Selasa, 13 September 2011

over the rainbow 3

BAB III
RESPONSIBLE


“Tok! Tok! Tok!” Terdengar suara pintu diketuk dengan lumayan keras.
“Ga… Bangun! Ayo sarapan.” Disusul suara ibu yang memintaku untuk melanjutkan aktifitas yang sebenarnya enggan kulakukan.
Kembali lagi aku terganggu & kali ini aku benar-benar harus beranjak dari tempat tidurku. Saat aku berdiri rasanya kepalaku pusing & badanku lemas ini mungkin efek dari begadangku semalaman.
Kubuka pintu kamarku sedikit, kutengok ibuku yang memandangiku dengan samar-samar. Benar-benar efek begadang yang parah. Mataku rasanya berkunang-kunang.
“Ya, Tuhan Dirga! Kenapa matamu merah begitu. Cepat mandi, sarapan.”
“Kalau aku sarapannya nanti saja boleh? Aku masih ngantuk bu.”
“Eits! Tidak boleh. Ayahmu sudah menunggu dimeja makan tuh.”
“Ya..Ya.. Aku mandi dulu!” Kututup lagi pintu kamarku. Ayah menunggu? Batinku. Kulihat jam yang menempel didinding. Jam menunjukkan pukul 9 kurang sedikit. Aneh! Bukannya kemarin Jam 8 ayah sudah menghilang dari rumah? Ah! Bukan urusanku dia mau berangkat jam berapa. Aku membongkar lemariku & mencari baju untuk kupakai selanjutnya. Setelah itu aku memasuki kamar mandi masih juga dengan tubuh yang lemas.

-------^_^------

Bau harum semerbak terasa diseluruh badanku. Rasanya segar sekali sehabis mandi namun karena semalaman tidak tidur maka kantukpun mulai menyerangku. Kutepis rasa kantuk itu & aku mulai keluar dari kamarku menuju ruang tamu yang ternyata sudah penuh dengan makanan yang beraneka ragam.
“Ibu, kenapa masakannya banyak sekali?”
“O… ini untuk merayakan kepulangan kamu. Maaf ya ngrayainnya telat!” Ibu tersenyum padaku dengan lembut, namun aku tahu masih ada tanda kesedihan diwajahnya.
“Dirga ayo dimakan! Ayah mau yang mana biar ibu ambilkan?”
“Hm!” tangannya menunjuk makanan yang dia inginkan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Kamipun mulai makan tanpa ada perbincangan didalamnya. Suasana yang masih sama seperti kemarin. Sungguh menyebalkan!
“Aku sudah selesai. Terima kasih untuk makanannya.” Aku hendak keluar dari bangkuku & ingin kembali tidur karena aku sangat mengantuk ditambah suasana yang dingin ini membuatku tambah tidak betah berada disini. Namun saat aku berdiri ayah menahanku.
“ Dirga! Ayah mau bicara.” Ayah berbicara tanpa memandangku & tetap fokus pada makanan yang ada didepannya. Sebenarnya mau bicara apa dia?
“Hm!” Aku membalas sikapnya tadi kepada ibu.
“Ayah dengar kamu baru lulus SMU tahun lalu ya?”
“Ya!” Jawabku datar.
“Karena terlalu sibuk manggung bersama band rockmu itu ya?”
“Ya!”
“ Lalu sekarang apa kamu sudah melanjutkan kuliah?”
“Ah pertanyaan apa ini? Sepertinya dia sedang menginterogasi aku.” Batinku.
“Aku tidak perlu kuliah! Aku sibuk.”
“Kau ini sejak dulu benar-benar tidak peduli dengan pendidikanmu. Bagaimana kamu bisa sukses kalau sekolah saja malas. Hah!”
“Memangnya aku belum sukses? Memangnya selama ini ayah yang membiayai hidupku selama beberapa tahun ini. Dulu sewaktu kau mengusirku nenek yang merawatku & sekarang penghasilanku lebih dari cukup untuk diriku sendiri. Apa itu masih belum dibilang sukses?”
“Apa kamu bakal manggung terus keliling-keliling sampai tua? Lagipula lingkungan seperti itu bisa merusak kamu. Paling-paling uang yang kamu hasilkan nanti habis buat foya-foya & hal-hal yang nggak bener.. Sukses itu kamu hidup makmur, berpenghasilan besar & mempunyai pekerjaan yang tetap untuk jaminan hari tua. Kapan kamu bisa berpikir dewasa seperti Arya. Hah!”
“Aku bukan Arya! Aku menyukai apa yang kulakukan sekarang & asal ayah tahu aku nggak pernah melakukan hal-hal yang nggak bener. Untuk masalah hari tua akan kupikirkan nanti. Ayah tidak perlu repot-repot memikirkannya untukku.” Aku berdiri & hendak meninggalkan ruang makan hingga ada kata-kata yang masih mengganjal yang ingin kuungkapkan.
“Oh ya, satu hal lagi. Jangan kau pikir karena Arya meninggal aku dijadikan pengganti Arya. Aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti dia.” Nada suaraku menegang saking emosinya.
“Apa! Dirga! Ayah belum selesai bicara! Dirga!” Tak kuhiraukan suara ayahku. Yang kuinginkan sekarang aku ingin pergi dari suasana penuh amarah ini. Aku sudah tidak berniat untuk kembali tidur. Kembali kumasuki kamarku, kuambil dompetku & bergegas pergi dari rumah ini, setidaknya mencari udara segar diluar sana.

-------^_^------

“ Mau kemana ya?” Ku garuk kepalaku yang tidak gatal ini. Aku bingung mau pergi kemana. Kusadari ternyata aku sudah tidak kenal siapapun disini. Sudah lama aku meninggalkan kota kelahiranku ini & tidak sedikitpun aku memberi kabar ataupun bertegur sapa dengan teman-temanku disini. Kalau sekarang aku tiba-tiba muncul dihadapan mereka pasti mereka terkaget-kaget atau malah memarahiku habis-habisan.
“Eh! Sudah berapa tahun, pasti ada diantara mereka sudah pindah rumah atau berkeluarga?! Huft! Kalau begitu ke Srigunting saja deh! Sudah lama aku nggak nongkrong kesana.” Aku mencoba mengingat-ingat angkot apa yang bisa mengantarku kesana.
Akhirnya sampailah sudah ditempat tujuan, taman Srigunting yang berada tepat disebelah gereja Blenduk. Waktu kecil setiap minggu & hari-hari tertentu aku serta Arya setelah beribadah & mengikuti latihan musik digereja, aku suka bermain sepak bola disitu seharian. Setelah Srigunting menjadi taman & lapangan itu tidak ada lagi, aku masih sering nongkrong dengan teman-teman se-gangku kali ini tanpa Arya. Setelah kami beranjak remaja terlalu banyak perbedaan yang memisahkan kami. Otomatis timbul kesenjangan karena tidak ada kecocokan sedikitpun diantara kami.
Kuamati taman yang tidak begitu luas ini. Gereja Blenduk masih terlihat indah dipandang namun bangunan tua lainnya sudah terlihat lapuk & tidak terawat. Taman kecil itu ternyata ramai juga. Banyak yang berfoto disini. Mungkin kota lama sekarang sudah menjadi tempat wisata atau karena suasana yang begitu adem yang membuat mereka kesini?
Aku berjalan-jalan sebentar hingga aku menemukan tempat yang cocok untukku. Aku duduk ditempat yang kurasa sepi. Dibelakang sebuah pohon besar yang rindang, aku menyandarkan tubuhku lalu kupejamkan mata. Seketika kurasakan pohon meniupku dengan lembut. Terusirlah rasa amarah yang sejak tadi berkumpul penuh sesak didadaku. Leegaa… terasa!
“Ah!” Teriakku kaget. Ada yang mengguncang-guncang pundakku dengan keras. Aku memicingkan mata karena pandanganku kabur sesaat oleh silau matahari. Ku kedipkan mata beberapa kali untuk memastikan yang kulihat itu tidak salah.
Dia yang ada dihadapanku itu bukankah wanita pemain biola yang berada dimakam Arya? Dalam sekejab aku berdiri. Untuk sesaat kami saling memandang tanpa berkata-kata hingga…
“Odi! Disini kau ru…” Ku pandang asal suara yang berteriak itu. Sekali lagi ku lihat pandangan mata yang sama. Pandangan terkejut seperti melihat hantu.
“O…Odi! Dia ini? A…aku nggak salah lihatkan?” Kata-katanya terlihat gugup. Wanita yang berteriak tadi menghampiri pemain biola itu tanpa melepaskan pandangannya padaku. Kami bertiga diam sesaat hingga…
“Bukan!” Jawab pemain biola itu lalu membalikkan badan, meninggalkanku sekali lagi tanpa penjelasan & kali ini dengan sikap acuh seakan-akan tidak menganggapku ada.
Ah! Dia benar-benar merusak suasana santaiku. Jantungku jadi berdegup kencang! Ketika aku sadar & dia sudah berjalan semakin jauh ke arah tempat parkir yang terletak ditengah-tengah antara taman Srigunting dengan Gerja Blenduk. Akupun merasa harus mengejarnya. Aku tidak terima perlakuannya yang mengganggu istirahatku lalu meninggalkanku tanpa memberi penjelasan.
“Hei tunggu! Kau siapa?” Aku berteriak & berlari mengejarnya hingga sampai di tempat parkir. Akhirnya dengan nafas terengah-engah aku berhasil menghadang didepannya. Dia beserta temannya berhenti.
“Kau kenal Aryakan? Siapa kau?” Tanyaku ingin tahu.
“Odi! Dia siapa? Kenapa mirip sekali dengan Arya?” Wanita yang dipanggil Odi itu tidak menghiraukan temannya. dia berjalan dengan cepatnya menuju mobil berwarna biru tua & masuk kedalamnya.
“Hei!!!” Teriakku sekali lagi namun tidak dihiraukannya.
“Maaf atas sikapnya! Dia mungkin terkejut sepertiku. Perkenalkan aku Risma sahabat Odi.” Wanita yang satunya tadi menjelaskan. Akupun menyambut uluran tangannya untuk bersalaman.
“Oh! Aku Dirga.”
“Kau itu…” Belum sempat Risma menyelesaikan kalimatnya.
“Tin! Tin! Tin!” Mobil itu telah memanggilnya tanda sang sopir pemilik tidak sabar ingin segera pergi.
“Maaf! Permisi.”
“Eh! Tunggu.” Kali ini aku tidak bisa mengejar mereka untuk meminta penjelasan. Istirahatkupun tak bisa dilanjutkan karena pikiranku & perasaanku menjadi kacau.

-------^_^------

Aku pulang dengan rasa perih ditangan karena terus-terusan memukul pohon besar ditaman tadi untuk melampiaskan amarah & rasa jengkelku. Saat kulihat, ternyata punggung telapak tanganku sudah mengelupas & berdarah. Walaupun sakit tapi setidaknya bisa membantu meluapkan emosiku.
Kumasuki rumahku dengan hati-hati seperti maling yang mengendap-endap agar penghuni lain tidak menyadari kedatanganku. Rumahku terasa sepi, spertinya para penghuni sedang pergi. Saat hendak kembali kedalam kamarku, kakiku berhenti melangkah didepan pintu kamar Arya. Kubuka pintu itu, ternyata tidak perlu tenaga lebih karena pintu itu tidak terkunci. Kamar yang rapi. Malah sangat rapi & sistematis. Bukunya terlihat begitu banyak berjejeran dirak. Ditata sesuai abjad dari A-Z. Dasar kutu buku! Apa tidak capek membacanya?
Saat kumelihat-lihat kamar Arya, mataku tertahan oleh sebuah kotak brwarna biru tua yang tergeletak diatas monitor computer. Ku raih kotak itu & kubuka. Didalamnya ada beberapa lembar foto. Kulihat foto-foto itu satu per satu. Terdapat foto kami sekeluarga saat aku masih kecil, foto Arya dengan orang-orang yang tidak kukenal mungkin itu teman-temannya & foto seorang wanita yang kukenal wajahnya. Itu adalah foto pemain biola yang tadi ku temui. Mungkin dia adalah pacar Arya. Kukeluarkan isi kotak itu satu-satu hingga sampai akhirnya kulihat ada sebuah amplop putih yang ternyata adalah surat dariku untuknya. Ku kirim kepadanya sudah cukup lama berbarengan dengan motor yang ku berikan kepadanya. Aku masih ingat apa yang tertulis didalamnya. Tentang keberhasilan yang kusombongkan & darimana asal uang yang kudapat untuk kubelikan padanya sebuah motor pengganti. Arya, sifat sentimentilmu itu ternyata belum hilang juga. Sekali lagi aku terkaget oleh suara teriakan seseorang yang memintaku untuk mengangkat telepon. Ternyata suara teriakan itu berasal dari HPku sendiri.
“Ya bro, ada apa?”
“Kapan loe pulang? Ada tawaran manggung ni tapi di Semarang. Kan mumpung loe sekarang, juga lagi di Semarangkan?”
“Hey! Akukan baru 2 hari disini & disini masih dalam suasana berkabung. Lagian kamukan,”
“Hmm… Gue nggak maho bro!” Protes oncom langsung menyela, drummer band sekaligus orang yang mengatur jadwal manggung Trikadeika Phobia. band indie yang kami bentuk bersama. Dia emang nggak suka kalau ngomong pakai “Aku & Kamu” kecuali dengan pacarnya.
“Ya, iya Anak Jakarta! Gue kan udah pernah bilang kalau gue nggak mau manggung di Semarang. Manggung dikampung halaman sendiri? Wah aku bener-bener nggak siap nih!” Emang aku selalu menolak kalau ada tawaran show disini karena sebenarnya aku males pulang.
“Wah bro! Padahal honornya gede loh & itu event besar. Kita bisa live bareng band-band terkenal lain. Itukan bisa naikkin popularitas band kita bro. Anak-anak udah pada setuju. Seminggu lagi kita semua bakal ke Semarang jadi loe nggak perlu buru-buru pulang.”
“Kalian udah nerima kontrak itu? Nggak fear ni. Kalian kan belum nanya gue setuju atau nggak?”
“Kita-kita sih emang udah setuju bro, tapi belum tanda tangan kontrak. kita tau kalau loe bakal nolak manggung di Semarang. Makanya setelah ngasih tau loe baru kita-kita nerima kontrak itu. Loe kudu mau, soalnya suara terbanyaklah yang menang.”
“Okey! Terserah kalian. Pasti yang nggak setuju Cuma gue doank kan?!” Jawabku pasrah. Selang beberapa menit kemudian dia menutup teleponnya.
Rasa kantukku kembali lagi. Karena sudah tersedia kasur empuk didalam kamar Arya, aku memutuskan untuk terlelap saja disitu. Menunggu pagi datang lagi atau menunggu ibuku memanggilku untuk makan malam.
“Arya! Aku numpang tidur disini bolehkan?” Aku tahu dia sudah tidak dapat menjawabku lagi. Yah! Setidaknya kalau memang benar manusia punya roh pasti dia masih berada disini, karena tempat ini masih daerah kekuasaan Arya.
Apa-apaan aku ini. Membahas tentang roh segala! Membuatku merinding saja.
“Sudah-sudah jangan berpikir yang tidak-tidak. Tidur saja sana!” Lagi-lagi aku ngomong sendiri. Kupukul-pukul kepalaku karena kebodohanku ini.

-------^_^------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar