Sabtu, 22 Juni 2013

Dongeng Salah Kaprah


Alkisah hiduplah 4 bersaudara di sebuah desa terpencil jauh dari kota besar. Meski mereka bukan saudara kandung namun mereka selalu hidup rukun, damai dan aman sentosa. Em... Bo’ong ding! Silakan dilihat saja kenyataan ini.

“Mpok! Kalau nyuci yang bersih dong! Bekas ingus gue di rok masih ada nih!” teriak Riana yang biasa dipanggil Dede—karena anak paling bontot.

“Mika!!! Apa-apaan nih? Kenapa lantainya masih ada debu? Cepet pel lagi! Lu kan tau, gue alergi debu!” protes si sulung Dethy.

“Emak! Mika bikin rok gue gosong kena setrikaan kelewat lama. Padahal gue belinya jauh-jauh ampe Grogol.” Si nomer 2 yang bernama Risma mengadu pada Emak yang lagi sibuk mantengin bapak-bapak di seberang jalan pada teriak-teriak heboh nyemangatin ayam jado yang diadu.

“Terus? Masalah buat gue?” sahut Emak. “Mika! Bilangin ke bandar kalau Emak masang taruhan buat si Jalu!” si Emak ikutan nyuruh-nyuruh.

Yang dipanggili sejak tadi nggak nyahutin. Alhasil semua pada heran. Mereka berempat yang tadinya rempong ngomel-ngomel sama nyuruh-nyuruh ini itu beralih nyari’in di mana Mika dan ternyata... Eng! Ing! Eng! Mika lagi molor di kolong kasur, Pemirsa.
Ngumpet di sono ampe ketiduran. Dasar Mika!

“Woy! Bangun, Woy! Kerjaan lu masih banyak!” Dengan sadisnya Emak nyodok-nyodok Mika yang sedang mendengkur pakai sapu ijuk.

Mika pun bangun dengan rasa sakit yang amat sangat karena sapu itu kena tepat di jidat serta bagian tubuhnya yang lain.

“EMAK! SAKIT! Hiks! Tega niannya caramu, membangunkan diriku,” keluh Mika. Selanjutnya malah nyanyi lagunya Afgan pake acara
ngeganti liriknya.

“Diem! Suara lu tuh cempreng! Malu tau ama cicak!” Ucapan pedes nggak pake cabe terlontar dari mulut Dethy. Dia berkacak pinggang sambil melotot.

“Mpok, lu cuci rok gue lagi.”

“Trus, lu pel lantainya lagi ampe bikin semut kepleset.”

“Lu tambal rok gue yang bolong kena setrika.”

“Kalau itu, nggak bisa. Kan Emak nggak pernah ngasih duit.” Mika membela diri sambil lirik emak yang udah ngacir, lanjut liat ayam jago lagi tarung.

“Gue tau lu nggak gablek duit, makanya gue suruh lu nembel bukan ganti, Budek! Cepet kerjain!” ujar Risma lalu nyusulin emak keluar dari kamar Mika.

“Awas lu! Kalau kagak dikerjain,” ancam Dethy dan Dede kompak. Mereka berdua mengamit lengan Mika di dua sisi dan menyeretnya keluar kamar.

***

Beberapa hari kemudian, ketika Mika belanja di pasar membeli bahan makanan. Matanya tertarik pada kerumunan orang yang mantengin sesuatu. Karena rasa penasarannya yang kelewat tinggi dia ikut menyeruak masuk. Sungguh sulit ternyata bisa melihat hal yang membuatnya penasaran.

“Mpok, ada apa sih?” tanya Mika pada wanita yang ada di depannya.

“Ada sayembara,” jawabnya.

“Sayembara apa?”

“Kagak tau, aye cuman bisa baca tulisan yang gede doang. Kalau tulisan kecil-kecil di bawahnya kagak kebaca, Nak,” ujar si Mpok pake logat Betawian yang sangat fasih. Ternyata matanya rabun.

Mika sungguh penasaran dengan apa isi sayembara itu tapi karena tubuh kecil kurang gizinya tak dapat menjangkau papan pengumuman itu, dia pun menyerah dan mundur. Terlebih lagi saat dia teringat betapa buasnya ketiga saudari serta emaknya saat mereka kelaparan. Sehingga membuatnya bergidik ngeri dan melanjutkan acara belanjanya di pasar tradisional terdekat.

Mika pun pulang dengan membawa sekeranjang belanjaan dan kantong kain warna merah yang berisi uang receh. Kok uang receh? Ada yang penasaran? Yak, ternyata Mika hobi korupsi kecil-kecilan, Pemirsa. Selama ini Mika selalu menyimpan uang receh kembalian dari hasil belanja ke kantong yang dia jahit sendiri sisa kain perca punya Emak lalu dia simpan di suatu tempat. Maklumlah emaknya yang kejam itu tak pernah memberinya uang. Hanya makan dan tempat tinggal saja yang didapatkan sejak dia dipungut Emak.

Saat sedang asyik-asyiknya melenggang pulang ke rumah. Mendadak terdengar suara gaduh di belakang sana.

Drap! Drap! Drap! Suara deru langkah segerombolan orang berlari. “Aden! Berhenti!” teriak salah satu pelari. 4 orang
berlari-lari bak pelari maraton mengejar-ngejar seorang laki-laki bertubuh tinggi, putih plus ganteng.

Mika yang melihat kejadian itu hanya meminggirkan posisinya kepinggiran jalan seolah-olah mempersilakan mereka kejar-kejaran tanpa halangan. Mika terkesima dengan kegantengan laki-laki tadi.

Beberapa menit kemudian, sehabis belanja. Mika selalu mampir di sebuah pohon besar yang banyak dijauhi orang karena konon katanya banyak Demit bergentayangan di situ. Namun tidak bagi Mika. Dia sudah anggap pohon itu adalah tempat persembunyian yang aman bagi uang recehnya. Lantaran kalau di rumah takut ketahuan orang rumah.

“Hei! Sedang apa kau di situ?” tanya Mika ketika melihat seseorang duduk-duduk di salah satu dahan pohon yang besar dan rimbun oleh dedauan. Untung mata Mika peka kalau tidak tuh orang sudah dikira monyet atau setan nangkring.

“Menghitung jumlah daun,” jawabnya tanpa mengindahkan pandangannya dari langit. Dia masih tak menoleh ke belakang di mana Mika berada.

Busyet! Kurang kerjaan amat ngitung daun? Tapi kalau dia masih nangkring di situ bagaimana gue bisa nyimpan duit? batin Mika.

“Apa lu tahu kalau pohon itu banyak ulernya?” Mika mulai berkata.

“Eh? Uler?” Dia diam sesaat lalu, “Hyaaa! Uler! Jijik! Eh-eh,” Dia sontak kaget dan bergerak ketakutan. Alhasil keseimbangannya goyah dan...

“Awas!” Mika terkejut lalu refleks berlari menolongnya.

“AUW!!!”

Setelah itu hening sesaat.

Laki-laki yang nangkring di pohon tadi mengerjap-ngerjapkan matanya. Merasa keheranan dengan kondisinya sekarang. “Eh? Kok jatuhnya empuk? Tanah itu empuk ya?” Dia mulai bersuara. Saat dia sadar akan ketidakberesan tanah yang ada di bawah pantatnya, dia pun melihat ke sesuatu yang dia duduki. “Hyaaa! Siapa ini? Hei, Nona bangun! Hei!” Cepat-cepat dia memindahkan pantatnya dari punggung Mika dan mengguncang-guncang tubuh tak berdaya itu agar sadar kembali.

“AUW!” Mika mengerang saat tubuhnya mulai mencoba digerakkan. “Punggung gue! AUW!” keluh Mika masih dengan posisi tengkurap.

“Hei, kau tidak apa-apa?”

“Lu nggak denger—” Mika mendadak diam ketika melihat wajah oknum yang membuat punggungnya encok. Dia tertegun melihat
ketampanannya tapi merasa familiar oleh wajah itu.

“Apa? Punggungmu patah tulang? Sini-sini aku lihat.” Laki-laki tampan berambut kecoklatan dengan penampilan modis itu hendak membuka baju Mika yang masih saja tengkurap tak berpindah tempat dan melihat kondisi punggung Mika.

Duaggg!

Kaki Mika berhasil menendang laki-laki itu meski wajahnya meringis karena punggungnya sakit lagi. “Kyaaa! Apa-apaan lu dasar mesum!”

“Aduh! Aku kan hanya ingin melihat kondisimu!”

“Kalau pakai acara buka baju segala, mending nggak usah! Pergi sana! Das—AUW!” Mika yang hendak bangun kembali merasa kesakitan.

Dengan sigap laki-laki itu memapah dan membantu Mika bangun.

Mika terkesiap ketika memandang wajah laki-laki itu dari jarak dekat. Gantengnya… Menyilaukan… batinnya. Jantungnya dag dig dug jeduk Jeduk!

“Iya, aku tahu kalau aku tampan tapi kau tak perlu menatapku seperti itu,” ucapnya ke-pede-an.

“Cih! Dasar narsis,” dengus Mika lalu, “WAHHH!!! Recehanku!!!” pekiknya ketika mata bulat itu menangkap fenomena uang receh bertebaran di tanah. Disingkirkannya papahan si lelaki ganteng karena dia mau cepat-cepat menyelamatkan tabungannya sebelum dipatok burung. Tapi...

Brukkk!

“AUW!” Dia kembali tengkurap di tanah. Punggungnya benar-benar sakit sehingga dia tak mampu membungkuk dan memunguti recehannya.

“Gyahahaha~ Makanya jangan sok kuat. Dipapah nggak mau! Cuman recehan jatuh aja sampai segitunya sih? Ckckck~” Si lelaki ganteng tertawa melihat kelakuan nista Mika.

“Diam lu!”

Duaggg!

Lagi-lagi Mika menendangnya tapi dengan gesit laki-laki itu menghindarkan kakinya dari tendangan Mika.

“Meleset,” ujarnya mantap.

Mika hanya mendengus kesal dengan muka masih menahan sakit punggung.

Tak berapa lama setelah lelaki itu memunguti recehan demi recehan yang menyebat di tanah. Dia akhirnya menjejeri Mika yang duduk bak patung dengan punggung menyender di pohon Pete.

“Nih, uangmu.” Dia menyodorkan kantong merah isi receh pada Mika.

“Makasih.” Mika tersenyum. Dia senang, ternyata orang yang duduk di sampingnya tak hanya wajahnya yang tampan tapi hatinya
juga baik.

Tunggu! Kalau dia bukan Kriminal terus ngapain tadi dia diuber-uber orang-orang berbadan gede itu? Kayak buronan saja, batin Mika keheranan.

“Nama lu Aden ya?” Mika membuka obrolan.

Lelaki itu mengernyit lalu menggeleng kepala. “Sok tau.”

“Terus kenapa tadi orang-orang yang ngejar-ngejar elu manggil Aden? Lu punya utang terus dikejar Depkolektor ya? Dari mukamu sih bakal laku dijual tuh buat bayar utang.” Mika mantengin muka lelaki itu lekat-lekat. Dalam hati masih saja terkagum-kagum dengan kegantengannya.

“Enak aja! Keluargaku kaya, jadi nggak mungkin aku punya utang.” Dia mencak-mencak Tapi setelah sadar bahwa dia kelepasan bicara dia kembali duduk tenang. “Lupakan kata-kataku tadi,” Lanjutnya.

“Mencurigakan...” gumam Mika. Tak berapa lama Mika menepuk jidat. “Ah! Lupa. Gue harus buru-buru pulang. Kalau nggak cepet-cepet masak bisa kena sodok sapu ijuk lagi sama Emak.” Mika mencoba berdiri tapi lagi-lagi dia terduduk karena punggung kembali merasakan kesakitan luar biasa.

Sigap, lelaki itu langsung menopangnya yang hampir ambruk. “Sakit banget ya?” Pertanyaannya mengindikasikan bahwa dia merasa
bersalah.

“Ya iyalah! Masa gue pura-pura?!” Mika sewot. “Lu tanggung jawab! Anterin gue pulang!” perintah Mika.

“Oke. Oke Aku antar. Rumahmu di mana memangnya?”

“Noh, Dusun Cilembu,” jawab Mika seraya telunjuknya mengacung ke arah jalanan di depan sana.

***

Di rumah Juragan Kelapa Sawit, Antares…

“Suamiku… Hiks! Anak kita kapan pulangnya, Suamiku?” Nyonya Antares lari tergopoh-gopoh menyongsong suaminya yang baru
nyeramahin anak buah yang sudah gagal nangkep anaknya yang kabur.

“Tidak tahu, istriku. Kita serahkan saja pada Tuhan,” jawabnya bijak.

“Hiks! Anakku, Chokro. Bagaimana kabarmu di sana, Nak…”

“Tenanglah, istriku. Dia pasti baik-baik saja. Toh, dia kabur juga bawa bekal emas sekilo ama segepok duit. Pastinya baik-baik saja lah,” ucapnya tenang.

“Suamiku! Kenapa bisa tenang begitu? Hiks! Ini anak kita bukan anak tetangga?! Hiks! Kalau diculik gimana? Kalau dirampok gimana? Hiks! Kau ini nggak ada khawatir-khawatirnya sih! Srooottt!” cerocos Nyonya Antares seraya buang ingus. “Ini semua salahmu juga sih. Kenapa harus maksa Chokro buat nikah sama putri Bupati Suryo? Tuh! Dia jadi kabur, kan?” Nyonya Antares pun ngambek dan pergi meninggalkan Tuan Antares yang masih berdiri sambil mangap gegara sapu tangan bekas ingus yang dipakai istrinya diletakkan seenaknya di telapak tangannya yang suci tak bernoda.

***

Malam ini Mika selalu terbayang-bayang dengan laki-laki misterius terganteng yang pernah ditemuinya yang mengaku bernama
Chokro. Padahal seraya berjalan pulang, Mika dan dia sudah ngobrol ngalor ngidul sampai cerita tentang statusnya sebagai anak pungut yang tersia-sia.

“KYAAA!!! Andai jodohku Putra dari Saudagar Antares yang kekayaannya nyaingin Sultan Jogja, pasti aku akan hidup makmur,
bahagia dan aman sejahtera.” Celotehan Dethy yang sedang asyik mengobrol dengan Risma dan Dede membuat Mika terbuyarkan dari lamunannya akan laki-laki tadi.

Mika yang sedang termehek-mehek mengiris bawang menghentikan aktifitasnya dan mencoba menguping. Entah kenapa topik itu membuatnya tertarik. Apalagi ketika Dethy, Risma dan Dede menyebut tentang Sayembara pencarian Putra Juragan Antares. Dia jadi teringat dengan Sayembara yang ditulis di papan Pengumuman di pasar.

“Jiah! Tapi sayangnya hadiahnya hanya imbalan uang bukan tuh lelaki kece bin tajir. Harusnya kayak di dongeng-dongeng dong.

Bagi yang menemukan tuh orang kalo perempuan dijadiin menantu kalo laki-laki diangkat anak. Nggak rugi juga kan dapet menantu cakep kayak aku?” terang Dethy ngarep pake narsis.

“Tul, Mpok! Si Chokro udah gue incer sejak lama. Kan dia itu senior di Padepokan Pencak Silat yang baru gue ikutin. Padahal gue udah luluran mahal-mahal, beli make up sama pakai baju-baju sekseh tiap ke Padepokan bermodal isi celengan Jago biar suatu hari gue bisa dilirik dia. Eh… Dia malah nggak nongol lagi gegara kabur dari rumah. Elu juga udah capek-capek tiap hari sok baik ngeboncengin gue pake sepeda kebo punya almarhum Babe, biar bisa ngelirik tuh orang, kan?” tanya Risma sambil lirik si bungsu Dede.

“Ho’oh! Sialnya napa lu nggak bilang kalau Chokro lama nggak masuk?!” sembur Dede dengan mode suara ngamuk.

Risma terkekeh. “ Lumayan, Dek. Gue nggak perlu jalan kaki ke Padepokan.”

“Hei! Mika! Kok diem?! Ayo iris lagi!” suruh emaknya yang barusan datang ke dapur di mana dia berada.

“Iya, Mak.” Mika kembali berkutat pada bawang yang diirisnya sambil sesekali mengusap matanya yang perih. Jadi sayembara di
Pasar tadi itu adalah pencarian anak Juragan Antares?Dan anak Juragan itu namanya Chokro? Kok sama kayak nama orang tadi? Jangan-jangan...

***

Sehari berselang setelah Mika yang kena sial—atau beruntung—ketimpa laki-laki ganteng jatuh dari pohon. Seperti biasa emaknya kembali nyuruh dia belanja. Ketika dia pulang dan melewati pohon keramat sambil bersiul, langkahnya berhenti mendadak melihat sosok item-item duduk selonjoran sambil senderan di batang pohon.

“Eh? Itu kan si Chokro?” gumam Mika. “Woy!” teriaknya. Sengaja dia menjaga jarak dari Chokro agar nggak ketiban sial. Udah cukup dia sakit pinggang kayak nenek-nenek kena osteoporosis gara-gara ditimpa tubuh jangkung yang beratnya minta ampun.

Si Chokro mendongak. Dilepasnya topi item yang bertengger menutupi wajahnya sewaktu tadi tidur. Wajahnya senyum-senyum kayak abis menang lotre waktu liat mukanya Mika.

“Hai!” sapanya ramah.

Senyuman laki-laki itu membuat Mika mendadak speechless, kaku dan terpana. Senyumnya manis banget. Kira-kira itu yang dibatinin Mika.

“Apa kau sudah sembuh, Mika?”

“Apanya yang sudah sembuh?”

“Punggungmu.” Dia menunjuk-nunjuk pinggang Mika.

“Sudah kok.” Mika mengangguk sambil tersipu. Laki-laki yang sudah menyita sebagian besar pikirannya ternyata datang ke sini hanya untuk bertemu dengannya. Mimpi apa aku semalam?


“Nah, berarti bener dugaan gue semalem. Lu anak yang kabur itu, kan?” tebak Mika dan langsung membuat Chokro terbelalak matanya.

“Kok tau?”

“Iyalah. Masak lu nggak liat pengumuman sayembara yang banyak nempel di di mana-mana? Lu juga nggak nyadarkah kalau banyak orang yang nyariin lu gegara imbalan yang dikasih Juragan Antares gede,” kata Mika, cerita panjang lebar. Sebelum Chokro kabur,
Mika lanjut ngomong. “Nggak usah takut. Gue nggak bakal ngadu soal lu kok, meski gue suka ngeliat duit sih. Lu kabur pasti
punya alesan. Bener nggak?” Mika tersenyum dan seketika membuat hati Chokro sejuk bak ditiup-tiup angin.

“Makasih.” Chokro balas tersenyum. “Aku hanya nggak mau dijodohin. Aku pengen nentuin siapa istriku nanti. Cuma itu, tapi sepertinya Bapak nggak mau mendengar.”

“O... Begitu...” Mika mengusap-usap punggung Chokro yang mulai menampakkan raut wajah sendu. “Yang sabar ya? Pasti bapakmu suatu saat mau nerima pendapatmu. Tapi kayaknya kalau lu kabur begini kasihan orang tuamu, kan? Mereka pasti khawatir, anaknya nggak pulang-pulang.”

***

Mika berlari kesetanan ketika perjalanan santainya yang diselingi cengiran bahagia berhenti saat dia melihat hiruk pikuk rumahnya di kejauhan.

“Loh? Loh? Emak! Mpok! Kenapa ini? Kok barang-barang kita dilempar keluar rumah sih?” tanyanya heran dan bingung. Tak ada sahutan dari ke empat orang yang kini sedang menangis histeris.

“Emak lu udah nunggak utang banyak! Sekarang udah jatuh tempo. Jadi rumah ini disita.” Laki-laki berotot dan bertubuh gede lah yang malah menjawab pertanyaan Mika.

Mika melongo. Dihampirinya lah Emak serta mpok-mpoknya dan Dede yang pada mewek di pojokan. “Terus kita tinggal di mana Mak? Mpok?” Mika ikutan meluk-meluk tubuh keluarganya tapi dengan tega Risma mendorong Mika hingga jatuh.

“Au ah! Lap!” sahutnya sengak.

***

Di halaman rumah Juragan Kelapa Sawit, Antares. Nampak seseorang yang terus meronta dan sedang dicengkeram kuat kedua lengannya oleh orang-orang bertubuh gede. Dia sepertinya menolak mentah-mentah masuk ke rumah besar di mana bahan bangunannya didominasi oleh kayu tersebut.

“Lepas nggak?! Tanganku sakit tau!” teriaknya masih dengan tubuh yang berusaha lepas dari cengkeraman 2 orang itu.

“Chokro!” Teriakan penuh haru terdengar begitu seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumahnya. “Akhirnya kau pulang juga, Nak.” Sang ibu langsung memeluk anaknya kencang seiring dengan dilepaskannya cengeraman 2 orang tadi pada lengan Chokro.

“Kalau nggak ketangkap aku juga nggak mau pulang, Bu.”

“Kok gitu sih, Nak? Padahal ibu sedih banget kamu nggak pulang-pulang.”

“Habisnya Ibu nggak bantuin nolak waktu Bapak ngejodohin aku dengan anaknya pak Suryo.”

“Sekarang ibu sadar kok. Asal kamu nggak kabur lagi. Ibu akan bujuk Bapak buat nggak jodohin kamu. Cinta memang nggak bisa dipaksain,” ucap sang Ibu sembari menggiring anaknya masuk ke dalam.

***

“Wah... Kamu yang lunasin hutang Emak dan bikin kita semua bisa balik lagi ke rumah? Hebat kamu Mika!” teriak emaknya girang setelah dia sampai di muka pintu rumahnya. Setelah itu Emaknya sibuk memeluk ketiga putri kandungnya. Karena takut disemplak lagi kayak dulu, Mika cuma menatap dengan senyum masam pemandangan menggembirakan di depan sana.

Maaf, Chok. Ini demi keluargaku. Gue butuhk uang imbalan itu. Gue harap lu di sana baik-baik saja dan tak lagi dipaksa menikahi orang yang nggak lu sukai. Gue janji, suatu saat gue bakal mengembalikan uang ini sama lu, Chok. Gue sumpah. Mika membatin
miris tanpa sadar matanya berkaca-kaca.

***

Mika sejak menolong melunasi hutang emaknya, kini keadaannya sedikit membaik. Emaknya tak lagi bersikap semena-mena. Meski saudara-saudara tirinya masih suka nyuruh-nyuruh tapi tak lagi seburuk dulu. Jika sikap mereka kembali kelewatan, emaknya sering membelanya. Tapi segalanya tak lagi sama. Di dalam hati Mika serasa ada yang hilang. Dia tak lagi merasa bahagia. Rasa bersalahnya pada Chokro dan perasaan lain yang menyempil dan bertumbuh perlahan membuat Mika lebih merasa tersiksa ketimbang perlakukan emak dan saudara-saudara tirinya dulu.

Chokro pun juga begitu. Tak ubahnya mayat hidup, dia sering terlihat melamun atau marah-marah sendiri di depan kaca. Dia merasa terkhianati karena Mika yang dipercayanya sepenuh hati rela menukarnya dengan uang imbalan.

Keadaan Chokro yang sekarang membuat kedua orang tuanya khawatir. Tuan Antares sampai kebingungan harus bagaimana padahal dia sudah mencabut perjodohan itu tapi masih saja Chokro tak seceria dulu. Lalu tercetuslah ide untuk mengadakan pesta tepat di hari ulang tahun Chokro. Penduduk di desa Srigunting, khususnya gadis-gadis belia yang cantik-cantik diundang agar Chokro tak murung lagi. Mungkin saja di pesta itu dia bertemu dengan gadis yang disukainya.

Pesta berlangsung meriah. Gadis-gadis cantik bertebaran di mana-mana. Tapi Chokro tak menampakkan minatnya padahal sang Ayah sudah mengenalkan banyak gadis padanya. Hingga suatu ketika matanya tertumbuk pada 4 orang gadis yang baru datang dan memasuki halaman rumahnya yang dihiasi banyak obor-obor dan makanan yang berjajaran di meja-meja panjang.

“Mika?” Chokro memekik tertahan. Sesaat mata kedua insan yang saling merindukan itu bertubrukan tapi sedetik kemudian Chokro membuang muka.

Mika yang tampak berbeda namun sederhana karena hanya dia yang tak berdandan heboh melangkah mendekati Chokro lalu menyapanya lebih dulu dengan suara lirih meragu.

“Hai, Chok.” Mika mencoba tersenyum biasa meski jantungnya berdetak sangat cepat.

Chokro tak menjawab. Dia malah melangkah menjauh dari Mika seolah gadis itu tak nampak di matanya. Sigap. Mika mencengkeram lengannya.

“Gue tahu lu muak liat gue di sini, kan? Gue sadar, gue salah tapi apa yang gue lakuin itu terpaksa. Utang emak banyak banget jadi kami diusir dari rumah sebelum utang itu lunas.” Suara Mika semakin lirih. Kepalanya menunduk tak mau Chokro tahu bahwa dia kini sudah menangis. “Tapi gue janji bakal ganti duit imbalan itu biar gue dapet maaf dari lu.” Nampak Mika mengambil sesuatu dari kantong baju gombrongnya. Nongol lah kantong warna merah yang dulu selalu dipakai nyimpen receh. “Anggep ini uang muka. Lain kali, setiap hari gue bakal setor duit buat ganti duit itu.” Mika menyorongkan kantong merah itu ke arah Chokro tapi tak juga dia terima. Akhirnya Mika letakkan di telapak tangan Chokro dengan paksa lalu melangkah pergi ke arah luar area rumah Antares.

Chokro menatap punggung Mika sambil tertegun. Benaknya saling bertarung antara tetap diam atau menyusul Mika dan bilang bahwa dia sangat merindukannya. Tak berapa lama kaki itu berlari, menyusul Mika.

“Mika! Aku memaafkanmu karena...” Chokro nampak ragu untuk melanjutkan ucapannya. Semua orang pun serentak diam. Melihat ke arah Chokro. Setelah memantapkan hati, dia kembali menatap Mika yang sudah membalikkan tubuh menghadap padanya. “Karena aku mencintaimu!!!” teriak Chokro tanpa malu dan ragu.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar