Rabu, 29 Januari 2014

[Short Story Reading Challenge] BH




Judul : BH
Penulis : Emha Ainun Najib
Penyunting : Kenedi Nurhan
Penerbit : Kompas
Terbit : Jakarta, Januari 2005
Halaman : x + 246 hlm
Ukuran : 14 cm x 21 cm

Sinopsis :
“LELAKI pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiri dan lelaki yang mencampakkanku ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri, dan untuk perempuan yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi melihat hal-hal yang baik dalam hidup ini, maka lelaki kedua hanyalah saluran menuju lelaki ketiga, keempat, kesepuluh, keempat puluh, keseratus, ketujuh ratus…”
• Lelaki ke-1000 di Ranjangku
DALAM dunia penulisan cerita pendek atawa cerpen, nama Emha Ainun Najib memang jarang terdengar. Itu karena di bidang ini Emha tak begitu produktif, tidak seperti halnya ia menulis esai dan member ceramah. Cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku kumpulan ini, BH, bahkan tercatat hanya berasal dari rentang masa 1977-1982. Tentu saja ini gejala menarik. Namun lepas dari semua, tak kalah menariknya adalah mengikuti bagaimana Emha bercerita lewat cerpen-cerpennya dengan cara membaca langsung karya-karya yang terhimpun dalam kumpulan ini.
~o0o~

Ada 23 cerpen di dalam buku yang diberi judul sampul ‘BH’ ini. Awalnya agak heran. Biasanya setiap antologi yang aku baca pasti judulnya kebanyakan diberi judul dari cerpen yang terdepan, tapi ini lain. ‘BH’ adalah cerpen dengan nomor urut 18. Nomor yang hampir terakhir. Membuatku bertanya-tanya kenapa bapak Emha Ainun Najib atau pihak redaksi Kompas memberikan buku ini judul ‘BH’. Sehabis membaca keseluruhan cerpen aku baru mengerti kenapa kumcer ini diberi judul BH. Singkatnya begini, bukankah BH atau sering kita sebut Bra itu identik dengan barang milik perempuan? Dalemannya perempuan, benda yang bersifat pribadi? Nah, dari sekian banyak cerpen yang kubaca aku menemukan semuanya berpusat pada wanita—dan waria—dan mengupas tentang kisi-kisi kehidupan makhluk Tuhan yang disebut perempuan ini.

Buku ini ditemukan adikku di perpustakaan wilayah dan awalnya aku agak tidak berminat untuk ikut membaca karena selera bacaan kami berbeda. Aku lebih ke bacaan ringan yang tak terlalu ‘nyastra’ dan ‘berat’ dengan bahasa yang belibet seperti seleranya. Namun sehabis membaca buku ini persepsiku langsung berubah. Saat iseng-iseng kubuka, yang awalnya kukira cerpen dengan diksi yang berat dan cerita yang harus bikin dahi berkerut, eh… ternyata saat kubaca tak terlalu bikin otak puyeng. Cak Nun—panggilan populernya begitu kalau ada yang kurang tahu—menuliskannya dengan bahasa yang ringan dan dengan isi cerita yang dalam kehidupan sehari-hari di sekeliling kita ini sering kita jumpai—tapi pasti tak begitu kita perhatikan. Contohnya di cerpen pertama yang berjudul, ‘Lelaki Ke-1000 di Ranjangku’. Di situ dengan penulisan yang menggunakan sudut pandang aku, Cak Nun membuat pembacanya merasa menjadi sang tokoh utama. Cerita ini menyuruh pembaca untuk memahami perasaan seorang pelacur. Kehidupannya dan latar belakang kenapa dia melakukan pekerjaan haram itu. Kejenuhannya dalam hidupnya namun masih tetap tak menyerah menjalaninya. Membuat kita makin merasa bahwa terkadang keegoisan dan sikap tak mau mendengarkan pendapat orang lain—khususnya orang tua—dapat menjerumuskan kehidupan kita karena kita tetap ngeyel memilih jalan yang salah.

Karena banyaknya cerpen di dalam buku ini aku kupas cerpen yang berjudul, ‘BH’ ya? Ceritanya cukup sederhana. Seorang Santri yang bersahabat dengan Niken, seorang waria yang selalu mendapatkan cerca. Awalnya aku tak menyangka kalau sosok Niken yang diceritakan oleh Santri tersebut adalah seorang waria. Di awal cerita si ‘aku’ ini membuat pembaca berpikiran negative tentang dia. Tentu saja berpikiran negative soalnya dia berada di kamar si cewek—Niken—ini berdua saja dan si Niken juga tengah ganti baju. Namun makin ke tengah makin terjelaskan alasan seorang Santri itu dekat dengan Niken meski dia juga ikut mendapat cemooh dari orang-orang sekitar. Karena latar belakangnya sebagai seorang Santri yang tak pantas dekat seorang seperti Niken yang pasti dianggap ‘buruk’ dan dipandang sebelah mata.

Sebagian besar cerpen ini menggunakan sudut pandang orang pertama. Di dalamnya terdapat bermacam-macam cerita dan setting. Mulai dari jaman pewayangan macam Pandawa dan Kurawa, mengangkat cerita tentang Pelacur, Penjudi, Waria, seorang Borjuis yang suka berpesta, Pegawai kantoran dan lain sebagainya. Cak Nun menuliskannya dengan gaya yang terasa sekali cita rasa Indonesianya dan tentunya menganggung nilai-nilai kemanusiaan. Buku yang sangat direkomendasikan.

2 komentar:

  1. karya Cak Nun ya? aku juga sempet ngira kalau novel karya Okky madasari bakal berat, ternyata bacanya sangat enjoyable. Jadi pengen baca juga nih, karena mengangkat kisah orang2 yg terbuang dari masyarakat krn pekerjaan mereka.

    BalasHapus