Kamis, 06 Juni 2013

Rain & Rock


Bagus! Hujan datang! Tepat di saat hatiku juga serasa teriris sembilu dan sedang menangis meratapi nasib. Untuk saat ini dengan tegas aku menyatakan, aku benci hujan! Kenapa harus hujan yang datang? Kenapa tak hari yang cerah saja seperti hari-hari kemarin? Ini kan musim semi?! Langit mau menambahi kesedihanku ya?!

Kudongakkan kepala menatap boneka putih sebesar kepalan tangan yang menggantung di atap teras. Padahal kepalanya tak terbalik tapi kenapa hujan muncul. Aish! Kenapa pula aku percaya pada mitos Teru-teru bozu ?

Aku menyandarkan sisi tubuh dan kepalaku pada tiang kayu. Mataku menerawang menatap taman belakang rumahku dengan posisi duduk di teras. Hal yang selalu aku lakukan jika perasaanku sedang tak enak. Biasanya perlahan akan membaik dan kembali ke kondisi semula. Tapi sekarang, karena hujan turun rasanya malah membuatku semakin sedih dan terpuruk.
Air mataku jadi tak bisa berhenti mengalir.

Iya. Aku akui, aku ini gadis cengeng dan terkadang judes tapi ayolah langit... berbaik hatilah sedikit. Hentikan tetesan air yang kau turunkan itu. Atau kau jangan-jangan juga sedang bersedih hati sepertiku?


Hahhh... Teringat lagi peristiwa menyakitkan hati beberapa jam yang lalu. Karena sekarang adalah white day , jadi selama di sekolah tadi, aku menunggu-nunggu balasan perasaan dari seseorang yang sudah 7 bulan ini kusukai diam-diam.
Dia adalah senpai ku di Tokyo gakuen. Murid terpopuler di sekolah. Dia tampan dan berkharisma walau agak sombong tapi aku menyukainya. Namanya Hikaru Oda. Nama yang sangat cocok dengan dirinya yang berarti bintang. Karena dia memang bintang di hatiku dan mungkin di hati banyak siswi perempuan lainnya—dan kenyataan itu sungguh membuatku sangat tidak suka.

Aduh! Kenapa aku malah memuji-muji orang yang membuatku terpuruk begini sih? Namika! Lupakan dia!

Kesedihanku saat ini dimulai tadi karena patah hati. Sebulan lalu Valentine tiba. Dengan menghimpun segenap keberanianku karena ini adalah tahun terakhirnya di sekolah dan moment ini adalah kesempatan berhargaku untuk berhenti menjadi pemuja rahasianya. Aku pun memutuskan untuk menyatakan perasaanku lewat sekotak coklat dan berharap hari ini aku menuai sekotak atau sebungkus permen dari Hikaru-senpai.

Bukan permennya sebenarnya yang kuharapkan tapi balasan perasaan darinya lah yang begitu kuinginkan. Namun semua tak sesuai dengan yang kubayangkan. Dia memang muncul di muka pintu kelasku sepulang sekolah. Dia memang membawa sebungkus permen berpita merah jambu kala itu, tapi sayang itu bukan untukku. Seolah ingin memamerkan pilihan hatinya padaku—juga pada penggemarnya yang lain, dia menyerahkan balasan coklat Valentine itu untuk teman sekelasku dan untukku—yang tadi dengan beraninya bertanya ‘kenapa?’—dia hanya membalas dengan kata, ‘gomenasai ’. Seketika hatiku remuk dan pulang dengan berderaian airmata.

“Senpai kejam! Kalau mau memberikan permen itu untuk Minami kenapa harus menyerahkannya di depan mataku?!” ucapku kesal.

Kuumbar semua kekesalan hati dengan berteriak. Biarlah! Toh! Derasnya hujan membuat suaraku tak terdengar sampai ke dalam rumah. Kalau pun terdengar pastinya hanya ¬Okaa-san¬ saja yang tahu. Tak masalah.

Pintu geser terdengar riuh karena dibuka. Aku tahu itu siapa sehingga tak perlu aku menoleh untuk memastikan siapa yang datang dan pasti akan duduk di dekatku. Kenapa Okaa-san selalu membiarkannya masuk seenaknya ke rumah ini seperti rumah sendiri? Kenapa juga dia tak menggubris perintahku untuk jangan mengangguku dulu? Saat ini aku hanya ingin sendiri.

“Sudah kubilang di telepon, ‘kan? Kau tak perlu datang!” Aku mendengus sebal karena waktuku menyendiri diganggu.

Dia tersenyum—lebih tepatnya menyeringai—setelah sebelumnya mendorongku bergeser lalu duduk di sebelahku. “Karena hanya berdiam diri dan menangis takkan mengurangi rasa sedihmu, jadi aku datang,” sahutnya seraya mengacak-acak rambutku.

Huchoru, pemuda yang tinggal di seberang rumahku ini mendongak, menatap hujan tanpa berkata apa-apa namun dia menggenggam tanganku begitu erat. Serta merta kulitku yang tadinya dingin karena udara di luar sini menjadi terasa hangat. Perlahan kehangatan yang ditimbulkannya tak hanya menghangatkan kulitku namun juga hatiku. Tenanglah hatiku kini. Segala rasa kesal hilang sudah.

Menit-menit berlalu dalam diam. Mungkin dia sedang mencari ilham atau apalah itu.

“Coba kau ulurkan tanganmu,” ucap Huchoru-kun padaku seraya menjulurkan tanganku yang digenggamnya tadi ke depan
untuk menadahkan tetesan hujan yang berjatuhan dari genting teras.

Aku menyedot ingusku yang hampir meler karena kegiatan menangis yang sudah satu jam lewat itu, setelahnya dengan suara sengau berkata, “Untuk apa? Cuci muka?” tanyaku agak ketus sambil menatap tiap tetes hujan yang turun dengan derasnya seolah langit tahu kesedihanku sehingga menurunkan hujan untuk menemaniku menangis—tapi malah membuatku makin sedih dan terpuruk.

Huchoru-kun tersenyum tipis, “Apa tetesan-tetesan ini menyakitimu atau melubangi tanganmu?” Dia malah balik bertanya. Seperti biasa, pasti selanjutnya dia akan mengucapkan kata-kata bijak padaku.

Ucapan yang akan langsung menentramkan di kala duka menyerang namun terkadang membuatku sukses tertohok dengan teguran-teguran yang tepat sasaran dan tanpa basa-basi.

Kali ini dia mau menasehati apa? Membuat hatiku sejuk dengan kata-kata penghiburan setelah aku patah hati ditolak cinta oleh senpai yang kutaksir atau Huchoru-kun akan memberiku nasehat seputar harga diri seorang gadis yang harus dipertahankan dengan tidak menyatakan perasaan secara terang-terangan pada laki-laki? Mengingat dia ini adalah tipe pemuda konvensional, peka, tapi tegas.

Aku pun menjawab, “tentu tidaklah!” sambil tetap memasang ekspresi jual mahal, dengan arah mata yang tak lepas menatap rintikan hujan yang masih konstan menurunkan airnya tanpa mengurangi debitnya. Dalam hati, sebenarnya aku menunggu ucapan Huchoru-kun selanjutnya. Semoga tidak akan membuatku tambah sedih.

“Lihatlah batu itu.” Huchoru-kun menunjuk sebuah batu yang cukup besar di pojokan tepat di bawah ujung genting teras, di antara tobiishi yang sengaja diletakkan oleh Otou-san di depan teras sebagai jalan setapak menuju taman kecil bergaya Shoin di hadapanku sana.

Aku mengamati lekat-lekat sambil terus berpikir tapi belum mengerti maksud yang akan diutarakannya.

“Kau lihatkan permukaan cekung di batu itu? Tetesan hujan lah pelakunya.” Dia menoleh ke arahku. Manik matanya
memberiku kehangatan dan aku kini yakin yang akan meluncur dari bibirnya nanti adalah kata-kata penyemangat yang pasti akan membuatku berhenti bersedih. “Sekali dua kali rintik hujan takkan meninggalkan bekas pada batu yang keras itu, tapi jika batu mendapatkan hantaman kecil dari tetesan hujan selama ribuan bahkan jutaan kali maka kau pasti tahu, ‘kan akibatnya? Membekas cekung bahkan bisa sampai berlubang. Seperti itulah yang harus kau lakukan Namika-chan . Jangan putus asa hanya karena satu kali patah hati. Kali ini perasaanmu tak terbalas mungkin karena perjuanganmu mendapatkan orang yang kau sukai kurang gigih. Kelak jika kau menyukai seseorang yang lain, hantam lah dia dengan segala perhatian dan rasa cinta yang tulus semaksimal mungkin. Aku yakin, layaknya batu yang tergerus karena tetesan hujan yang terus tekun menimpanya, kau juga bisa membuka pintu hati orang yang kau sukai dan memasukinya. Ganbatte , Yuki-chan! Kembalilah menjadi gadis ceria yang kukenal,” ujarnya seraya mengusap-usap lembut kepalaku. Senyuman yang lembut menghiasi bibir tipisnya. Membuatku seketika merona salah tingkah.

Seketika api semangat meletup-letup dalam diriku. Karena dia, sahabat terbaik yang sudah seperti saudaraku sendiri, yang selalu tahu harus mengatakan apa padaku. Dia tak mengucapkan kata-kata yang ingin telingaku dengar tapi dia memberikan nasehat apa yang harus kudengar.

“Arigatou, Huchoru-kun,” ucapku tulus lalu bersandar di bahunya dengan mata yang terus menatap rintik-rintik hujan yang tak kunjung berhenti.

Perasaanku menjadi tenang dan senyuman ceria kembali lagi terukir di bibirku. Ternyata jika hujan dipandangi dengan hati tenang dan bahagia, penuh semangat yang meletup-letup maka hujan tak nampak sesuram tadi.

Hari ini aku menyimpulkan, hujan tak selalu membawa kesedihan. Ada kalanya setiap tetes-tetesan hujan telah membawa makna berharga untuk kehidupan. Khususnya aku. Berkat Huchoru-kun, orang yang selalu menjadi malaikat penolong dan sekaligus pendengar yang baik, aku bisa mendapatkan kenyamanan sekarang. Rasa sedihku langsung sirna hanya dengan kata-katanya yang menyejukkan. Aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkan sosok sahabat sepertinya.

Dia seperti malaikat sekarang—walau kadang-kadang dia juga bisa berubah jadi iblis sih. Kata-katanya yang mengalir tanpa konsep namun tepat sasaran sungguh membuatku tak habis pikir secerdas apakah dia. Dapat ide tentang batu itu dari mana? Kenapa dia selalu bisa menjadi seseorang yang bijak dan kenapa aku merasa dia sangat memahamiku? Yang paling penting, kenapa Huchoru-kun selalu bersikap sangat baik? Kenapa dia sangat memerhatikanku? Bahkan ketika sepulang sekolah tadi kami berpapasan di jalan depan rumah lalu melihat wajahku begitu murung dan tak menghiraukan sapaannya, dia pun langsung menelponku beberapa menit kemudian. Setelah mendengar tangisanku—padahal tadi aku sempat membentaknya dengan kasar, dia langsung datang menemuiku. Di sini. Di tempat yang bahkan orang tuaku tak mendekatiku ketika tahu aku sedang bersedih atau marah.

Mendadak banyak pertanyaan ‘kenapa’ bersarang. Menuntutku untuk bertanya secara langsung pada orang yang kini sedang kusandarkan kepalaku padanya. Huchoru-kun.

Aku mengangkat kepala, mengamati wajah lembutnya yang masih saja menatap hamparan taman yang didominasi dengan bebatuan dan sedikit tanaman. Huchoru-kun menyadari ada mata yang mengamatinya lekat-lekat—padahal tadi dia nampak sedang menerawang menatap hujan, kenapa bisa merasakan bahwa ada orang yang sedang memandangnya tanpa berkedip?—dan akhirnya menoleh, “doushite? ” tanyanya penasaran seraya memiringkan kepala sambil menatapku lekat-lekat.

“Emmm... Boleh aku bertanya sesuatu?” Aku langsung menunduk. Kegugupan mulai merambati hati.
Sungguh! Aku bingung harus memulai dengan pertanyaan apa. Tapi betapa bodoh dan tak pekanya aku karena baru merasa penasaran sekarang. Kenapa tidak sejak dulu perasaanku terusik oleh sikapnya yang teramat—mungkin ini berlebihan—mengistimewakanku.

Huchoru-kun mengerjap menatapku, dibarengi dengan kerutan dahi lalu beberapa detik kemudian berucap, “Apa?”

“Kenapa kau begitu memperhatikanku?” Akhirnya satu pertanyaan yang mewakili isi hatiku tersampaikan.

Matanya terbelalak sejenak—sepertinya. Selanjutnya tak lagi menghadapku namun malah berbaring dengan tangan kanannya dijadikan bantal. Setelahnya mendongak ke atap memandangi boneka teru-teru bozu yang menggantung tak tenang karena diombang-ambingkan angin. Keheningan tercipta karena dia terlampau lama mencari jawaban. Bukankah ini pertanyaan yang tak cukup sulit? Tak lebih sulit dari soal logaritma yang selalu sukses membuatku mati kutu. Ayolah Huchoru-kun... jawab pertanyaanku.

“Karena...” Dia menggantung ucapannya. Wajahnya menunjukkan tanda-tanda keraguan ketika dia menoleh ke arahku. “Aku menyukaimu.”

Lirih benar kata-kata yang baru saja terlontar tapi sungguh sangat sukses membuat jantungku langsung terhenyak dan menghasilkan detakan cepat tak terkendali. Kata-kata Huchoru-kun barusan membuatku terbelalak kaget. Seolah seperti guntur yang memekakkan telinga. Aku agak tak percaya dengan ucapannya.

“Eh? Nani? ” Tubuhku menegang dan sontak menegakkan punggung. Pekikan dan refleks tubuh yang pastinya terlambat merespon.

Huchoru-kun bangun dari posisinya yang merebah—singkat. Ekspresinya berkesan tak terdefinisi. Antara gugup, serius, atau takut—mungkin. Senyuman lembut beberapa menit lalu saat mengucapkan kata-kata bijak entah menghilang ke mana. Seperti bukan pemuda yang tadi saja.

“Mungkin ini adalah kata-kata klise yang sering kau dengar di dorama-dorama yang suka kau tonton setiap hari tapi ini jujur dari hatiku. Aku menyukaimu sejak pertama kita bertemu,” lanjutnya panjang lebar dan terdengar tegas. Dia mengatakan dengan lancar seraya mencengkeram bahuku sambil menyorotkan mata yang tersirat, ‘percayalah padaku’.

Aku masih mematung. Begong. Bingung harus berkomentar seperti apa. Bagiku dia sangat berarti. Sungguh! Tapi untuk menyebut perasaanku ini sebagai rasa cinta seperti yang dia rasakan sepertinya tidak. Kedekatan kami sudah membuatku menganggapnya sebagai saudara sendiri jadi tidak mungkin kan dengan cepat berubah?

“Anggap saja aku ini adalah rintik hujan itu Namika-chan dan kau batunya. Kalau saja tadi kau tak bertanya lalu tak
kuberitahu perihal perasaanku padamu, aku tetap yakin suatu saat kau pasti akan menyadari perasaanku.” Dia berkata sambil tersenyum. Senyuman yang terasa lain dari pada yang lain. Tersirat ketenangan dan kepercayaan diri tapi di samping itu, di manik matanya yang coklat terpancar binar-binar bahagia.

“Tapi aku—”

“Sst... Tak perlu menjawab. Aku tak meminta jawabanmu karena sekarang kau pasti belum siap memberikan jawaban.

Biarkan seperti ini saja.” Dia beranjak berdiri sepertinya hendak pergi. Mataku otomatis terus mengikuti gerak-geriknya hingga dia berjalan menuju pintu geser. “Tolong, jangan terlalu memikirkan dalam-dalam kata-kataku tadi. Aku ingin kau tak berubah sikap. Aku ingin tetap menjadi sahabatmu Namika-chan. Setelah aku pulang dan esok kita bertemu lagi, aku ingin kau akan tetap bersikap sama. Menjadi sahabatku yang selalu tersenyum riang. Mau, ‘kan?” Di ambang pintu, dia berucap penuh harap.

Dengan agak enggan karena perasaan syok masih bersemayam, aku mengangguk kepadanya.

Dia tersenyum sambil menghembuskan nafas lega. Setelah mengucapkan, “arigatou” tubuhnya menghilang. Meninggalkanku sendiri di teras rumah sambil merenung seharian.

Pikiranku yang seharusnya menyuguhkan topik utama yang bertema patah hati, gara-gara pertanyaan rasa suka dari
Huchoru sontak memuat benakku tersita oleh ucapannya. Kata-katanya terus terngiang-ngiang. Membuatku mau tak mau harus melihat flashback tentang kisah persahabatan kami yang dimulai dari saling berkenalan ketika aku pindah di
Taito¬-ku sampai hubungan kami menjadi sedekat ini. Perenungan ini mungkin takkan berakhir. Dan aku pasti juga takkan beranjak dari tempatku duduk sedari siang kalau saja Okaa-san tak berteriak memanggilku untuk makan malam.
Setelah menepuk tangan 3 kali dan mengucapkan “itadakimasu ”, Okaa-san dan Otou-san langsung mengambil sumpit yang di letakkan di sisi kanan mangkuk dan memakan nasi yang sudah disiapkan dalam mangkuk keramik. Sedangkan aku masih termenung. Melamun. Tak menyentuh sumpit yang tergeletak manis di atas kotatsu . Padahal lauk yang terhidang seharusnya bisa membuat liurku menetes tapi untuk saat ini Misoshiru , Ebi furai dan makanan lain yang melambai-lambai minta diambil tak berhasil membujuk nafsu makanku.

Suara petir terdengar menyambar. Sempat membuatku dan juga kedua orang tuaku kaget. Seharusnya musim semi adalah masa di mana langit akan sering memperlihatkan pemandangan yang cerah dengan angin sepoi yang terasa sejuk tapi mengapa seharian ini yang ada malah hujan terus yang turun. Membuatku selalu teringat ucapan-ucapan Huchoru-kun.

“Ayo, dimakan Namika-chan. Biasanya kau akan langsung lahap makan kalau Okaa-san masakkan ebi furai,” ujar Okaa-san. Matanya menatapku khawatir.

Okaa-san pasti tahu bahwa tadi aku menangis cukup lama di teras belakang sepulang sekolah. Jadi sekarang dia sengaja memasakkan makanan kesukaanku. Karena ini adalah cara yang biasa Okaa-san lakukan untuk menghiburku. Okaa-san memang tak mendekat lalu menasehati atau sekedar menghibur ketika aku menangis atau mengamuk. Okaa-san lebih sering menunjukkan perhatiannya lewat perbuatan. Sedangkan Otou-san kesibukannya bekerja takkan bisa membuatnya tahu aku sedang mengalami hal yang menyedihkan hari ini. Sekarang, kami makan malam dengannya saja sudah suatu hal yang patut disyukuri. Tapi maafkan putrimu satu-satunya ini Okaa-san. Maafkan juga diriku yang tak begitu menunjukkan rasa senang ketika makan malam bersamamu, Otou-san. Aku tak berselera sekarang. Pikiranku sedang rewel. Sibuk memikirkan hal yang ganjil—kalau pernyataan cinta Huchoru bisa disebut ganjil sih.

Sebaiknya aku ke kamar saja dari pada membuat suasana di sini menjadi suram.

“Aku selesai,” ucapku lalu bangun dan melangkah menuju kamarku.

Okaa-san sempat menahanku dengan menunjukkan wajah kecewa. Begitu juga dengan Otou-san yang menatapku galak karena meninggalkan meja sebelum selesai makan. Namun aku tetap pergi. Mungkin dengan berbaring di kamar lalu tidur, benakku yang cerewet bisa diam.

Dalam perjalananku, mataku tertumbuk pada telepon yang tergeletak di meja kecil di samping anak tangga menuju lantai 2 tempat kamarku bersemayam. Melintas lagi kenangan beberapa jam lalu setelah aku pulang sekolah. Aku berbicara ketus dengan Huchoru-kun lewat benda itu, bahkan sempat membentaknya karena dia bersikeras untuk datang kerumahku. Mendadak ingin rasanya tanganku terulur dan menelpon dia, tapi aku harus bicara apa?

Aku duduk bersimpuh menghadap telepon. Lama aku menatap lekat-lekat benda mati yang tak begitu indah tersebut. Tanganku terulur lalu kutarik kembali dan begitu seterusnya. Hingga akhirnya aku menetapkan hati untuk memegang gagang telepon dan yang satunya lagi bersiap memencet tapi untuk melakukan itu seolah begitu sulit. Sesulit memilih jawaban soal pilihan sewaktu ujian.

Kukeraskan tekadku. Supaya hatiku tak terus-terusan bergejolak, benakku tak tak terus mengoceh panjang lebar dan nanti malah berakibat aku tak bisa tidur jadi sekarang aku menelponnya. Harus! Ayo beranikan dirimu Namika Yanagita!
“Moshi-moshi Huchoru-kun,”sapaku dengan suara yang lirih.

Di ujung sana suaranya tak nampak segugup diriku. Ternyata rasa tertekan ini cuma sepihak saja. Aish! Tidak adil. Memang aku tahu Huchoru-kun itu orang yang tenang—malah banyak orang yang bilang dia dingin—tapi soal perasaan ternyata dia juga cukup pintar mengendalikan bahkan menyembunyikannya ya? Salut! Dan... Iri!

“Soal tadi...” Aku menggaruk-garuk kepala bingung.

“Kau merasa terbebani ya? Gomenasai jika membuatmu tak tenang.”

“Eh? Tidak! Kau tidak membebani kok. Hanya saja aku selalu kepikiran.”

“Benarkah?”

“Te-tentu saja. Sungguh! Bukan salahmu. Tak perlu minta maaf.”

Hening kembali tercipta. Di sana diam, di sini pun juga sedang sibuk merangkai kata.

“Mari kita pacaran!” ucapku cepat dan lancar. Selancar bola salju yang turun dari gunung Fuji.

Hening lagi...

“Hu-Huchoru-kun. Kau ada di sana?”

Pertanyaan bodoh. Tentu saja dia masih menempelkan gagang telpon di telinga hanya saja kata-katamu sungguh mendadak,
Namika! Kalau Huchoru-kun sakit jantung bagaimana coba?!

Kupukul-pukul kepalaku. Merutuki kebodohan mulutku yang refleks berkata tanpa basa-basi.

“Te-tentu saja.” Di seberang sana terdengar suara Huchoru-kun yang berubah gagap. Mungkin saking kagetnya,
Huchoru-kun tak bisa mengembalikan ketenangan suaranya.

“Mungkin ini terlalu mendadak. Aku juga tahu bahwa kau bukan tipe orang yang suka dengan gadis yang menembak duluan
tapi... Aku merasa kau adalah orang yang tak bisa kuhiraukan begitu saja. Beberapa jam aku menimbang-nimbang perasaan. Aku terus kepikiran dengan kata-katamu tadi lalu tanpa diminta, benak ini menggulirkan peristiwa di masa lampau. Peristiwa di mana awal kita bertemu dan kau yang selalu tak pernah absen mengisi hari-hariku. Dan pada satu titik, hatiku mengatakan bahwa aku harus menerima perasaanmu. Mungkin Tuhan mengirimmu memang untukku. Selalu dan selalu saja kau yang ada di sampingku. Lalu setiap kata-kata dan tindakanmu tak pernah gagal membuatku tenang dan bahagia. Jadi, aku ingin menyukaimu. Mari kita pacaran, Huchoru-kun.” Setelah mengeluarkan semua kata hati aku menghela nafas lega. Tinggal menunggu reaksi darinya.

Memang aku tak tahu pasti tentang perasaanku padanya. Tapi aku yakin dia adalah orang yang tepat untukku. Tak ada yang lain. Hanya dia orang yang mengerti bagaimana aku dan aku menyayangi dia. Sangat menyayangi Huchoru-kun.

“Aku menolak!”

“EH???” Aku memekik refleks. Jawabannya sungguh di luar dugaan. “Ap-apa maksudmu?!” Suaraku menegang.

Enak saja dia bilang ‘menolak’ setelah aku dengan susah payah menata hatiku, menyingkirkan rasa takutku dan memberanikan diri menyatakan bahwa aku ingin menjalin hubungan dengannya. Aish! Sebenarnya kata-katanya tadi sewaktu di teras itu serius tidak sih?

“aku tak mau kau terpaksa.”

Aku diam sejenak mencoba mencerna kata-katanya. “Terpaksa? Ak-aku tidak terpaksa.”

“Kau terpaksa. Nampak jelas sekali di kalimat yang kau lontarkan tadi. Aku sudah berkata kan tadi? Aku tak meminta

jawabanmu. Aku mengatakan perasaanku karena kau bertanya. Cuma itu.” Kudengar helaan nafasnya. “Aku tahu hatimu belum benar-benar terbuka untukku. Ya, ‘kan?”

Dan pertanyaannya membuatku pikiranku makin bingung.

“Soal itu...” Suaraku menghilang. Aku sedang berpikir menyusun alasan. “Kupikir ada baiknya kita berpacaran
Huchoru-kun. Karena... Kau sangat baik dan selalu ada di saat kubutuh. Aku menyayangimu. Aku sadar aku... menyukaimu.
Aku selalu menjadi tenang di saat kau ada di sisiku.”

“Aku tetap menolak.” Suara ketusnya muncul. Sepertinya aku membuatnya memnuculkan sisi iblisnya. Gawat!

“Kenapa? Apa penjelasanku kurang?”

Eh? Di sini siapa sih yang tadi menyatakan suka lebih dulu? Kenapa seolah-olah aku yang begitu menginginkan hubungan
ini lebih maju? Padahal kan ini semua bermula dari pernyataan suka Huchoru-kun. Kenapa dia malah berubah jual mahal sih? Mengesalkan!

“Aku tidak suka diminta pacaran. Biar aku yang meminta padamu. Jadi tunggu saja!”

Pip-pip-pip!

Sambungan telepon terputus. Aish! Harga diri Huchoru memang benar-benar tak terkalahkan.

***

Hari minggu yang cerah. Aku dengan celana pendek dan kaos hitam gombrong sedang menikmati bunga sakura bermekaran di halaman rumah.

“Sejuknya...” ucapku seraya memejamkan mata. Menghirup bau harum bunga Sakura yang sesekali menerbangkan kelopaknya yang rontok ke atas wajahku.

Hari-hari sudah berlalu sejak kejadian patah hati, pernyataan cinta dan pernyataan dariku yang ingin—lebih tepatnya bersedia—menjadi pacar Huchoru-kun tapi tak sesuai dugaan, dia menolak. Harusnya bisa kuduga sih. Sifatnya memang begitu dan aku tahu betul itu tapi kenapa juga aku bilang ‘mari kita pacaran’.

“Hei! Kau belum bersiap juga?” Suara familiar menganggu acaraku menikmati harum bunga Sakura. Seketika aku membalik badan dan mataku sontak terbelalak, mulutku melongo.

“Kenapa kau pakai Yukata ? Penampilanmu jadi terlihat terlalu formal,” ucapku. Dan tentu saja nampak gagah dan... tampan, batinku.

Dari mana saja kau Namika??? Kenapa baru sekarang kau menyadari bahwa Huchoru-kun mempesona?

“Sekali-kali aku ingin memakai Yukata di Hanabi Matsuri .” Dia bersedekap lalu menatapku dari kepala sampai kaki.

“Kau lupa ya? Bukankah kau sudah kuminta untuk memakai Yukata juga?”

Mataku melotot lagi. “Eh? Benarkah?” Langkahku mendekati Huchoru yang masih berdiri tegap di teras. “Tapi... Aku malas memakai Yukata.”

“Harus! Sekali-kali di perayaan musim semi aku ingin melihatmu memakai Yukata. Masuk sana. Okaa-san-mu sudah menyiapkan Yukata.”

Dia memukul kepalaku. Meski pelan tapi ini adalah hal yang tak kusukai. Aku tahu sih dia lebih tua tapi tetap saja memukul kepala itu tindakan yang tidak sopan. Aku pun memanyunkan bibir. Dan tanpa menyanggah lebih lanjut—karena pastinya bakal kalah berkonfrontasi dengannya—aku melangkah memasuki rumah.


Suasana sangat ramai dan tumben sekali Huchoru-kun nampak tersenyum menikmatinya. Bukan seperti Huchoru-kun yang biasanya. Dia kan sebenarnya tak begitu suka keramaian?

Di taman Ueno kami berada saat ini. Duduk di rerumputan di pinggiran tanah lapang tepat di bawah naungan pepohonan Sakura yang memang sengaja di soroti lampu agar ketika malam tiba pun keindahannya masih nampak jelas.

“Tuh! Hanya sedikit orang yang memakai Yukata. Tahun lalu pun kita tak seresmi ini bukan?” keluhku karena kurasa
Yukata tak bisa membuatku bergerak bebas.

“Karena tahun lalu tak seistimewa ini, Namika-chan.”

Kontan saja, kata-katanya membuatku serta merta menatap lekat wajahnya dengan menyorotkan pandangan ketidakmengertian.

Aku memiringkan kepala seraya mengerutkan dahi.

Dia malah tersenyum lalu mengacak-ngacak rambutku. “Kau nampak manis jika berekspresi begitu.”

“Apanya yang manis?” Sontak pipiku bersemu merah. Kupalingkan wajah ke arah lain. Aku malu dan...berdebar-debar. Eh?
Kenapa seperti ini perasaanku?

Jeda sesaat diisi keheningan. Hanya suara riuh para Penonton yang sama seperti kami duduk di bawah pohon Sakura
sambil menunggu kembang api bertaburan di langit gelap, yang terdengar.

Tak seistimewa... Tak seistimewa? Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepala. Medesak untuk dipertanyakan pada pemuda di sebelahku. Tapi aku takut.

Duarrr!!!

Kembang api sudah meledak di angkasa begitu indah dengan sinarnya yang bertebaran warna-warni. Aku mendongak dan tanpa sadar kaki ini sudah berdiri saking terkagum-kagumnya diriku akan keindahan kembang api di atas sana.
Sorak sorai tepuk tangan dan pekikan kagum orang-orang tak mengurangi rasa senangku ketika selama bermenit-menit kembang api itu menghiasi langit hitam nan gelap tanpa awan yang berarak.

Deg!

Dadaku langsung merasa seperti melompat keluar ketika tiba-tiba kurasakan tangan Huchoru-kun menyampir di bahuku. Aku langsung menoleh ke arahnya. Karena ini untuk yang pertama kalinya dia merangkulku. Biasanya kami hanya saling berpegangan tangan atau paling-paling aku merebahkan kepalaku di bahunya sambil bercurhat-ria. Tapi sekarang...

“Mari kita pacaran,” ucapnya tepat di telingaku. Angin hangat yang berhembus dari mulutnya menyeruak merasuk hingga
membekukan tubuhku. “Aku memintamu menjadi pacarku dan kau harus mau.”

Di riuhnya taman Ueno, kami saling memandang lekat satu sama lain. Seolah segala hiruk pikuk ini tak ada sama sekali di sekeliling kami. Lengannya yang masih merangkul semakin dia eratkan membuat tubuh kami tak ada jarak.

Kata-katanya yang berkesan memaksa tak memperoleh jawaban karena bibirku terlalu beku hingga susah untuk bicara.
Inikah yang dia maksud istimewa tadi? Ternyata dia benar-benar memintaku menjadi kekasihnya dan tak kuduga dia akan melakukannya di saat ini. Ternyata Huchoru-kun romantis juga....

“Baiklah. Mari kita pacaran. Dan semoga hubungan ini berlangsung selamanya.”

“Salah! Bukan semoga tapi memang harus berlangsung selamanya.”

Sekali lagi pipiku merona. Ya ampun... Huchoru-kun... Sikapmu ini benar-benar membuatku berdebar-debar. Sekarang aku
yakin, aku memang menyukaimu. Aku mencintaimu Huchoru-kun.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar