa. Ingin juga rasanya berteriak tapi mulutku tercekat.
“ALYAAAAA…” Teriakku sekencang-kencangnya & aku tersadar. Ternyata semua itu hanya mimpi. Aku menangis lagi, hatiku menjadi begitu sakit saat aku terbangun.
“Kau tega! Kau tega sekali meninggalkanku! Aku yang harusnya membencimu.” Kulampiaskan amarahku kepada benda-benda disekitarku. Kulempar mereka semua hingga rasa kesalku hilang. Tapi sepertinya walaupun kuobrak-abrik seluruh ruanganpun rasa sakit ini tidak akan sembuh juga. Apa yang harus kulakukan tanpamu Alya?!

-------^_^------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar