Kamis, 06 Juni 2013

[Fantasy] Finally



Finally...

Sei Yoshihara, gadis cantik berkulit pucat nampak berjalan riang. Wajahnya menyiratkan kegembiraan tak terbendung. Sebetulnya, Sei bisa saja tak perlu menghabiskan tenaga dengan berjalan. Dalam satu kedipan mata dia bisa berpindah tempat ke mana pun yang dia inginkan karena itu memang kemampuan mendasar dari seorang vampire tapi tak dia lakukan. Sei yang nampak berseri-seri malam ini. Sungguh kontras dengan suasana hutan yang suram, gelap dan menakutkan memang lebih memilih melangkahkan kakinya santai. Menikmati aroma pohon-pohon yang lembab tersapu embun dan suara-suara hewan nocturnal yang—bagi telinganya—terdengar merdu.

“AAAUUU!!!” Suara lolongan panjang menggema. Seketika kepakan-kepakan sayap burung-burung yang terbangun serta derap langkah kaki panik hewan-hewan riuh semarak terdengar. Para hewan itu takut mendengar lolongan menakutkan yang sontak membuat bulu kuduk merinding tapi tidak dengan Sei. Senyuman yang sejak tadi terlampir semakin lebar hingga mengekspos jelas rentetan gigi-gigi putihnya yang berderet rapi.

Sebelum kakinya lanjut melangkah dalam suasana bahagia yang meletup, Sei bergumam, “John... Kau memanggilku, kan? Kau pasti merindukanku.” Dan tak perlu menitan waktu Sei sudah menghilang bagai kilat.


John Freeze, sang Werewolf yang melolong panjang di tepi tebing yang langsung menghadap ke bulan purnama seketika terdiam begitu hidung tajamnya mengendus bau yang familiar.

“Sei...,” batinnya namun ketika dia berteriak memanggil nama itu, yang keluar hanyalah lolongan. Bulan purnama memang telah mengubah wujudnya dan dia sungguh berharap bulan segera tertutup awan.

Langkah ke-empat kaki John berlari sembari mengendus bau Sei. Namun seolah Sei menginginkan petak umpet, tak juga John menemukan Sei di mana pun padahal bau tubuh Sei sungguh semakin pekat di hidung John.

“AAAUUU...!!!” Kali dia melolong bukan karena nestapa akan kerinduan, melainkan memanggil sang kekasih untuk menghentikan permainannya.

Suara daun-daun kering terinjak membuat John menoleh ke sumber suara. Di situlah dia melihat Sei Yoshihara. Sosok gadis ayu, berambut panjang, berpakaian kimono hitam. Jangan heran kenapa dia lebih mirip seorang Kunoichi (gadis pertapa) ketimbang vampire yang notabene selalu disandingkan dengan gaya berpakaian bangsawan Eropa. Sei bukanlah seperti itu. Dia adalah putri dari seorang Ketua Klan Taka (Elang) yang menaungi banyak vampire-vampire yang berbasis di Jepang.

Secepat kedipan mata, Sei yang semula beberapa meter ada di depan John, kini sudah berada tepat di sebelahnya. “John... Aku merindukanmu. Akhirnya kita bisa bersama lagi.” Sei tersenyum, menatap John dengan manik berbinar cerah. Kedua tangannya merengkuh tubuh John meski agak kesulitan karena tubuh berwujud serigalanya terlampau besar. Kilatan mata itu sungguh membuat John serasa dialiri angin sejuk hingga ke relung hati. Bulu-bulu halus John pun dibelainya lembut. Air matanya berlinang bahagia.

Teringatlah dalam kenangan masa lalu masing-masing betapa kebersamaan ini sangat susah terjadi. Karena dia tahu, dia hanyalah budak seorang vampire. Budak ayah Sei, sang Ketua Klan Taka, Sado Yoshihara. Dan sejak John mampu mengingat dunia, dirinya memang mengabdi karena keluarganya sudah turun temurun bersumpah setia pada Sado. Ini adalah ikatan kutukan yang diberikan pada werewolf dimulai beberapa ratus tahun lalu. Namun sekarang segalanya berbeda. Mereka yang memang sejak kecil saling mengenal dan perlahan perasaan keterikatan itu berubah menjadi cinta kini sudah bebas, bisa bersama tanpa ada yang mencegah. Suatu anugrah yang membutuhkan pengorbanan besar—tapi belum John sadari.

Sinar bulan tak nampak lagi sinarnya. Hutan yang semula terang kini benar-benar gulita. Langkah Sei mundur beberapa meter, memberi John ruang untuk berubah menjadi manusia. Sei agak mengernyit heran. Transformasi yang dilakukan John begitu lambat. Kenapa? Padahal dulu perubahan pada tubuh John tak perlu memakan waktu hingga puluhan menit tapi sekarang begitu lama perubahan itu dan yang membuat mata Sei terbelalak adalah rintihan kesakitan yang dialami John.
“John!” pekik Sei. Langkahnya maju mendekat tapi dengan cepat ditampik John dengan tangannya yang sebagian sudah berubah menjadi tangan manusia tapi penuh bulu dan masih berkuku tajam.

Sei tetap menatap tapi tak tega. Rintihan itu sungguh menyayat hatinya. Tubuh John yang mengelupas sehelai demi sehelai disertai dengan tetesan darah seolah kulit John tengah disayat membuatnya merasa miris.

“John! Kenapa perubahanmu seperti itu?!” Sei terus gencar melontarkan pertanyaan.

Dengan suara serak dan tercekat John menjawab, “Mungkin ini konsekuensi yang kuterima karena memutuskan ikatan dengan ayahmu, Sei.”

Telapak tangan Sei membekap mulutnya sendiri. Tangisannya pecah seiring dengan wujud John yang memang sudah membentuk sosok manusia tapi seperti tanpa kulit. Sekujur tubuhnya hanya daging yang berwarna kemerahan dan menguarkan bau daging gosong.

“Jangan takut. Aku pasti bisa kembali ke bentuk semula,” ucapnya mencoba meredakan kekawatiran Sei meski dalam benaknya John merasa tak yakin. Malahan prasangka-prangkamulai bermunculan di otaknya.

Lama Sei menunggu. Lama pula John mengalami penderitaan rasa sakit akan tubuhnya yang tak kunjung pulih. Kedua orang ini semakin panik saja. Sei tak tahan lagi melihat John yang begitu tersiksa hingga seperti mau mati. Tanpa segan lagi dia berlari merengkuh tubuh John yang meronta kesakitan. Dia tak peduli kimono yang menunjukkan kebangsawanannya ternoda oleh darah. Dipeluknya erat tubuh John berusaha mengurangi sedikit saja rasa sakit itu.

“Kenapa seperti ini? Kenapa kau tak pulih juga? Apa yang kau korbankan agar ikatanmu terlepas?” Sei terus bertanya karena panik.

“Aku... Aku tidak tahu. Tuan Sado bilang satu-satunya cara untuk melepaskan ikatanku dengan keluarga kalian dan kita bisa bersama adalah dengan meminum darahnya. Tapi—”

“Tapi kau jadi seperti ini. Tak bisa pulih menjadi manusia! Kau pasti dibodohi!” Sei berteriak. Air matanya terus saja tergenang.

“Khu-khu-khu... Hahaha!!!” Tawa menggelegar terdengar nyaring seolah tengah mengejek penderitaan kedua sejoli itu. “Sei-chan, putriku. Kenapa kau tak percaya dengan Otou-san? Itu memang benar-benar cara pemutusan ikatan tapi segalanya pasti ada konsekuensinya, kan? Hahaha!!! Bukankah aku sudah berbaik hati membiarkanmu bersamanya, Sei-chan meski hanya beberapa jam sambil menunggu dia mati, tetap saja aku menepati janjiku,” akunya sambil menyeringai gelap.

“Tou-san! Apa maksudmu dengan mati? Tolong bantu John. Dia sangat kesakitan! Lebih baik kami tak bersama dari pada aku melihat dia setersiksa ini.” Sei memohon masih dengan tangannya memeluk erat John yang kini terbaring lemah di pangkuannya.

“Sei-chan, kau pasti tahu cerita tentang kutukan hutang darah, kan?”Sado melangkah santai mendekat lalu kakinya berhenti setelah jaraknya dengan Sei dan John hanya terpaut 2-3 meter. “Dulu sekali leluhur kita, pendiri klan Taka yang memilih hidup dalam damai dan tenang di sudut terpencil Jepang akan tetapi werewolf idiot dan arogan yang tak mampu mengukur kekuatannya sendiri datang mencari gara-gara dengan membantai vampire-vampire dari klan Taka. Perang berkecamuk hingga kepala Koloni mereka menyerah dan menawarkan perjanjian pengabdian pada klan kita yakni ikatan darah. Hingga sekarang werewolf kita manfaatkan untuk menjaga kita di kala matahari menyingsing dan dia mau bersamamu? Ras yang derajatnya lebih tinggi darinya? Cih! Takkan mungkin. Jadi nikmatilah kebersamaan kalian selagi masih bisa. Werewolf itu akan mati besok ketika matahari sudah benar-benar ada di atas kepala.” Tubuh Sado hendak berbalik dan meninggalkan mereka setelah sebelumnya berucap, “Sei-chan, sebelum matahari terbit, otou-san harap kau sudah meninggalkan tempat ini dan kembali ke markas. Mengerti?”

Menghilanglah Sado tanpa adanya jawaban dari Sei. Karena Sei terlampau sibuk meratapi keadaan John yang mulai melemah. Rasa sakit yang menggerogoti itu tak lagi membuatnya meraung seperti tadi. John sudah lelah meronta namun Sei belum lelah menangis.

“John... Maafkan aku... Kau seperti ini karena aku. Lebih baik—”

“Sstt... Ini bu-bukan salahmu, Sei.” Tangan John yang berbalur darah mengusap pipi Sei. Meski wajahnya sudah tak berbentuk tapi manik mata itu tetap sama ketika menatap Sei. Sorot mata penuh cinta itu tak bisa meluruh. “Aku yang terlalu ceroboh. Aku terlalu senang mendengar ada peluang untuk kita bisa bersama. Jangan menangis, Sei.”

Waktu berlalu dalam kesenduan. Isak tangis dan air mata menjadi salam perpisahan untuk kedua sejoli itu. Di kejauhan sana samar-samar matahari mulai muncul dari ujung horison dan perlahan naik menyinari bumi.

“Sei, pergilah. Sudah pagi. Sebelum wilayah ini terkena paparan sinarnya pergilah,” perintah john dengan suara yang teramat lirih. Rasa sakit yang membakar seperti sudah bisa dia tahan tak ada lagi daya untuknya bisa berdiri untuk sekedar menyeret Sei ke tempat aman.

Sei menggeleng. Menolak untuk pergi. “Aku akan di sini. Aku tak peduli meski sinar itu membakar tubuhku.”

“Sei! Pergilah!” Dengan sisa tenaga yang John punya, dia mendorong tubuh Sei. Mencoba bangun dari pangkuan gadis bermata teduh itu tapi belum sempurna dia berdiri tubuhnya sudah limbung.

“John!” pekiknya. Sigap dia menangkap kembali tubuh Sei.

“Pergi kataku! Pergilah secepat kilat seperti biasanya!” Lagi-lagi John berontak, menjauhi Sei.

“Tidak akan. Aku tetap di sini. Meski kita tak bisa hidup bersama tapi kita bisa mati bersama.” Begitu mulutnya terkatub, Sei berdiri. Dia sengaja melangkah ke arah di mana matahari menyorotkan sinarnya tanpa tertutupi oleh dahan rimbun pepohonan di hutan. “Aku akan mati lebih dulu.” Sei tersenyum. Wajahnya tak menunjukkan rasa sakit padahal tubuhnya sudah mengepulkan asap dan perlahan asapa itu menjadi api yang membakar tubuhnya pelan-pelan. “Kutunggu kau sebentar lagi John.” Suaranyaterakhir yang terlontar setelah tubuh Sei benar-benar terbakar lalu meninggalkan debu yang dalam sekejab lenyap diterpa angin.

“Sei!” John memekik lalu tak berselang di ambruk.

End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar