Kamis, 06 Juni 2013

Just A Dream



Steven tidur dengan gelisah. Tubuhnya bergerak ke kiri, ke kanan, memeluk guling lalu tak beberapa lama, apa yang dipeluknya erat ia tendang kuat-kuat. Matanya memang terpejam bahkan terlampau nyenyaknya ia tidur, Steven sampai mendapatkan sebuah mimpi. Penasaran apa yang ia mimpikan sekarang? Mari kita terawang bersama.


“Steve!” teriak sang gadis pujaan.

Di dalam mimpinya, dia melihat Serka tersenyum lebar. Wajahnya menampakkan rasa bahagia yang meletup-letup. Kakinya berlari-lari kecil menghampiri Steven yang kini tengah duduk menyandarkan punggung pada batang pohon Elm yang berdiri tegak di pinggiran danau Qautsar.

Melihat Serka yang nampak cantik dan ceria—tak seperti Serka berwajah dingin yang biasa dilihatnya—dengan balutan dress merah marun yang bergoyang seirama dengan langkah kakinya, membuat Steven sontak menegakkan punggung lalu berdiri.

Tak dipungkiri, selama waktu yang dia lewatkan bersama teman se-asramanya tersebut, Steven mempunyai perasaan menyimpang pada Serka akan tetapi selalu dia simpan rapat tak pernah terkuak. Kini melihat betapa manis Serka di depan sana membuat jantung Steven berdetak dan berdesir layaknya sedang menaiki Jet Coaster.

Mereka sekarang berdiri berhadapan. Efek suara angin sepoi, kecipak air danau dan gemerisik daun bergesekan telah menjadi backsound yang teramat merdu bagi Steven yang sedang dimabuk pesona. Inilah yang membuat munculnya jeda hening di antara keduanya.

Dengan pipi merona dan wajah berseri-seri Serka tiba-tiba tanpa berucap atau pun meminta ijin, langsung saja melingkarkan kedua tangannya di sekitar leher Steven. Membuat tubuh pemuda blonde ini diserang badai salju lokal yang sukses membekukan.

“Steve, aku hari ini bahagia banget.” Serka semakin mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepalanya di bahu Steven.

“Ba-bahagia karena apa?” tanya Steven yang susah payah mengeluarkan suara karena kebekuan masih berkuasa.

“Coba tebak, kenapa aku sebahagia ini?” Bukannya menjawab, Serka malah main tebak-tebakan.

Sejenak melintas jawaban di kepala Steven. Jawaban yang didapatnya adalah Serka bahagia karena menyadari bahwa ia menyukai Steven. Bukannya kege-eran atau mengalami sindrom overpede tapi pelukan inilah bukti konkrit yang membuat Steven yakin bahwa Serka seperasaan dengannya.

“Karena...” Steven pura-pura berpikir keras seolah pertanyaan Serka adalah soal tersulit melebihi teka-teki yang diberikan mr. Gray, Kepala Asrama Salvatore mereka di St. John Academy. “Ah! Kau mendapatkan nilai A+ di kelas
Science ya?” tebaknya asal. Tak mungkin kan dia bilang, ‘kau menyukaiku dan mau berpacaran denganku ya?’ Hei! Itu bukan Steven banget...

Serka melepas pelukannya lalu mundur selangkah. Raut muka Steven pun nampak tak rela tapi buru-buru dia tampik.
Masalah perasaan cinta ini lebih urgent. Toh, nanti setelah Steven menjalin hubungan resmi, dia bisa memeluk Serka kapan pun.

“Bukan. Coba berpikirlah out of the box,” ucap Serka. Mata berbinarnya menatap penuh harap kepada Steven, masih dengan ekpresi ceria.

“Kau masih mempertahankan rekor nilai tertinggi di St. John Academy?”
Serka menggeleng.

“Mempunyai peliharaan baru? Ah! Atau menyukai seseorang dan perasaanmu terbalas?” Pertanyaan terakhir yang terlontar dari mulut Steven asli tanpa sadar dan kini dia sedang merutuki kecerobohannya yang terlalu dikuasai rasa senang
berlebihan.

“Gotcha! Kau benar,” sahut Serka. Wajahnya semakin merona.

Steven melotot tapi buru-buru mengembalikan ekspresi tenang nan dingin agar image ‘cowok cool’ yang disandangnya tak menghilang.

“Eh? Ta-tapi jawaban mana yang benar?” Steven pura-pura bodoh.

Serka nampak malu-malu. Kepalanya menunduk, memandangi rerumputan yang diinjaknya semena-mena. “Yang itu tadi.
Soal... Perasaanku yang terbalas,” sahut gadis berponi rata ini. Steven hampir berucap untuk menyatakan perasaannya secara gamblang tapi Serka dengan cepat menyela. “Romy mengirimiku e-mail, Steve. Isinya mengatakan dia menyetujui perjodohan yang dibuat kedua orang tua kami. Dia menyuruhku cepat-cepat pulang karena acara pertunangan kami sudah disiapkan. Ya ampun! Aku tak menyangka perasaannya padaku berubah dan hubungan kami akan kukuh secepat ini,” ucapnya riang. Serka melompat-lompat senang sambil sesekali tertawa renyah.

Steven menatap Serka nanar dan Serka sepertinya tak menyadari kekecewaan yang terpatri di wajah Steven. Tak berapa lama tanah yang dipijaknya seolah bergoyang. Kaki Steven melemah. Pandangannya mengabur, tubuhnya mendadak ringan dan... BRUKKK! Tubuh Steven sukses menubruk lantai kamarnya.

“Aduh!” teriaknya refleks ketika dirasa kepala, punggung dan bagian lainnya sakit sehabis membentur benda keras.

Matanya nyalang terbuka. Melirik sekitarnya masih dengan posisi terlentang di lantai. Seketika dia sadar, bahwa pertemuan dan pelukan berujung pahit dengan Serka hanyalah mimpi belaka. Menyadari hal itu serta merta Steven bangun cepat-cepat lalu berteriak. “Yey! Ternyata cuma mimpi! Berarti kesempatanku memiliki hati Serka masih terbuka lebar.”


Pagi menjelang siang ini—Steven bangun kesiangan, pemuda berkemeja putih tulang dengan penampilan yang jauh lebih rapi dari biasanya itu bertekad menyatakan cinta pada Serka. Dia tak lagi peduli dengan image siswa yang terkenal dingin dan jual mahal. Steven tak ingin keduluan orang lain. Percuma perasaannya terus disimpan tanpa diutarakan.
Hanya perhatian saja takkan mampu membuat Serka mengerti apa yang tersimpan di hatinya.

“Serka!” panggilnya begitu matanya tertumbuk pada sesosok gadis yang duduk di kursi yang berjajar rapi di sudut-sudut lorong gedung Asrama.

Serka menoleh, tersenyum tipis sambil mengangguk singkat pada Steven dan beberapa detik kemudian kembali menekuni novel yang dipegangnya.

“Serka, kau ada waktu?” tanya Steven ketika dirinya sudah sampai di depan Serka.

“Tergantung,” jawabnya singkat seraya mendongak menatap Steven dingin.

“Kok tergantung?” Steven nampak tak terima dengan jawaban Serka yang ambigu.

“Tergantung urusanmu denganku penting atau tidak.” Serka diam sejenak mengamati penampilan Steven yang tak biasa. Bau
harum parfum yang tajam menguar dan cukup mengganggu indera penciuman Serka. “Cepat katakan apa maumu? Kalau urusanmu denganku cukup lama, kau ganti dulu bajumu.”

Steven melongo. “Memangnya kenapa?”

“Parfummu menusuk hidung.” Serka berucap tajam nan ketus.

“Oh...” Steven tak nampak tersinggung. Dia memang sudah biasa dengan keterusterangan Serka. Malah inilah point penting yang membuatnya menyukai Serka. Dan asal tahu saja, kedua sahabat yang sama-sama populer ini dijuluki ‘Ice
Couple’ karena sikap mereka yang acuh tapi berkarisma dan tentu saja mereka dikenal sebagai siswa berotak cemerlang
di St. John Academy.

Steven duduk di sebelah Serka. Menatap gadis ini lekat seraya menarik dan menghembuskan nafas membangun keberanian diri. Sedangkan Serka kembali membaca novel.

“Serka, eum... Bagaimana kelanjutan perjodohanmu dengan si...” Steven merasa sangat berat menyebut nama rival yang tak pernah ditemui namun dia kenal baik lewat gerutuan Serka setiap menerima kabar yang berisi desakan agar setuju dengan pemuda pilihan ayahnya.

“Kalau kau di sini hanya untuk membahas tentang Romy, si trouble maker yang sejak kecil suka menjahiliku itu, lebih
baik kau tutup mulutmu saja. Aku malas membahasnya.” Kata-kata ketus Serka malah membuat bibir Steven mengulum senyum. Dalam hati dia bersorak.

“Kau masih menolak perjodohan itu, kan?”

“Hm.”

Yes! Hati Steven memekik. “Bagaimana kalau kau bilang bahwa kau sudah memiliki pacar. Aku yakin ayahmu takkan memaksa.”

Serka sontak menoleh. Meski ekspresinya masih dingin tapi nampak sekali matanya berbinar. Tapi setelah saling berpandangan beberapa detik, binaran itu meredup lalu kepalanya menunduk. “Aku tak suka bohong. Saat Dad tahu bahwa ceritaku fiktif belaka, bisa mati aku,” keluhnya resah.

“Kau tak perlu bohong, Serka.”

“Maksudnya?” Serka yang cerdas mendadak tumpul, tak mampu menangkap maksud terselubung Steven.

“Eum... Aku mau jadi pacarmu.” Steven berucap lirih. Kepalanya memutar ke arah lain karena terlampau gugup.

Serka melotot syok dan tanpa Steven ketahui rona merah bermunculan di pipi gadis itu. “Ap-apa mak-maksudmu?” Terlalu
gugup dirinya sampai-sampai membuatnya mendadak gagu.

“Aku... Menyukaimu!” ucap Steven—yang lebih cocok disebut membentak.

Tanpa menunggu reaksi Serka selanjutnya, Steven pergi dengan langkah memburu karena gejolak di hatinya terlampau menyiksa. Dia tak mau mati kehabisan pasokan oksigen saking sesak dadanya karena terlampau gugup. Untuk sementara Steven harus menyelamatkan jantungnya dulu sebelum meledak.

End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar