Kamis, 06 Juni 2013

Ketika...



Langkah-langkah orang yang berjalan terburu-buru banyak terdengar. Jalanan di Myeong-dong benar-benar sudah menjadi lautan manusia. Benar juga? Inikan sudah saatnya orang-orang pulang dari pekerjaan ataupun sekolahnya. Ngomong-ngomong soal pulang... Astaga! Pasti Ayah dan Kakak sudah menungguku di kantor mereka. Aku harus segera kesana karena itu langkah kakiku harus lebih cepat. Ah tidak! Sebaiknya aku lari saja!

Aiden pun berlari di sepanjang trotoar. Menabrak pejalan kaki beberapa kali dan akhirnya sampailah dia di gedung tempat Ayahnya dan Andrew, bekerja. Dia pun memasuki gedung perkantoran yang sudah dia hafal denahnya diluar kepala. Ditengah perjalanannya menuju eskalator, terlihat seseorang menuruni tiap anak tangga eskalator dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya terlihat sedih dan sepertinya sedang menangis. Lalu…

Gadis itu menubrukku. Bukannya aku yang terjatuh tapi malah dia yang terduduk dengan posisi bersimpuh. Kutatap dia dalam posisi yang masih berdiri. Kenapa dia masih duduk diam dilantai? Kenapa tak ada ucapan maaf untukku? Sesakit itukah tubrukan tadi?

“Hei. Kau tidak apa-apa?” Akhirnya aku mengalah untuk mengucapkan kata-kata.

Tak ada respon darinya. Dia tetap diam dan duduk dengan kepala tertunduk namun lamat-lamat kulihat bahunya bergetar.
Isakan terdengar sayup-sayup lalu, “Huwaaa…!!!” Tangisannya semakin keras.

Eh? Ada apa? Apa ada yang sakit Nona?” Tanyaku kebingungan.

Aku berjongkok di depannya. Memandanginya dan menggoncang pelan bahunya. Aku kalang kabut dibuatnya. Memangnya tubrukan tadi sesakit itukah? Sampai-sampai membuat gadis ini menangis begitu keras. Semua orang melirik kearah kami.
Aduh, gawat! Pasti mereka berpikir aku yang sudah membuatnya menangis. Tapi, memang iyakan?! Aduh! Bagaimana ini???

“Non-Nona? Ka-Kau tak terlukakan? Diamlah, aku mohon! Atau setidaknya bangunlah. Kita duduk di Cafetaria. Oke?” Bujukku.

Dia menatapku sambil sesenggukan lalu mengangguk lemah.

Kami sudah duduk di Cafetaria yang berada 1 Gedung dengan kantor Ayah. Aku duduk tenang menunggunya berhenti menangis sambil sesekali memberikan Tissue. Tadi dia bilang tak ada yang terluka, tapi kenapa dia menangis? Sebenarnya aku ingin segera pergi karena Ayah dan Kakak pasti sudah menungguku di kantornya tapi gadis ini tak bisa kutinggalkan begitu saja.

“Minumlah.” Bujukku saat 2 Cangkir Esprezzo baru diletakkan oleh Pelayan, di meja kami.

“Ya, terima kasih.” Ucapnya lirih.

Sedetik, dua detik… Tak ada tanda-tanda dia mau meminumnya. Haah… Gadis ini benar-benar aneh.

“Minumlah.” Bujukku lagi setelah itu kuseruput cangkir yang kupegang.

“Aku…”

“Ya?” Dia sepertinya mau mengatakan sesuatu. Inilah yang kutunggu-tunggu, sebuah penjelasan.

“Aku… Pantang minum Kopi.”

Ha? Aku terpukul dengan ucapannya. Kupikir dia mau mengatakan hal yang serius tapi ternyata, “Lalu kenapa tadi kau
tidak bilang saat aku pesankan minuman?” Tanyaku. Terus terang rasa kesalku mulai muncul.

“So-soalnya kau tidak bertanya padaku.”

Brushh! Wajahku mulai memerah karena emosi. Hampir saja aku menyemburkan Ezpresso di mulutku dengan gaya tak elegan.

“Ya sudahlah! Aku pesankan minuman lain. Kau mau apa?” Kuangkat tanganku dan bersiap mengeluarkan suara. “Pe—”

“Tidak usah. Emmm...” Dia bergumam sebentar sambil matanya melirik ke nametag yang menempel di Almamaterku. “Aku mau
segera pergi. Permisi, Aiden.”

Cuma permisi? Tidak ada kata terima kasih ataupun maaf? Aduh! Siapa sih dia? Kenapa tidak punya sopan santun sedikitpun?

“Hei, tunggu!” Gadis itupun menghentikan langkahnya yang akan pergi dariku dan menoleh padaku. “Siapa kau?”

“Ha? Ah? Aku... Milly.” Dia membungkuk sekilas lalu dengan cepat berbalikpergi dengan langkah tergesa.

“Eh?!” Aku memekik tertahan ketika merasa familiar dengan namanya. “Kau Millicent Tres yang itu kan? Putri Paman
Henry?”

“Darimana kau tahu?” Alisnya bertaut, keningnya berkerut heran.

“Paman galak itukan Asisten ayahku. Kau pikir untuk apa aku disini.” Sahutku mejelaskan. Hah? Sepertinya ada nada
sombong dalam kalimatku barusan? Ah! Sudahlah!

Tak berselang, diapun kembali duduk dikursinya. Diluar dugaan, dia tak marah oleh kata-kataku yang menyebut ‘Paman galak’. Dia malah berceloteh panjang lebar tentang Ayahnya. Kedatangannya kemari ternyata untuk memprotes Ayahnya
yang ingkar janji, pergi bersamanya tapi dia malah dimarahi karena mengganggu pekerjaan Ayahnya. Kasihan... Karena antusiasme-nya yang tinggi dalam hal menggosipi Ayahnya, aku tak bisa menolak dan meminta ijin untuk meninggalkannya pergi. Setelah ini pasti aku akan dimarahi Ayah karena sangat terlambat datang.

~o0o~

“Aish! Kenapa tidak tersambung juga?!” Aku jengkel sendiri dibuatnya. Dasar Kakak workaholic , padahal kurang dari
seminggu lagi dia menikah. Kenapa tidak cuti saja dulu?! Kasihan Kak Yukio.

Sepulang sekolah, setelah tak juga Kakaknya mengangkat telepon. Aiden memutuskan melepas penat ditaman kota dekat sekolahnya. Berjalan-jalan menikmati pemandangan pohon-pohon yang meranggas di musim gugur. Hingga terdengar suara dering ponsel yang lumayan keras disaku mantelnya.

“Halo, Kak! Kemana saja kau?!” Tanyaku ketus membuka pembicaraan sambil terus berjalan-jalan mencari tempat duduk
kosong. “Eh? Ternyata Kak Yukio. Hehehe... Oh, Kak Andrew sedang mencoba mencoba Tuxedo di kamar Pas? Kupikir dia masih bekerja rupanya sedang bersamamu. Pantas dia lupa menjemputku. Ah! Iya, Tidak apa-apa. Aku pulang sendiri saja. Ya. See you.” Aku malu sendiri karena sudah salah sangka pada Kak Andrew. Ish! Tapi kenapa juga dia tak bilang, tak bisa menjemputku?

Eh? Apa itu? Jadi penasaran.

Aiden mendekati seseorang yang tengah sibuk melukis di salah satu kursi yang berada ditengah-tengah taman. Dia heran.
Di musim gugur, menjelang musim dingin ini setiap orang pasti memilih tinggal di dalam rumah dan menghangatkan diri tapi orang itu dengan celana panjang Jeans belel, mantel yang tak begitu tebal dengan rambut awut-awutan tertiup angin dan wajah cemong belepotan cat, terlihat kusyuk melukis.

“Sepertinya wajah itu tidak asing? Apalagi kacamata itu. Tunggu! Diakan—” Aku menyadari sesuatu setelah langkahku semakin mendekatinya dan wajahnya semakin jelas terlihat.

“Milly!?” Aku memanggil sosok itu. Dia tak merespon. Tangannya tetap menggoreskan kuas ke atas kanvas. Ku panggil sekali lagi, “Milly!”

“DIAM! Jangan ganggu aku!” Bentaknya ketus. Dia memperingatkanku tanpa memandang wajahku. Masih saja berkutat dengan
hasil karyanya. Langkahku terhenti. Terkejut. Tak kusangka dia akan segalak itu. Ekspresinya sangat serius, terlihat berbeda dengan gadis cengeng di kantor Ayah.

Beberapa menit kemudian aku masih berdiri ditempatku. Aku ingin mendekatinya dan melihat hasil goresan kuasnya tapi aku takut dibentak lagi. Sepertinya dia sudah menyelesaikan lukisannya. Terlihat sekali dari senyumnya yang merekah. Wajah serius dan menakutkan tadi seolah-olah hilang terbawa angin.

“Lho? Ehm…” Dia akhirnya menatapku dan seperti mengingat-ingat sesuatu. “Kau Aiden kan? Adiknya, Kak Andrew? Sejak kapan kau disitu?”

“Hah? Sejak tadilah!” Jawabku diawali dengan rasa kaget. Berarti dari tadi dia tidak tahu kalau yang dia bentak itu aku? Atau dia lupa sudah membentak orang. Jangan-jangan saat dia melukis, pikirannya terbang entah kemana?

“Sejak tadi? Eh?! Ta-tadi jadi ak-aku membentakmu ya? Ma-maaf!” Dia pun membungkuk dalam-dalam. Ekspresinya sudah
kembali seperti aku pertama bertemu dengannya ekspresi canggung yang terlihat lucu.

Kami pun kembali mengobrol dengan akrab dikursi taman hingga matahari mulai meredup dan bulan muncul. Sungguh gadis yang aneh. Saat dia melukis wajahnya begitu serius seolah-olah muncul peringatan ‘Awas gadis galak!’ tapi disaat sedang santai seperti ini kecerewetannya sungguh tak tertandingi. Obrolan kami sejak tadi, dialah yang mendominasi pembicaraan. Namun aku menyadari sesuatu. Setiap bersamanya rasa nyaman datang.

~o0o~

Aku berdiri di pelataran gereja yang terlihat ramai oleh banyak orang yang berhamburan keluar dari sana lalu berdesakan di belakang Kak Yukio, gadis asal Jepang yang kini resmi menjadi Iparku. Kami disini menunggu dan mencoba menangkap buket bunga yang sebentar lagi akan dia lempar kebelakang.

“Siap-siap ya? 1… 2… Ti… Ga!” Buket bunga yang dilemparkannya melambung tinggi dan menyita perhatian seluruh orang yang berkerumun termasuk aku. Eh? Tapi kenapa juga aku tertarik menangkap bunga? Begitu sadar, aku buru-buru mundur
dari kerumunan. Aku tak mau mendapatkan bunga itu. Aku kan masih pelajar kelas 3 SMU!

“Aduh!” Seorang gadis terdengar meronta. Akupun menengok kebelakang.

“Eh? Sorry. Tak sengaja menyenggolmu.” Kuulurkan tanganku mencoba membantunya yang terkapar di aspal.

Tunggu dulu! Sepertinya wajah gadis ini tak terlihat asing. “Kau itu… Ah! Milly kan?” Tanyaku seraya menarik
tangannya. Kamipun berdiri berhadapan.

“I-iya…” Diapun membungkuk lalu tersenyum canggung.

“Tadi aku sempat tidak mengenalimu lho… Ternyata setelah diperhatikan dari dekat seperti ini, aku baru tahu kalau
yang ada di depanku sekarang adalah kau.”

“Hehehe… Penampilanku aneh ya? Kalau tidak ke acara resmi seperti ini aku juga tidak mau memakainya.” Dia kembali
tertawa sumbang sambil menggaruk-garuk tengkuk.

“Milly!” Teriakan lain membuatnya menoleh cepat ke sumber suara.

“Ah! Ayahku memanggil. Permisi.”

Sosoknya sudah menghilang, tapi arah mataku tetap saja terpaku pada tempat parkir didepan sana dimana tadi Milly
terakhir terlihat. Dia sungguh berbeda dengan yang waktu itu. Bergaya feminin dengan gaun biru mudanya serta kacamata
tebal yang 2 kali bertemu selalu dia pakai tadi tak ada. Membuat matanya yang bulat terlihat indah.

Kenapa setiap kali aku bertemu dengan Milly, aku selalu melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda? Gadis cengeng, gadis galak namun berbakat dan sekarang gadis cantik nan memukau.

~o0o~

“Kenapa sih kalian ini suka sekali bertengkar. Nikmatilah bulan madu kalian di Hokaido dan sepulang dari sana aku harus mempunyai keponakan. Hahaha… Cuacanya kan mendukung sekali. Aish! Makanya jadi orang itu yang romantis! Sudah sana! Bye.”

Aku beberapa menit tadi sedang mengobrol dengan Kak Andrew lewat telepon sepulang sekolah. Sekilas timbul rasa iri dihatiku. Dia sungguh sangat-sangat beruntung menemukan seorang wanita yang baik dan cantik seperti Kak Yukio. Asal tahu saja ya? Dulu aku sempat naksir dengan Perawat cantik itu ketika aku dirawat di rumah sakit, tapi malah Kakakku yang mendapatkan cintanya. Ya iyalah! Mana mau dia dengan bocah bau kencur sepertiku!

Begitu memikirkan masa lalu dan cinta monyetku, timbul keinginan untuk mampir ke taman kota dan jadilah aku sekarang
disini, dengan perasaan merindukan sesuatu. Aku berjalan menyusuri jalan setapak dengan mantel tebal, syal dan topi.
Taman kota di musim dingin terlihat tak begitu menarik dan sepi. Hanya ada pohon-pohon yang kering dan tanah yang ditutupi salju.

Langkahku terhenti otomatis. Tak kusadari, ternyata aku melangkah sampai disini. Tapi setelah kulihat tempat ini sepi, rasa kecewa muncul. “Di kursi itukan tempat Milly melukis waktu itu? Ternyata dia tidak ada ya? Eh? Aku ini mengharapkan apa sih? Dasar bodoh! Tak mungkin kan dia selalu melukis pamenadangan yang sama?!” Aku meracau sendiri seperti orang gila sambil memukul-mukul kepala lalu melangkah lagi menyusuri kembali jalanan setapak.

“Aiden?!”

Suara itu? Mungkinkah dia... Aku yang semula berjalan merunduk dengan memandangi jalanan dibawah kakiku, refleks
langsung mengangkat wajahku dan menatap lurus kedepan. Gadis itu muncul dengan memanggul ransel dan menenteng kanvas serta kayu penyangga kanvas.

“Ya?! Good Afternoon.” Jawabku. Muncul senyum dibibirku tanpa kuminta. Hatiku yang sempat kecewa terasa kembali gembira.

Setelah dia selesai menata perlengkapan melukisnya. Diapun diam sejenak, memandang sekeliling dan jari-jari mungilnya mulai menempelkan kuas bercat diatas kanvas. Menarik setiap goresan dengan lincah.

Aku hanya duduk dikursi sambil memandangi Milly yang sedang berkarya dengan tatapan kagum. Kebisuan diantara kami tidak terasa canggung. Dia yang sedang asyik melukis terasa seperti seseorang yang sudah pergi ke dunia imajinasi dan tak akan menghiraukan orang disekelilingnya. Makanya aku tidak mau mengganggunya dengan mengajaknya bicara. Aku tak mau dibentak lagi. Dia terlihat menakutkan jika diganggu. Duduk diam mengamatinya dan menunggu dia menyelesaikan lukisan adalah pilihan yang kulakukan. Setelah dia selesai dengan imajinasinya, aku yakin sifat cerewetnya akan kembali muncul. Kami pun pasti bisa mengobrol lagi. Lebih tepatnya dia yang bercerita panjang lebar dan aku yang jadi pendengar dengan sesekali merespon balik setiap ceritanya.

Haah... Terbersit secercah rasa bahagia dihatiku, rasa meletup-letup dan menggelitiki dada. Sepertinya Tuhan sudah mengirimkan gadis untukku agar aku tak lagi merasa iri dengan Kak Andrew. Gadis yang ada di depanku ini membuatku terkesan dengan segala keunikannya. Aku merasa... Aku menyukainya.

“Aku menyukai, Milly.” Suara hatiku berucap mantap dengan sendirinya.


END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar